[caption id="attachment_366169" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi Matahari (sumber: beritasatu.com)"][/caption]
Aku melangkahkan kaki dengan lunglai. Rasanya ingin aku memutar balik badanku dan kembali ke tempat di mana aku berada seharusnya. Bukan di tengah lapangan sekolah dan bertarung dengan teriknya matahari macam ini. Bukan sedang hikmad menyanyikan Indonesia Raya seperti sekarang ini. Bukan tengah mendengar sepotong pidato dari seorang koruptor yang penuh dengan bualan-bualan gratisan. Bukan sedang berbaur dengan teman-teman sekolahku yang menjalani hidup dengan lurus-lurus saja.
Pidato dari kepala sekolah membuatku muak. Kata-kata munafik mengucur deras keluar dari congornya.
“Sebulan lagi, siswa kelas 3 akan menghadapi ujian nasional. Banyak-banyaklah belajar agar dapat menghadapi ujian dengan baik,” katanya.
Logisnya ketika kami diminta untuk membayar sejumlah uang untuk mengurus ujian dan tetek bengeknya, kami mendapat pelayanan yang baik untuk persiapan belajar. Pada kenyataannya, kepala sekolah itu baru saja membeli mobil baru. Aku tak tahu uang itu dari mana. Entah dari dia memiliki usaha, menabung bertahun-tahun, atau memang uang dari kamu. Kalau yang terakhir itu benar, berarti kamu patungan untuk membeli mobil ketujuh kepala sekolah berkacamata tebal ini.
Pun, aku tak tertarik untuk giat belajar. Emosiku bisa memuncak ketika panas matahari menguasaiku begini. Dan memang emosiku hanya memuncak ketika ada panas matahari.
Plak! Ada yang memukul kepala aku dari belakang.
“Waktu upacara malah garuk-garuk kemaluan. Ayo yang bener tangannya,” kata Supardi, guru Olahraga, mengawasi peserta upacara.
Aku diam. Aku ingin upacara cepat selesai.
Terik matahari membuatku sangat jengah. Posisi istirahat di tempat tak cukup membuatku nyaman. Aku pun mengelap peluh yang ada di kepala aku.
Plak! Lagi.