Sejujurnya bisa dikatakan sudah sangat jarang orang mau bekerja dengan imbal hasil yang tidak sesuai atau proporsional. Bahkan bisa dibilang langka, sosok-sosok manusia di kota-kota besar pada umumnya dan di Jakarta pada khususnya yang mau, rela dan ikhlas mencurahkan "sebagaian" kebebasannya untuk mengabdi menjadi pengurus RT yang totaliter kerjanya.Â
Bahkan di Jakarta sudah mendapat iming-iming imbal jasa yang lumayan pun, masih sangat jarang orang yang berminat untuk mengabdikan diri menjadi pengurus dan pelayan bagi lingkungannya.Â
Sebagian yang ikut dalam pertarungan menjadi pengurus atau ketua RT/RW diisi oleh mereka-mereka yang memang menjadikan posisi ketua ataupun pengurus sebagai mata pencaharian, meskipun tidak semua.Â
Mengapa demikian sulitnya mencari kader-kader pengurus RT/RW yang berdedikasi tinggi melayani dan mengayomi lingkungannya khususnya di Jakarta.Â
Setidaknya ada beberapa penyebab yang menyebabkan "mereka-mereka" yang dianggap memiliki pengetahuan organisasi yang matang, kebijaksanaan dalam memimpin massa serta capable dalam meningkatkan kesejahteraan warga, lebih memilih untuk menarik diri dari berkecimpung dalam mengurus lingkungan adalah sebagai berikut :
- Budaya Individualisme
- Berkembangnya sektor industri dan perdagangan, secara tidak langsung telah mencetak kaum-kaum pekerja yang sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk bekerja.
- Selain itu industri dan perdagangan telah memunculkan kota kota baru yang notabene terbentuk dalam keragaman komunitas. Maka tak heran perkawinan antara waktu kerja yang lama dan keberagaman komunitas, menyebabkan tumbuh suburnya individualistik dalam jiwa manusia pekerja. Â
- Pulang larut malam, berangkat di pagi buta, sehingga tidak ada waktu dan kesempatan untuk bersosialisasi dengan warga sekitar. Apalagi dengan semakin banyaknya cluster cluster perumahan dalam kota, semakin mempersempit ruang sosialisasi warga secara alamiah.Â
- Selain itu teknologi juga memiliki pengaruh yang signifikan menyebabkan manusia lebih enjoy dalam dunia online social media daripada sosialisasi dengan warga secara offline. Â
- Dengan karakteristik individualistis ini menyebabkan semakin memperlebar jarak antar warga di sekitar sehingga lingkungan yang seyogyanya guyup dalam kebersamaan telah kehilangan ruhnya.
- Bahkan kita tidak mengenal secara dalam tetangga di sebelah rumah kita, yang pada akhirnya untuk menunjuk pengurus RT RW saja mereka kesulitan meraba dan menganalisa siapa saja yang pantas untuk dijadikan ketua dan pengurusnya. Â
- Waktunya habis untuk pekerjaan
- Semakin hari, terasa semakin kurang saja waktu untuk bekerja, selain karena tuntutan organisasi juga semakin tinggintya tuntutan hidup, yang mengakibatkan setiap insan manusia harus menambah jumlah waktu kerjanya agar mendapatkan penghasilan yang menurutnya bisa mampu memenuhi ekspektasi kehidupannya.Â
- Maka jangan heran jika anda melihat banyak insan manusia di kota kota besar khususnya di Jabodetabek yang berangkat kerja setelah subuh dan sampai rumah setelah isya, sehingga tidak ada waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga, karena tetanggapun juga memiliki permasalahan yang sama dengan limitasi waktu.
- Hari libur sabtu dan minggu pun kadang masih diambil waktunya untuk pekerjaan dan harus berbagi waktu dengan keluarga. Praktis, waktu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar yang akhirnya harus dikorbankan.
- Semua urusan tentang lingkungan warga dan lainnya akhirnya ikut suara mayoritas saja tanpa bisa menilai apakah sudah benar atau tidak khususnya dalam pemilihan ketua RT RW dan pengurusnya.
- Menolak atau berupaya menghindari konflik
- Begitu kompleksnya urusan yang harus ditangani RT dan RW, membuat sebagian orang memilih untuk tidak berpartisipasi. Â Hal ini lumrah, karena menjadi pengurus RT RW biasanya akan menjadi tempat pertama dalam menyelesaikan konflik antar warga.Â
- Belum lagi kalau ada warganya yang kedapatan menjadi buron aparat penegak hukum, mau tidak mau pengurus RT RW juga akan dimintakan saksi, dan itu pastilah sangat memakan waktu sedangkan dirinya juga wajib memenuhi kewajibannya sebagai bagian dari organisasi atau perusahaan tempat dia bekerja.
- Kritikan dan fitnah bisa saja tertuju pada pengurus RT RW jika ada warga yang merasa tidak mendapatkan pelayanan yang seimbang. Yang paling memusingkan adalah ketika ada droping bansos ataupun droping pendanaan dari kelurahan/kecamatan, selalu saja akan ada pihak pihak yang curiga atas kinerjanya.
- Kurang dikenal warga
- Akibat dari budaya individualistik, jarang berkomunikasi dengan warga ataupun waktunya habis untuk bekerja, menjadi bibit-bibit unggul yang seyogyanya terpilih menjadi pengurus RT RW menjadi kalah pamor dan tenggelam dalam lautan dukungan pihak-pihak lain yang bisa saja memiliki masa yang cukup namun capabilitas dia dalam memimpin sangat kurang.Â
- Jika ingin lingkungan lebih baik, maka cobalah untuk mulai lebih mengenal warga, bersosialisasi, membaur dan bercengkrama sehingga warga mengenal anda, dan jika terpilih anda bisa mewarnai perubahan sosial warga sebagaimana yang anda cita citakan.
- Penghargaan yang tidak seimbang
- Faktor penghargaan kadang juga menjadi salah satu penyebab tinggi rendahnya minat warga untuk menjadi pengurus RT RW. Tidak jarang orang mengharapkan penghargaan yang seimbang dengan tenaga yang dia telah sumbangkan. Â
- Namun demikian tidak demikian adanya, apalagi di kota kota besar yang masyarakatnya lebih individualistik kadangkala kurang bisa menghargai para pengurus RT RW yang telah bekerja sepenuh hati melayani warga lingkungan.
- Selain itu penghargaan bisa diberikan dengan cara yang simpel semisal datang ke pertemuan warga yang diundang oleh RT RW setempat, namun bagi kaum individualistik itu bukan hal yang prioritas untuk diikuti, hal inilah yang kemudian ditengarai sebagai kurangnya penghargaan kepada RT RW.
- Bisa jadi penghargaan berupa upah imbal balik dinilai tidak seimbang dengan besarnya tugas dan tanggungjawab. Bisa saja diusulkan agar dana imbal balik kerja bagi pengurus RT RW di sesuaikan namun besar kecilnya imbal balik ditentukan berdasarkan kinerja.
- Jadi akan diberikan penghargaan yang lebih kepada kepengurusan yang aktif dan terbukti kinerjanya dibandingkan yang kepengurusannya mati suri dan terima imbal jasa buta.
Untuk mengatasi itu sebenarnya ada cara-cara yang mungkin bisa dipertimbangkan para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan atas eksistensi kepengurusan RT RW yang berkualitas dengan cara sebagai berikut :
- Penunjukan langsung dari Pemerintah Daerah setempat melalui Kelurahan dan Kecamatan sebagai kepanjangan tangan.Â
- Masa bakti pengurus RT RW dibatasi menjadi 2 atau 3 tahun, agar semua warga atau kepala rumah tangga mendapat giliran yang sama dalam penugasan tersebut.Â
- Kepada para abdi negara, diwajibkan menjadi pengurus RT RW di lingkungannya.Â
- Diberikan penghargaan kepada pengurus yang berprestasi, di tingkat kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota. Untuk ditingkat Kabupaten/kota diberikan bintang jasa penghargaan bagi 3 pengurus RT RW yang terbaik se Daerah.Â
- Bagi warga yang menolak penugasan sebagai pengurus RT RW, akan dikenakan sanksi administratif kependudukan.
Demikian sedikit ulasan kita tentang fenomena sulitnya mencari pengurus RT RW yang berkualitas, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi bahan diskusi kita bersama demi kemajuan bangsa dan negara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H