“Ada yang bawa anak kecil ya?! Siapa yang bawa anak?!” teriakan itu cukup mengagetkan beberapa orang pengantri yang duduk di ruang foto Surat Izin Mengemudi (SIM), tak terkecuali saya. Suara itu berasal dari mulut seorang polwan yang mengurus berkas pemohon SIM baru atau memperpanjang SIM lama. Kata-kata itu meluncur setelah sebelumnya di ruangan itu terdengar suara seorang balita yang menangis merengek pada ibunya.
Demi mendengar kalimat polwan itu, pikiran saya langsung terisi hal-hal tidak mengenakkan, su’udzon. Wah, pasti disuruh keluar nih ibunya sampai anaknya diam. Atau anaknya disuruh keluar dititipin orang di luar. Gimana bisa? Lha wong ibunya dateng cuma sama anaknya itu kok. Nanti kalo dititipin orang malah diculik gimana? Bla bla bla.
Kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dialami si ibu pembawa anak itu seketika menjejali otak saya. Saya berfikir begitu bukan tanpa alasan. Saya ingat sekitar tujuh tahun yang lalu waktu membuat SIM C di tempat yang sama. Ada seorang bapak yang dari penampilannya menunjukkan bahwa dia adalah orang desa yang lugu dan sederhana. Bapak yang sederhana itu tiba-tiba mendapat bentakan dari seorang polisi yang kurang lebih begini:
“Pak, kalau mau ngurus SIM mbok jangan pakai sandal jepit kayak gitu. Kok nggak menghargai kita banget! Ini kantor polisi, pak! Sudah, sekarang bapak keluar dulu cari sandal yang lebih pantes!”
Bapak sederhana yang malang itu terkejut dan tanpa perlawanan keluar dari ruangan dengan ekspresi muka kebingungan. Entah bapak itu mau mencari pinjaman sandal dimana. Entah bapak itu punya uang atau tidak untuk membeli sandal yang lebih baik. Dan entah, apakah hati bapak itu terluka mendengar bentakan kasar polisi itu padanya.
Saya yang melihat kejadian itu menjadi agak takut dengan kegalakan polisi di tempat itu. Tetapi yang lebih mendominasi perasaan saya adalah rasa geram yang luar biasa. Kalau memakan orang itu halal, sudah saya makan itu polisi! Nggak punya empati babar blas. Apa urusannya sandal jepit sama foto SIM? Emangnya sandalnya mau ditaruh di muka trus ikut di foto gitu? Sampeyan kira semua orang gampang beli sandal bagus, hah?! Mikir, Pak!! Nggak kasian apa sama bapaknya? Darah muda saya (yang waktu itu masih SMA) meletup-letup marah melihat kejadian itu.
Sungguh saya tidak terima. Kalau itu peraturan di sana, saya nggak pernah melihat pengumuman yang menunjukkan masyarakat yang yang mengurus SIM nggak boleh memakai sandal jepit. Nggak boleh terlihat ndeso dan kumuh. Harus gagah dan ganteng atau cantik menarik. Tidak ada pengumuman seperti itu. kalau toh memang di sana tidak diperkenankan memakai sandal jepit, ya sampaikanlah ke masyarakat dengan pengumuman yang jelas dan mudah dilihat, dengan cara yang elegan. Bukan membentak-bentak warga masyarakat yang tidak tahu apa-apa itu, warga yang seharusnya mereka ayomi dan layani dengan baik.
Peristiwa itu terus saya ingat sampai sekarang, membuat respek saya kepada polisi jatuh ke titik terendah. Kalian para polisi hanya orang-orang arogan tak punya hati yang sok berkuasa! Batin saya ketika itu. Padahal saya sangat sadar bahwa polisi yang seperti itu hanya beberapa gelintir saja, sementara polisi yang baik masih sangat banyak. Tapi apa daya, hati saya terlanjur terluka. Dan stigma negatif itu sulit untuk saya hilangkan hingga kini. Ditambah lagi sekarang marak petinggi polisi memiliki rekening gendut, terlibat dalam berbagai konspirasi basah yang sangat merugikan negara, sampai polisi yang semakin arogan dan mudah memuntahkan peluru dari pistolnya, bahkan kepada istrinya sendiri.
Maka dengan pengalaman buruk seperti itu, su’udzon saya pada polwan yang berteriak itu sulit saya hindari. Tapi apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan saya! Ternyata prasangka buruk saya itu sama sekali tak terbukti. Polwan itu kemudian kembali berteriak (mungkin suara khas polisi yang terkesan berteriak padahal tidak)
“Ibu yang bawa anak namanya siapa, Bu?”
Si ibu pembawa anak tadi langsung menyebutkan namanya. Mungkin sambil takut juga Mau diapain gue?! Dan ternyata polwan itu langsung mencari berkas milik ibu itu di tumpukan berkas para pemohon SIM yang tidak sedikit. Setelah ditemukannya berkas ibu itu, Ia langsung menyerahkannya ke seorang polisi koleganya di bagian pemotretan SIM. Mendahulukan ibu itu, melangkahi puluhan pemohon lainnya.
“Ibu, sini, langsung difoto aja” polwan itu memanggil si ibu pembawa anak, masih dengan suaranya yang seperti berteriak. Tapi kali ini sambil tersenyum. Yah, tersenyum. Lalu apakah ada yang protes urutan antriannya dilompati oleh si ibu pembawa anak tadi? Tentu tidak ada. Hanya orang yang punya egoisme tingkat dewa yang keberatan. Dalam hati saya sangat kagum atas perlakuan yang diberikan polwan itu kepada si ibu. Salut! Dan maafkan saya telah berprasangka buruk sebelumnya.
Kemudian saya juga melihat di ruangan foto itu ada sekitar lima petugas kepolisian yang berada di dalamnya dengan tugas masing-masing. Ada yang memfoto, mengecek data. di bagian pencetakan atau pengumpulan berkas. Dan wajah mereka memang rata-rata keras, terutama yang laki-laki. Tapi beberapa kali saya lihat mereka tersenyum kepada pemohon SIM dan bercanda sekali-sekali. Seorang polisi gemuk pun dengan lembut menerangkan kepada kami, para pemohon SIM tentang alur yang harus kami lalui sampai mendapatkan cetakan SIM kami. Sambil dengan sopan menyarankan kita untuk memfotokopi SIM kami untuk arsip siapa tahu SIM kami nanti hilang sehingga proses pelacakan data jauh lebih mudah.
Saya terpukau melihat pelayanan permohonan SIM sekarang. Ini benar-benar berbeda dengan apa yang saya alami sebelumnya. Dan hey, kemana polisi arogan yang dulu?! Ini saya sedang memakai sandal jepit, Pak! (walau sandal jepit saya adalah sandal gunung Eiger yang sedikit lebih elegan daripada sandal Swallow). Hahaha.
Saya sungguh sangat mengapresiasi perbaikan yang dilakukan kepolisian sekarang. Minimal soal pembuatan SIM dan pembayaran pajak kendaraan bermotor di samsat. Sebelum membuat SIM ini, saya membayar pajak sepeda motor saya di Samsat Drive Thru. Tahu berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk membayar pajak? Tiga menit! Dan itu tanpa selangkahpun saya keluar dari mobil. Mungkin lebih cepat daripada memesan makanan sampah di drive thru McDonald. Luar biasa! Ini adalah terobosan yang sungguh menakjubkan! Dulu saya memerlukan waktu kira-kira tiga jam untuk membayar pajak. Dan sekarang? Masya Allah…
Bagi saya ini adalah sebuah kemajuan penting yang dibuat kepolisian. Ini adalah bentuk keseriusan mereka dalam upaya melayani masyarakat sebaik-baiknya. Dan juga bentuk upaya mengembalikan citra kepolisian yang terjun ke titik nadhir karena ulah beberapa oknum kepolisian. Walhasil, masyarakat saat ini memang banyak yang antipati dengan kepolisian.
Bahkan ada satu lelucon yang saya dengar ketika mobil yang saya tumpangi melewati sebuah gang kecil yang banyak memiliki polisi tidur sehingga kami terpaksa berjalan sangat lambat. Ada seseorang yang nyeletuk: Tuh kan, di Indonesia tu polisi yang tidur kayak gini aja udah ngerepotin banget, apalagi polisi yang bangun! Ahh, semoga nanti lelucon ini memang benar-benar tinggal jadi lelucon.
Mungkin banyak orang yang masih skeptis dengan perbaikan kecil di kepolisian ini sambil berteriak di depan muka saya: Woy, buka matamu! Nggak pernah baca berita ya?! Lihat betapa bobroknya kepolisian sekarang! Mulai dari dulu kasus Susno Duadji, mafia hukum, rekening gendut petinggi Polri, sampai arogansi dan kebrutalan mereka dalam meredam gerakan massa. Gak sebanding kemajuan kecil soal SIM yang ecek-ecek itu dibandingkan dosa mereka yang besar karena mencederai kepercayaan dan rasa keadilan masyarakat, bahkan merugikan negara, dimana seharusnya mereka menjadi pelindung bangsa.
Dia benar. Sungguh dia benar soal kebobrokan kepolisian. Tapi dia sunguh-sungguh sangat salah ketika meremehkan perbaikan kecil itu. Sebuah perbaikan, sebuah kemajuan, sekecil apapun itu, seremeh apapun dampaknya, harus senantiasa kita apresiasi, harus selalu kita hargai. Tidak bisa tidak.
Karena perbaikan kecil itu adalah tunas-tunas harapan di tengah gunungan rasa frustasi dan putus asa. Ia adalah setangkai mawar merah yang tumbuh di sebuah ladang gersang seluas ratusan hektar. Mawar merah cantik yang masih basah oleh embun yang dititipkan pagi pada kelopaknya. Lihatlah mawar itu. Bukankah kehadirannya bisa membawakan senyum untuk kita? Bukankah dengan tumbuhnya ia, beberapa sudut luka di hati kita sedikit terobati setelah lelah menangisi ratusan hektar ladang gersang kita yang telah mati?
Maka atas alasan apa dengan tega kita menginjak lekuk indah kelopak sang mawar itu? Maka manusia macam apa kita yang kemudian memusnahkan sang mawar hanya karena ia cuma setangkai sementara kegersangan masih membentang luas di sekitarnya. “kau tak pantas tumbuh di sini, hai mawar. Kecuali kau mampu tumbuh jutaan sehingga mengubah ladang gersang ini menjadi taman penuh mawar”. Manusia kerdil macam apa itu?
Hal itu tak ubahnya seperti seorang ayah yang membentak keras pada anak kecilnya yang baru saja bisa melakukan langkah pertamanya ketika sedang belajar berjalan.”Heh, kamu! Masa sampai sekarang baru bisa jalan satu langkah? Abis itu langsung jatuh pula! Bapakmu ini, dulu seumuran kamu sudah bisa lari, tauk! Payah kamu! Kamu emang nggak becus!”
Betapa tidak pantas perkataan sang ayah tadi. Sang anak mungkin belum terlalu memahami detail kata-kata, tapi sungguh ia sangat merasakan bahwa ucapan ayahnya itu terlalu menyakitkan, menghancurkan bangunan asa yang menjulang tinggi ia bangun lewat langkah pertamanya. Dan mungkin sejak saat itu ia tak akan pernah bisa sempurna dalam berjalan. Hanya karena ayahnya sendiri telah menghancurkan harapannya hingga berkeping-keping. Sejak langkah pertamanya. Astaghfirullah.
Sungguh, kita tak punya hak sedikitpun untuk membunuh sekecil apapun harapan kebaikan yang mulai bertunas di taman-taman hati setiap insan. Kita sebagai seorang khalifah di bumi, harus senantiasa mengambil peran untuk memelihara dan menumbuhkan setiap bibit-bibit kebaikan yang tumbuh di hamparan bumi Allah yang telah diamanahkan kepada kita ini. Bukan malah merusaknya. Dan karenanya, kini biarkanlah mawar merah itu mekar indah di tengah ladang gersang kita, menjemput setiap dzikir embun yang diamanahkan pagi pada kelopaknya. Karena kelak kita akan menjadi saksi bahwa ladang gersang itu akan disulap waktu menjadi taman-taman surga penuh mawar merah dan tarian indah kupu-kupu.
Allahua’lam
Tersenyumlah wahai mawar, harapan itu masih ada
Purwokerto, 11 Januari 2012
Aditya Putra Priyahita
www.adityasaja.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H