[caption caption="foto: event underground di kota tersebut "]Menonton sebuah event underground memang memiliki sensasi tersendiri. Headbanging sambil berpegang pada pundak orang yang tidak kita kenali sebelumnya dan membentuk beberapa shaf di depan panggung, sampai aksi agresif seperti pogo dance, wall of death, circle pit, bahkan stage dive sudah bukan menjadi hal yang tabu untuk dilakukan saat distorsi gitar mulai berkumandang. Keringat yang mengalir deras justru menjadi pemicu diri kita untuk lebih bersemangat lagi. Crowd yang tercipta seolah menjadi kepuasan tersendiri bagi panitia, penonton dan pemain band tersebut.
Itu lah yang saya rasakan saat menonton event musik cadas untuk pertama kalinya di sebuah kota pinggiran tempat saya tinggal beberapa tahun yang lalu. Kalo nggak salah waktu SMP sih. Tepatnya bertempat di bekas gedung bioskop yang dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah venue event musik underground. Atmosfirnya benar-benar gila, beberapa ratus meter dari venue sudah terlihat banyak masa yang mengenakan kaos ‘hitam-hitam’ berjalan kaki di pinggir jalan. Ada yang bergerombol di luar venue sambil mabuk,ngerokok, dan ada juga yang lebih dari sekedar mabuk dan ngerokok. Wah bener-bener edan deh waktu itu. Saya beruntung bisa merasakan atmosfir segila itu waktu remaja.
Mengapa saya beruntung? Karena remaja yang mengenal musik underground belum lama atau baru-baru ini, pasti tidak akan bisa merasakan atmosfir itu. Bagaimana tidak? Sekarang menonton event underground sudah seperti menonton pertunjukan wayang kulit karena mereka yang eksis sekarang sudah mengkotak-kotakkan genre underground. Saya pribadi sebetulnya miris sih dengan perilaku penonton di venue event underground di kota itu sekarang. Contohnya, “Band ini bukan hardcore, jadi band ini nggak keren! Jadi nggak usah mendekat. Cukup nonton dari sini saja.”
Yang membuat saya kecewa lagi adalah mereka mau beranjak dari tempatnya duduk jika diberi sesuatu oleh band yang perform pada saat itu. Misalnya stiker, emblem, sampai kaos dari band tersebut. Kecuali jika yang perform adalah guess star dari acara tersebut. Baru lah mereka berbondong-bondong maju ke depan. Lalu apa bedanya dengan penonton bayaran acara musik di TV pagi-pagi itu? Ada mungkin bedanya. Mereka yang di TV terlihat alay, dan mereka yang datang di event itu terlihat sangar.
Ada pengalaman unik saat saya ‘diundang’ untuk datang ke sebuah event kecil yang bertempat di aula sebuah kafe di kota itu. Kebetulan saya sudah lama pensiun dini dari dunia perkonseran underground di kota itu karena tidak lagi merasakan atmosfir yang dulu pernah ada. Langsung saja saya mengiyakan undangan itu dan datang ke venue yang memang dekat dari rumah. Kebetulan juga, disana bertemu teman lama saya bersama bandnya yang ternyata akan perform juga di event itu. Jadi punya dua teman, dua-duanya pemain band dengan dua genre yang berbeda deh pada saat itu. Yang satu bergenre hardcore dengan beat-beat yang masih belum tergolong heavy, dan yang satunya bergenre technical death metal dengan riff-riff gitar yang rumit. Saya pribadi lebih senang menonton yang genrenya death metal, soalnya sulit sih memainkannya. Jadi butuh apresiasi lebih lah. Meskipun agak geje sih suara scream dari vokalisnya.
Tapi ternyata berbeda dengan penonton di venue itu, saat distorsi gitar dari teman saya yang bandnya bergenre hardcore tadi menggema menandakan performnya telah dimulai, penonton mulai beranjak dari tempat duduknya. Mereka seperti serigala buas yang langsung merapat ke depan panggung sambil mengepalkan tangannya, ada juga yang langsung pogo dance, sampai beberapa ada yang stage dive. Tapi yang banyak sih berebut stiker yang dibagikan sang vokalis. Kalau saya lihat dari kejauhan, mereka yang tadinya saya sebut ‘serigala buas’ langsung saya ganti dengan sebutan ‘ayam kelaparan’ hahaha.. mereka yang tadinya berfokus pada lagu yang dimainkan menjadi terpecah saat segenggam stiker itu disebar. Saling injak, saling sikut, dan saling pukul bahkan. Suasana panas tercipta berkat amarah yang terbakar. Demi sebuah stiker yang lebarnya tak sampai 15 cm itu. Anehnya, sang vokalis malah terlihat puas saat emosi beberapa penonton di venue itu meledak. Padahal pihak keamanan sempat panik saat terjadi keributan di dalam venue itu.
Setelah band hardcore itu selesai perform, acara seakan selesai. Eh, belum selesai. Tepatnya istirahat sejenak. Padahal 5 menit kemudian ada band teman saya yang bergenre technical death metal yang akan perform. Dan lucunya, saat kelima personil itu mulai beraksi tak ada satu penonton pun yang mendekat. “Apa-apaan ini? Mereka salah apa sampai dibuat begini oleh penonton?” tanya saya dalam hati sambil senyum-senyum sendiri di samping panggung. Lucu memang, tapi prihatin juga. Padahal dari segi kualitas sound, skill bermain alat musik masing-masing personil tersebut sudah diatas rata-rata. Bahkan bisa dikategorikan dalam level luar biasa. Dan saya juga sempat berpikir, “Apa mereka begini karena mereka tidak menyebarkan sticker atau merchandise, ya?”
Konyol sih, tapi ya begitulah kenyataannya.. suatu komunitas yang hanya menghargai band yang genre dan ideologinya sama dengan komunitas mereka. Memang sekarang di kota itu lagi musimnya membuat sebuah komunitas dengan ideologi yang berdasar dari genre musik tertentu. Jadi mereka terkesan ‘pilih-pilih’ saat akan mendatangi sebuah event underground. Intinya adalah sebagus apapun kualitas sound band itu saat diatas panggung, dan seliar apapun aksi panggung yang ditampilkan tak akan mungkin dihargai oleh penonton event underground di kota itu. Itu salah satu bukti dihargai itu lebih sulit daripada menghargai suatu genre musik. Saya dapat menulis seperti ini karena saya pernah juga jadi korban dari kejamnya scene underground di kota itu hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H