Mohon tunggu...
Aditya Nuryuslam
Aditya Nuryuslam Mohon Tunggu... Auditor - Menikmati dan Mensyukuri Ciptaan Ilahi

Menjaga asa untuk senantiasa semangat berikhtiar mengadu nasib di belantara Megapolitan Ibukota Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Pembuktian Kesuksesan Diri dengan Efek Sakit Hati Tetangga Kanan Kiri

13 Maret 2023   15:36 Diperbarui: 13 Maret 2023   15:41 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa kita pungkiri, bahwa saat ini kita hidup di jaman yang materialistik. Masyarakat saat ini menilai seseorang itu sukses atau tidak, dilihat dari harta kekayaan yang dia miliki. Kadangkala penghormatan kepada seseorang, tergantung pada level kekayaan dari orang tersebut. Hal ini sudah jauh melenceng dari budaya ketimuran kita yang menghargai orang, bukan dari kekayaannya namun dari sifat dan sikap bijaksananya dalam bertutur kata, rendah hati dalam berinteraksi serta menilai orang dari tingginya ilmu yang dia miliki.

Budaya hedonis, materialistis dan penghormatan kepada si kaya memang saat ini telah menjadi bagian dari kharakter masyarakat. Memang tidak semua orang demikian, namun kecenderungan masyarakat sudah sangat jelas terlihat dari tingkah laku keseharian. Hal inilah yang menyebabkan orang berlomba-lomba bahkan kadang menerjang aturan dan norma hanya sekedar untuk dapat jadi orang kaya dan dihormati lingkungan di sekitarnya. Maka tak heran, saat ini banyak orang yang benar benar mencurahkan fikiran dan tenaganya untuk bisa menjadi yang paling kaya.

Di sisi lain, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat juga mengalami transformasi sedemikian kompleksnya. Adanya media sosial menjadikan masyarakat saat ini bisa berkomunikasi, berorganisasi dan   berinteraksi sedemikian luasnya di dunia maya. Pertemanan di media sosial bukan tidak ada dampak negatifnya, karena tanpa interaksi langsung, kadangkala membuat kita kehilangan sense atau rasa, sehingga sering terjadi konflik hanya gara gara sebuah posting yang multitafsir, ada yang merasa ok ok saja, namun ada juga yang tersulut emosinya karena menilai postingannya itu menyinggung perasaan dan harga dirinya, kalau temen saya bilang itu orangnya labil dan paranoid.

Gabungan atas budaya materialistik, hedonis dipadupadankan dengan kecanggihan teknologi dalam membuat sebuah aglomerasi interaksi sosial dalam media dunia maya ini menciptakan sebuah fenomena orang atau individu kecanduan untuk upload kehidupan/kekayaan pribadinya di media sosial tersebut. Sebenarnya sih tidak ada salahnya ya, ketika ada teman kita atau saudara kita upload foto tentang kekayaannya, karena itu adalah sebuah pembukatian bahwa dia saat ini sukses pada level tertentu, dan berharap kolega, teman, saudaranya akan respect atau hormat kepadanya.

Namun demikian, upload kekayaan di media sosial inipun juga menimbulkan efek negatif lainnya misalnya saja ada pihak-pihak tertentu yang kurang suka dengan postingan pamer kekayaan karena hal itu menyinggung dirinya (yang mungkin saja saat ini sedang dirundung masalah dan berkutit dengan kemiskinan ataupun hutang yang tak kunjung selesai).

Seba salah memang pada akhirnya, namun demikian pastilah semua itu akan selalu ada solusinya, misalnya untuk dapat memanaje postingan dengan terlebih dahulu melihat situasi dan kondisi, misalnya situasi kondisi sedang kurang pas karena banyak kawan yang terkena PHK, maka kita jangan posting "pencapaian" kita, upayakan untuk tahan dulu tidak posting hal hal yang terkait kekayaan dan pekerjaan. Selain itu perlu lakukan profiling dan identifikasi pertemanan di media sosial agar segmentasi postingan anda sama dan meminimalisir adanya kecemburuan sosial. Bagi kita netizen ataupun medos member mania agar tidak mudah teresulut emosi, kanya karena kawan kita pamer kekayaan pribadi. 

Suka tidak suka, benci tau cinta, kita saat ini berada di dua era berbeda yang menjadi satu paket kehidupan yaitu budaya materialistik, hedon dan konsumerisme bergabung dengan era digitalisasi sosial dalam bentuk platform komunitas pertemanan digital media sosial. Untuk itu bijak dalam menampilkan hasil kerja keras kita ataupun prestasi kita dapat dilakukan secara terkontrol dan terukur agar dapat memitigasi resiko adanya dampak buruk dari paranoid sakit hati tetangga kanan kiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun