Kata tak akan pernah menemukan sebuah maknanya jika tanpa di temani oleh sebuah maksud dan tujuan.
Di era serba instan ini manusia jarang bertanya apa maksud dan tujuan sebuah kata di ungkapkan, hanya mau menerima dan memproses sendiri arti semua kata di otaknya tanpa mau bertanya dan gelisah. Semakin di perparah dengan kapasitas manusia yang hanya menggunakan beberapa persen otaknya
Melawan, sebuah kata yang saat ini di Indonesia sudah menjadi kata yang agak “netral”. Saya tak pernah hidup dijaman ketika kata Melawan menjadi sebuah musuh bagi sekelompok manusia bernama pemerintah. Tapi ketika saya berteman akrab dengan buku dan kawan, membuat saya mengerti dan membayangkan bagaimana kata “melawan” ibarat noda di selembar kain putih; mudah dilihat, merusak, dan menyebar. Kehidupan serba ditata, kaku dan tak pernah merasa hidup.
Stigma negative yang timbul dulu membuat sebuah kata sederhana berubah menjadi kata yang sulit dimengerti.
Melawan, sejatinya semakin saya tahu apa arti keadilan dan kedamaian saya mencoba melawan ketidakadilan dan benih-benih konflik. Terkadang saya dapat mengatasinya dengan mudah dan melawan dengan bijaksana, suatu ketika saya dihadapkan pada konflik pribadi yang mungkin hanya saya yang dapat mengerti, bukan karena rumit, tapi hanya saya tak pernah bercerita ke orang lain. Terbukti, kata melawan menjadi negative ketika saya tak mampu berbuat.
Sedikit orang yang diberi talenta untuk berani dan keluar dari kotak nyamannya, berhati rapuh ketika dihadapkan pada masalah social, berhati kuat jika dihadapkan pada masalah pribadi. Sedikit orang pula yang ikut dalam sebuah gerakan yang tak akan pernah membuat mereka merasa nyaman karena yang dia hadapi adalah kegelisahan-kegelisahan orang lain. Mencoba melawan sebuah kesewenang-wenangan, mencoba melawan kesedihan dan jahatnya lingkungan, dan masalah pelik itu muncul ketika saya sadar saya adalah manusia yang memiliki segudang tanggung jawab, hidup diantara penjara yang tak mengijinkan saya bergerak menjadi diri saya sendiri, hingar bingar kota yang tak pernah memberi ruang untuk hati nurani berbicara, kekuasaan tak terbatas orang-orang yang “merasa” mencintai saya tapi memenjarakan saya. Pada akhirnya saya tahu, melawan adalah kata berkonotasi negatif (bagi mereka)
Sebelum saya lanjutkan menulis, yakinkah kamu jika ada negatif berarti berarti juga ada positif?
Benar, sebuah kata “melawan” menjadi warna baru di hidup tiap orang yang melakukannya. Bagi mereka yang gemar membaca, bagi mereka yang bangun pagi dan disuguhi tantangan sebanyak-banyaknya, bagi mereka yang tak ingin menjadi wayang dalam sebuah pentas kehidupan, bagi mereka yang ingin menjadi dalang sebuah acara, bagi mereka yang ingin namanya dikenal banyak orang, bagi mereka yang ingin melihat kegelisahan berubah menjadi senyuman.
Belajar dari Mother Theresa, Che Guevara, Gandhi, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Fals, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, WS Rendra, Munir, Wiji Thukul, dan banyak banyak sekali orang-orang yang membuktikan sebuah kata sederhana yakni “melawan”, mampu mengubah cara pandang dan dunia.
Mereka tak pernah menyadari tiap tindakan melawannya membuat benih-benih baru muncul, tumbuh kepedulian dan semangat baru. Muncul pula kegelisahan dan konflik batin yang tak pernah dimengerti.
Mereka juga tak menganggap dirinya sebagai guru, padahal saya sudah lama merasa menjadi murid mereka. Belajar arti sebuah gerakan, belajar mengatasi konflik diri, dan belajar berguna.
Saya yakini sebuah kata tak akan pernah menganggu saya dalam berkarya, tidak mengganggu, hanya akan terus-menerus berteman dengan saya dan menamainya menjadi kegelisahan. Tiap hari terus berusaha ditemui dalam ruang obrolan, dan serasa hidup dan ingin terus menerus ada di dalam ruang tersebut.
Tulisan ini untuk seseorang yang genap seminggu lalu saya temui. Sejujurnya, saya ingin mengulang hari-hari itu kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H