Mohon tunggu...
Aditya
Aditya Mohon Tunggu... -

Raja Ampat - Papua Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Waigama dan Bisnis Bagan yang Menjanjikan

29 September 2017   18:12 Diperbarui: 29 September 2017   18:28 1773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja saat mengantarkan kita menuju Waigama Distrik Misool Utara Kabupaten Raja Ampat.

Perjalanan kehidupan tidak bisa kita lompati. Semua berjalan sesuai koridor yang sudah ditentukan oleh-NYA. Kehidupan kita juga selalu menghadirkan cerita dan kisah yang tak bisa dipisahkan dari keseharian. Berjalan tanpa bisa kita prediksi.

Di usia 45 tahun, Semangat bekerja dalam diri dan khyal kesuksesan masih memenuhi jiwa pria paru baya itu. Gerimis tak meyulutkan semangat lelaki yang akrab disapa pak Mura Melewa. Ia dengan ramah menemi kami melihat bagan yang menjadi hasil buah tanganya. Selain pembuat bagan ia juga aktif sebagai nelayan musiman mencari cumi-cumi.

Ia mengaku terinspiransi usaha bagan dari nelayan Bima NTB yang sebelumnya menjadi nelayan diperairan Waigama. Saat itu, saya salah satu pekerja di bagan mereka. "Namun seiring berjalanya waktu, tepatnya pada tahun 2014 terlihat mereka tidak memberikan kontribusi kepada kami di Kampung Waigama. Sehingga Pemerintah kampung serta masyarakat bersepakat mengusir mereka dari perairan Waigama. Sejak mereka pergi, dari situlah saya mencoba memulai usaha bagan sendiri", Ujar Pak Mura.

Memulai usaha bagan tidak mudah, disamping biaya yang mahal, konsistensi dalam usaha juga sangat dibutuhkan. Ia bercerita awal memulai usaha bagan, biaya yang dihabiskan kurang lebih Rp. 100 juta. Dengan perlengkapan dari mulai body perahu dua buah, dua buah motor tempel dengan enzim 40pk. Hingga kelengkapan lainya seperti kayu, mesin genset, hingga jaring.

Selain biaya pembuatan yang mahal, biaya operasional pun terbilang mahal. Dari mulai bahan makanan, serta BBM dalam waktu sebulan kurang lebih menghabiskan Rp. 5 juta. Waktu mencari/melaut pun disesuaikan dengan konidisi bulan. Biasanya selama 12-15 hari. Kami bekerja melihat bulan, jika cahaya bulan masih menyinari laut, jaring tidak bisa kami turunkan. Karena cumi-cumi akan mengikuti cahaya bulan, dan tidak akan menyatu mengikuti cahaya lampu bagan.

Pak Mura Malewa dan Rekanya saat memperlihatkan bagan kepada kami
Pak Mura Malewa dan Rekanya saat memperlihatkan bagan kepada kami
''Bagan yang kami pakai adalah bagan gandeng yang ramah lingkungan. Bagan apung ini bekerja secara pasif menarik cumi untuk masuk dalam jebakan. Saat malam diberi lampu penerangan yang bersumber dari 21 bohlam jari dari 20 watt sampai 100 watt yang dinyalakan mesin genset. Sehingga mengundang cumi untuk berkumpul. Setelah dirasa cukup, jaring yang terpasang di dasar laut diangkat naik secara pelan-pelan dengan menggunakan catrol tradisional", Kata pak Mura saat berbincang-bincang sore itu, Minggu 24 September 2017.

Di era modern, kehidupan masyarakat cenderung individualis. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Ayah lima anak ini. Ia membangun semangat gotong royong dalam bekeja mencari sesuap nasi. Setiap musim cumi tiba, lima pemuda dari kampung Waigama akan dipanggilnya untuk sama-sama mencari cumi. Sepanjang musim cumi sepanjang itu juga pemuda-pemuda di Waigama akan silih berganti dipanggil olehnya. Bukan hanya dipanggil sebagai pekerja, ia juga terlibat langsung sebagai Instruktur dalam memberikan arahan kepada mereka. Sehingga jika pemuda - pemuda tersebut sudah paham, akan dilepas untuk memulai usaha sendiri.

"Hasil yang kami dapat bervariasi.  Jika beruntung hasilnya bisa mencapai 4 ton per bulan selama 12-15 hari kerja. Jika tidak berti cuman 1 ton. Hasilnya dikisaran 1-4 ton setiap kali melaut. Dari hasil tangkapan kami, dan beberapa nelayan di Waigama menjual dengan harga Rp. 10 rb/Kg. Biasanya sudah ada penada yang mendatangi kami di Waigama. Sebenarnya harga jual kering jauh lebih mahal, bisa mencapai Rp. 40-50 ribu/kg di Sorong. Namun karena pengelolaan yang membutuhkan waktu lama sera biaya yang mahal, akhirnya kami menjual mentahnya saja,"jelas Pak Mura.

Bagan gandeng/apung yang ramah lingkungan
Bagan gandeng/apung yang ramah lingkungan
Ada harapan besar yang tersimpan dalam sanubari pak Mura Malewa. Harapan itu adalah uluran tangan dari pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat, melalui dinas kelautan dan perikanan dalam membantu mengembangkan usaha bagan di Waigama.

"Kami sudah memulai bisnis bagan. Tinggal dikembangkan saja. Biasanya kami menjual mentah dengan harga standar. Jika dibantu oleh oleh dinas perikanan, bisa saja kami akan menjual kering dengan harga yang jauh lebih baik. Apalgai di Waigama sudah ada 13 bagan. Sungguh kami akan sangat berterima kasih jika ada uluran tangan dari pemerintah daerah", Ungkapan harapan anak negeri.

Baginya, menjadi tuan dinegeri sendiri bukan lagi khayalan. Ia mampu membuktikan dengan kerja keras serta konsisten. Bukan hanya menjadi pekerja, namun secara bertahap ia mampu membuka lapangan bekerja dari usaha bagan yang ia tekuni. Satu contoh kecil, bahwa kekayaan sumber daya alam laut Raja Ampat bisa dikelola sendiri oleh anak negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun