Mohon tunggu...
Aditya Putra
Aditya Putra Mohon Tunggu... -

seorang pencerita tentang kehidupan dan berbagai warna makna di dalamnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesederhanaan Itu Memukau

5 Juli 2012   13:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:16 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13414938201921717618

Selepas Maghrib di sebuah Masjid kecil di salah satu desa di pelosok Pacitan, saya menemukan seorang kakek dengan tubuhnya yang kecil, kurus, dan bungkuk sedang membaca Al Quran. Penglihatannya yang semakin kabur dimakan usia membuatnya harus semakin membungkuk sangat dekat dengan tulisan dalam kertas mushaf Al Quran agar dapat melihat dengan lebih jelas. Beliau membaca halaman yang sudah berwarna kuning itu dengan suara keras namun terbata-bata.

Suaranya yang parau dan bergetar dengan pelafalan huruf yang masih kurang benar memang sama sekali jauh dari merdu dan enak didengar. Tapi entah mengapa saya terpesona. Selama setidaknya satu menit saya terbengong berdiri di belakangnya, menatap tubuh rentanya dengan pandangan yang entah harus saya definisikan bagaimana.

Di sebelah kakek itu terdapat sebuah senter kecil yang ia pergunakan sebagai penerang jalan dari rumahnya menuju Masjid. Di daerah itu, ketika malam memang sangat sepi. Penerangan pun sangat minim sehingga senter menjadi alat wajib jika ingin berjalan malam hari. Ditambah kontur tanah yang terjal berbatu dan udara dingin yang cukup menggigit sebenarnya lebih dari cukup untuk kakek serenta itu memutuskan mengalah pada rasa malas dan mengurungkan diri pergi ke masjid. Tapi tidak, kakek ini tetap berangkat ke Masjid yang sepi itu dan selepas Maghrib ia tetap tinggal untuk tadarus Al Quran sambil menunggu Isya tiba. Masya Allah…

Di banyak kesempatan lain, saya pun dibuat terpesona oleh berbagai macam orang yang mungkin dianggap remeh oleh kebanyakan kita. Ada seorang bapak tunanetra yang rutin setiap pagi mengepel teras Mushala Puskesmas tempat saya bekerja. Dengan keterbatasan yang Ia miliki, Ia masih tergerak untuk berbuat sesuatu, membersihkan Rumah Tuhan. Hal yang sangat luar biasa. Dan Ia tampak sangat menikmati pekerjaannya itu, membuat saya selalu tersenyum ketika melihatnya.

Pernah pula saya menyaksikan seorang tunanetra yang berjalan kaki dengan bantuan tongkatnya menyusuri padatnya Jalan Kaliurang Yogyakarta sambil memanggul tumpukan keset yang Ia jual dengan berkeliling. Merinding ketika saya melihatnya dari atas motor.

Di dekat obyek wisata Candi Cetho di Karanganyar, sempat saya jumpai seorang nenek yang memanggul tumpukan besar rumput untuk ternaknya sampai terbungkuk-bungkuk karena saking beratnya. Jalan mendaki yang Ia lalui membuat pekerjaan itu semakin melelahkan baginya.

Ada pula seorang kakek jompo yang berjualan mainan kincir angin dari karton khas prakarya anak SD di tempat wisata Benteng Van Der Wijk, Gombong. Kincir angin yang warnanya memudar dan berdebu itu jelas tak mungkin menarik perhatian anak-anak zaman sekarang. Kemungkinan jualannya laku sangat kecil. Mungkin beliau tahu itu, tapi toh beliau tetap berjualan, tetap berikhtiar. Ia hanya tahu kewajibannya adalah bekerja, dan soal rezeki biar Allah yang memberikannya dari jalan yang tak disangka-sangka.

Salah satunya lewat ibu saya yang karena kasihan membeli satu kincir angin dengan harga berlipat-lipat dari yang diminta kakek penjual itu. Tapi itu sungguh tak sebanding dengan pelajaran hidup yang beliau ajarkan kepada saya sekeluarga waktu itu, membuat saya memainkan kincir angin itu dengan mata berkaca-kaca.

Masih banyak lagi sebenarnya sosok memesona lainnya yang sempat saya temui. Namun yang saya sebut di atas setidaknya cukup mewakili. Dan saya selalu terpukau melihat orang-orang seperti mereka. Saya akan berlama-lama menatap mereka sambil menikmati desir-desir halus yang muncul di hati kala memandangnya. Atau jika memungkinkan saya akan berusaha berbincang dengan mereka. Memberi sesuatu jika saya mampu atau setidaknya dalam hati merapal doa-doa untuk mereka sebanyak mungkin.

Ada kedamaian yang menyusup di dada. Berbagai jenis perasaan turut memenuhi hati saya kala memandang mereka. Trenyuh, haru, sedih, kasihan, malu dengan diri sendiri, bersyukur atas nikmat diri, dan sebagainya. Tapi entah mengapa yang dominan di pikiran saya adalah rasa cemburu. Yah, CEMBURU. Dalam pengertian yang positif tentunya.

Entah mengapa dalam pandangan saya mereka begitu dekat dengan Tuhannya, dekat dengan surga. Mereka memang bukan siapa-siapa. Mereka juga tidak melakukan sesuatu yang hebat dan besar. Tapi justru karena sederhana itulah mereka memukau. Dan justru karena mereka bukan siapa-siapa itulah yang membuat mereka memesona.

Mereka hanya bekerja sekuat yang mereka bisa, memenuhi kewajiban dari Tuhan untuk mencari nafkah bagi keluarga di rumah. Mereka hanya berusaha melawan keterbatasan yang mereka miliki untuk beribadah kepada Tuhan. Walau payah, meski susah, mereka tak pernah kalah oleh lelah. Mereka berangkat dengan keyakinan penuh pada Tuhannya dan pulang kembali ke rumah untuk mensyukuri seberapapun dan apapun yang mereka dapat hari itu. Sesederhana itu. Begitu jujur dan tulus, tanpa ambisi dan dusta. Hidup mereka adalah bentuk pengabdian utuh kepada Tuhannya.

Cemburu rasanya melihat mereka. Begitu damai, begitu tenang. Sementara saya masih sering dipusingkan dengan urusan duniawi yang melenakan dari mengingat Tuhan. Mereka mungkin telah jauh mendahului saya masuk surga, sementara saya masih tertatih untuk menghindari neraka.

Saya mungkin telah mengenyam pendidikan tinggi di kampus negeri bergengsi, memiliki profesi dan gelar mentereng, memiliki kedudukan yang baik di masyarakat dan diberi kecukupan materi. Namun bisa jadi di sisi Tuhan saya tak lebih baik dari mereka yang bahkan SD saja mungkin tidak tamat, yang bahkan untuk makan tiga kali sehari saja mungkin masih susah.

Melihat mereka, membuat saya tertampar dan terpaksa kembali berkaca melihat ke dalam diri sendiri. Sudahkah saya menjadikan kerja sebagai bagian dari ibadah saya kepada Tuhan? Apakah pekerjaan saya memiliki trayek yang sama dengan jalur menuju surga? Sudah luruskah niat dan orientasi saya dalam hidup ini, ataukah masih pekat ia dengan ambisi duniawi? Masih sadarkah bahwa dunia hanya sementara dan ada pertanggungjawaban di akhirat sana? Astaghfirullah…

Memandang mereka membuat saya memahami bahwa hidup sebenarnya sangat sederhana. Sesederhana embun pagi yang disambut dengan nafas bakti pada Ilahi. Sesederhana senja yang dijemput dengan syukur tanpa jeda kepada-Nya. Sesederhana malam yang ditutup dengan senyuman kemenangan menuju Tuhan.

Ya, sesederhana itu…

Pacitan, 30 Juni 2012

www.adityasaja.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun