Oleh Aditya Pratama
Budaya Melayu di Bangka Belitung, yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal dan warisan leluhur, menghadapi ancaman serius akibat arus globalisasi dan modernisasi. Nilai-nilai budaya ini perlahan tergerus oleh perubahan gaya hidup, teknologi, dan pengaruh budaya asing, sehingga identitas kultural masyarakat Bangka Belitung semakin pudar. Dalam konteks ini, inisiasi pembentukan Sekolah Pendidikan Karakter dan Budaya Melayu menjadi langkah penting dan strategis untuk menjaga dan menghidupkan kembali identitas budaya tersebut. Sekolah ini diharapkan tidak hanya menjadi pusat pendidikan formal, tetapi juga pusat pembinaan dan pelestarian warisan budaya lokal.
Urgensi Pendidikan Berbasis Budaya Lokal
Pendidikan berbasis karakter dan budaya memiliki peran fundamental dalam membentuk generasi muda yang sadar akan identitas mereka. Menurut kajian (Suyanto, 2018), pendidikan karakter yang berbasis pada nilai-nilai lokal mampu membentuk kepribadian yang kokoh dan tahan terhadap pengaruh budaya luar. Di Bangka Belitung, budaya Melayu menyimpan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kesederhanaan, serta keadilan, yang dapat dijadikan landasan pembentukan karakter generasi muda.
Namun, minimnya upaya formal dalam pelestarian budaya Melayu telah menyebabkan penurunan minat generasi muda terhadap warisan leluhur. Berdasarkan penelitian (Rosdiana, 2020), 70% dari generasi milenial di Bangka Belitung merasa tidak mengenal budaya asli mereka secara mendalam. Kondisi ini semakin memperparah ancaman terhadap keberlangsungan budaya lokal, karena mereka lebih condong mengadopsi gaya hidup modern tanpa memahami akar budaya mereka sendiri.
Sekolah Pendidikan Karakter dan Budaya Melayu
Sekolah Pendidikan Karakter dan Budaya Melayu diinisiasi sebagai respons terhadap krisis identitas kultural yang dialami masyarakat Bangka Belitung. Sekolah ini diharapkan dapat menjadi platform untuk mengenalkan kembali budaya Melayu kepada generasi muda, melalui pendekatan pendidikan yang menyeluruh dan mendalam. Kurikulum sekolah ini akan mencakup materi-materi tentang sejarah, bahasa, seni, dan tradisi Melayu, yang diajarkan dengan metode kreatif dan interaktif, sehingga mampu menarik minat para pelajar.
Dalam konteks pendidikan karakter, sekolah ini juga akan menanamkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam adat istiadat Melayu, seperti adat "Bersyukur" dan "Berbagi". Hal ini sejalan dengan teori pendidikan karakter yang dikemukakan oleh Lickona (1991), di mana pendidikan karakter harus berfokus pada penanaman kebajikan moral, emosional, dan sosial.
Upaya Strategis Pelestarian Budaya
Upaya pelestarian budaya tidak hanya berhenti pada aspek pendidikan formal, tetapi juga harus melibatkan masyarakat luas. Sekolah Pendidikan Karakter dan Budaya Melayu diharapkan dapat menjalin kerja sama dengan komunitas budaya, pemerintah daerah, serta para pelaku seni untuk mengadakan festival-festival budaya secara berkala. Kegiatan ini akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam pelestarian budaya mereka.