Bagi petani tambak, ikan gabus atau kuthuk adalah hama. Karenanya ia diburu untuk dimusnakan agar tak mengganggu budidaya bandeng dan udang. Masyarakatpun memanfaatkannya sebagai lauk dengan berbagai varian menu untuk makanan sehari-hari.
Di tangan Ida, ikan-ikan gabus ini diolah menjadi krupuk. Awalnya hanya dikonsumsi sendiri, berikutnya warga desa Kedung Peluk Kecamatan Candi Sidoarjo itupun mencoba menjualnya pada tetangga dan teman-temannya.
Karena rasanya yang enak, permintaan krupuk pun terus mengalami peningkatan. Apalagi setelah diketahui bahwa ikan gabus memiliki kandungan albumin tinggi yang dapat membantu pemulihan pasca operasi.
Ida menjelaskan proses pembuatan krupuk ikan gabus ini selama 3 hari. “Pertama ikan ini difilet, kemudian dagingnya diblender,” imbuh ida.Setelah itu dicampur dengan adonan bahan dasar krupuk yang kemudian dikukus dan dijemur dibawah terik matahari.
Saat sudah mengeras barulah dipotong tipis-tipis dan dijemur kembali sebelum digoreng untuk dihidangkan dimeja makan sebagai menu pelengkap.
Untuk 1 Kg krupuk mentah siap goreng, Ida menjualnya dengan harga Rp40 ribu. “Untuk yang sudah digoreng seperti ini, harga jual perbungkusnya hanya Rp 5 ribu,” katanya sambil menunjukkan kemasan krupuk produksinya.
Ia yang ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu mengaku mampu memproduksi 20 kg krupuk mentah setiap harinya. Dari jumlah itu sebagian dijual mentah dan sisanya sudah dalam kondisi siap santap.
Permintaan makanan ringan yang diproduksi tanpa menggunakan bahan kimia pengawet itu melonjak tajam selama Ramadhan hingga menjelang Lebaran. “Wah bisa lebih dari satu kwintal per hari,” kata perempuan yang sudah menjalankan bisnisnya selama 4 tahun ini.
Sebaliknya, kapasitas produksinya melorot ketika musim hujan tiba. Bukan lantaran turunnya permintaan pasar namun semata-mata karena kendala cuaca yang tidak memungkinkan untuk memproduksi krupuk dalam jumlah besar.
“Untuk menghasilkan kualitas terbaik, harus dijemur di bawah sinar matahari langsung. Saya tak mau memaksakan diri menggunakan oven karena akan merusak rasa. Jadi ya terpaksa nggak bisa memenuhi semua permintaan,” ungkapnya sedih.
Ida berobsesi bisa meningkatkan kapasitas produksinya hingga minimal 50 kg per hari. Hanya saja ia masih terkendala pemasaran. Selama ini krupuk bermerk Al-Barokah itu dijual melalui jaringan terbatas di sekitar Sidoarjo, Surabaya dan sebagian kecil dikirim ke koleganya di Kalimantan.
Ia ingin krupuk ini bisa dijual pada wisatawan dari luar daerah bahkan luar negeri yang berkunjung ke Sidoarjo. “Tapi kalau dititipkan ke toko oleh-oleh, biasanya tidak mau memakai merk saya. Mereka hanya mau menjualkan kalau menggunakan merknya sendiri,”ungkap Ida mengelus dada.*dit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H