Ditulis oleh: Aditya Pratama
Dalam diskursus demokrasi Indonesia, pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sering kali menuai pro dan kontra. Dari perspektif akademis, isu ini tidak hanya menyangkut dimensi politik dan sosial, tetapi juga berdampak signifikan pada aspek ekonomi. Salah satu argumen yang sering diangkat adalah efisiensi anggaran yang dihasilkan oleh mekanisme pemilihan ini. Namun, apakah efisiensi tersebut sepadan dengan potensi eliminasi suara rakyat sebagai pilar utama demokrasi?
Efisiensi Anggaran dalam Pilkada oleh DPRD
Dalam sistem pilkada langsung, anggaran yang dikeluarkan sering kali mencapai miliaran rupiah. Biaya ini mencakup logistik, kampanye, keamanan, hingga honorarium panitia pelaksana. Dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD, pengeluaran tersebut dapat ditekan secara signifikan. Menurut laporan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), anggaran pilkada langsung menyerap rata-rata 0,5% dari total APBD suatu daerah (Rhodes, 2016). Dengan mengalihkannya ke DPRD, pemerintah dapat menghemat dana yang dapat dialokasikan untuk program pembangunan lainnya.
Namun, dari sudut pandang ekonomi politik, efisiensi ini perlu ditinjau ulang. Efisiensi yang berorientasi pada penghematan anggaran harus diimbangi dengan pengorbanan nilai demokrasi, yang justru menjadi investasi sosial jangka panjang. Transparency International (2023) menyebutkan bahwa proses demokrasi yang inklusif memiliki korelasi kuat dengan kepercayaan publik terhadap pemerintah, yang pada akhirnya meningkatkan partisipasi ekonomi masyarakat.
Eliminasi Suara Rakyat: Ancaman terhadap Demokrasi
Di sisi lain, mekanisme pilkada oleh DPRD dianggap dapat menghilangkan hak suara rakyat secara langsung. Pilkada langsung memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin daerah. Dalam konteks ekonomi, partisipasi ini menciptakan rasa memiliki terhadap kebijakan publik yang dihasilkan, yang berdampak positif pada stabilitas sosial dan ekonomi (Bouckaert & Halligan, 2020).
Kajian oleh Giddens (1998) dalam The Third Way menunjukkan bahwa demokrasi yang terfokus pada partisipasi rakyat cenderung menghasilkan kebijakan publik yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam sistem pilkada oleh DPRD, potensi konflik kepentingan dapat meningkat karena adanya intervensi elite politik, yang sering kali mengesampingkan aspirasi masyarakat luas.
Dilema Efisiensi dan Demokrasi
Dilema utama dari mekanisme pilkada oleh DPRD adalah bagaimana menyeimbangkan antara efisiensi ekonomi dan legitimasi demokrasi. Menurut studi oleh Peters dan Pierre (2018), penghematan anggaran tanpa melibatkan rakyat secara langsung dapat menciptakan defisit kepercayaan yang berujung pada ketidakstabilan politik. Hal ini juga berisiko memperburuk ketimpangan ekonomi, karena kebijakan yang dihasilkan cenderung mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.