[caption id="attachment_150828" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi (shutterstock)"][/caption] Masa sekolah adalah masa favorit kebanyakan orang, setuju?! Cinta monyet, bolos sekolah, dan berbagai kenakalan masa remaja/ dewasa lainnya adalah salah satu momen yang seru dan ngga terlupakan. Di masa ini pula seringkali kita menemukan teman-teman yang akrab dengan masalah, terutama karena kenakalan-kenakalan yang ia buat. Ngga cuma dengan teman-teman lainnya, bahkan guru dan juga dirinya sendiri. Maka ngga jarang "anak-anak nakal ini" sering kita simpulkan sebagai orang-orang yang Madesu alias masa depannya suram. Boro-boro belajar dan ngerjain PR, kadang buku dalam tas pun cuma bawa satu. Sehari-harinya cuma bikin ribut suasana kelas, nge-geng, ngejailin orang, dan kelakuan nakal lainnya. Jadi ngga heran kalau nilai-nilai mereka di rapot hampir merah semua. Tapi pernahkah kemudian Anda menemukan kembali teman-teman ini setelah sekian tahun terlewati dan ternyata dalam kondisi yang berbeda dari apa yang dilakukannya di masa sekolah dulu? Mereka ngga cuma bekerja, tapi jadi pengusaha (entrepreneur) bahkan punya perusahaan sendiri. Seperti pernah suatu waktu saya ketemu seorang teman saya yang dulunya nakalnya bukan main, tiap bulan entah 1 atau 2 kali pasti sempat "nongkrong" di ruang BP. "Di mana (kerja) sekarang?" saya mulai percakapan. "Gue jualan sepatu sekarang. Produksi sendiri. Main dong ke kantor gue!" jawabnya, sebuah tawaran menarik sekaligus miris. Ya, saat itu saya heran bukan main, orang yang dulunya nakal kok sekarang bisa kepikiran jadi pengusaha ya?! Pepatah "Don't judge book by its cover" benar-benar sakti ya! Saat itu saya seolah-olah ngga terima kondisi mereka yang ibaratnya jadi bos di perusahaan sendiri. Sementara banyak orang lain yang (meskipun) punya jabatan tinggi tapi tetap aja kerja di perusahaan orang lho statusnya. Prestigenya kalah dengan mereka yang punya usaha sendiri. Ingat! Sekarang bukan zamannya lagi membanggakan diri karena bisa bekerja di perusahaan BUMN atau sebagai PNS. Sekarang zamannya penghasilan ngga berbatas dengan waktu yang lebih leluasa. Ya jadi entrepreneur caranya. Mungkin dulu kita sangat percaya bahwa dengan kerja keras, semua hal mudah dicapai. Memang betul, kerja keras menjadi dasarnya tapi melihat mereka yang sekarang sukses padahal dulunya ngga mencerminkan itu (nakal), kadang bikin kita merasa dicurangi. "Tuhan ngga adil!" gitu kira-kira bahasa lebaynya. Capek-capek belajar dan berprestasi dari kecil tapi masih aja kerja buat orang lain. Ada ungkapan menarik dari Jaya Setiabudi di bukunya The Power of Kepepet yang senada dengan kondisi tersebut sekaligus menjadi cambuk buat saya sendiri; “Lebih baik kecil jadi bos daripada gede jadi kuli. Kuli, ngga kerja ngga dapat makan. Kalau bos, ngga kerja pun dapat makan.”. Semakin maju zaman, semakin maju pula pemikiran kita. Kerja keras sebagai sebuah standar kerja kemudian melebur menjadi kerja cerdas. Sebuah pola kerja yang memadukan kemampuan fisik dengan kemampuan/ kepintaran seseorang dalam melihat peluang. Latar belakang pendidikan dan pengalaman menjadi penting dalam hal ini. Bisa dibilang, orang-orang yang punya prestasi dan pengalaman baik akan mendapatkan tempatnya dengan pola kerja seperti ini. Tapi kemudian hal ini dipatahkan saat orang-orang yang ngga kita perhitungkan mulai terjun di kerasnya persaingan usaha. Bukan kerja keras dan kerja cerdas saja yang mereka bawa, lebih dari itu mereka menerapkan pola kerja kreatif. Begitulah saya menamakannya. Pola kerja inilah yang menjadi dasar dari si "anak-anak nakal" tersebut. Dengan pola kerja kreatif mereka ngga sekadar bisa melihat peluang, lebih dari itu mereka menciptakan peluang! Apalagi dengan tools dan media yang terus tumbuh seperti social media dan gadget, yang sekarang ini ibarat sebuah platform baru dalam dunia bisnis. Fenomenanya bisa kita rasakan sendiri, saat akun twitter @infobdg atau yang sejenisnya kini menjadi sumber berita yang lebih dipercaya (berdasarkan jumlah followersnya) banyak orang Bandung atau oleh orang-orang yang punya ketertarikan dengan Bandung. Coba cek deh di twitter antara akun @infobdg dan @pikiran_rakyat! Perhatikan jumlah followersnya, Anda mungkin terkejut dengan temuan ini! Kita juga bisa bercermin dari Ma Icih, yang notabene cuma keripik pedas, yang sebetulnya bukan barang baru di Bandung bahkan di Indonesia. Tapi sejak kemunculannya, keripik pedas-keripik pedas lainnya ibarat biji jagung jadi pop corn, meletup-letup keluar dari wadahnya dengan berbagai label. Bukan cuma itu, cara jualan Ma Icih pun menjadi standar bagi keripik-keripik pengikutnya. Sebuah channel distribution yang keluar dari jalur mainstream, yang membuat produk menjadi lebih eksklusif karena dicari banyak orang. Begitulah orang-orang yang bekerja dengan pola kerja kreatif. Mereka melihat lebih jauh sebuah peluang dengan menciptakan peluang itu sendiri. Pola pikir kreatif dan inovasi yang dilakukan orang-orang di belakangnya menjadikan brand mereka bukan sekadar dikenal tapi menjadi fenomena. Mengapa kemudian saya katakan pola kerja kreatif ini dimiliki oleh "anak-anak nakal"? Berikut analisa yang ingin saya bagi bersama, mudah-mudahan berguna. Risk-taking person People said they were nuts. I said, “They have guts!”. Buat saya, mereka-mereka ini bukan orang "gila" yang suka membuat kehebohan dan melakukan hal-hal diluar perkiraan, mereka punya nyali! Ya, nyali untuk mencoba! Banyak orang yang under estimate dengan kemampuan mereka dan menganggap yang mereka lakukan itu modal nekat, tanpa perhitungan. Tapi buat mereka, "Biar deh gue dibilang nekat dan tanpa perhitungan. Tapi gue ngga lebih buruk daripada orang yang ngga pernah mencoba karena kebanyakan mikir." begitu timpal teman saya. Banyak orang yang justru berilmu tinggi menghabiskan waktunya dengan berpikir, memikirkan segala kemungkinan yang ada. Memang baik, tapi kalau ngga jalan-jalan ya buat apa dipikirin! Sementara "anak-anak nakal" ini ngga peduli gagal. Ini penting! Mereka ngga takut gagal! The Power of Kepepet Mengutip judul bukunya Jaya Setiabudi, "anak-anak nakal" ini, karena tanpa rencana jelas seringkali mengambil jalan (keputusan) dalam kondisi kepepet. Apakah buruk? Nyatanya tidak. Dalam buku The Power of Kepepet, penulis mengungkapkan kekuatan terpendam manusia yang didasarkan pada kondisi kepepet/ terdesak. Ingat saat kita mau menghadapi ujian sekolah? Entah kenapa kita bisa menerapkan SKS alias Sistem Kebut Semalam untuk menghadapi ujian tersebut. Otak mendadak encer menangkap materi yang dihapalkan, sampai-sampai ngantuk dan capek pun terkalahkan. Bandingkan dengan kondisi biasa untuk belajar, malasnya bukan main! Begitupun dalam bisnis. Uang pinjaman bank yang digunakan sebagai modal adalah motivasi lebih untuk bisa membayar angsurannya karena jika tidak dibayar barang kita yang menjadi agunan bisa raib. Beda kalau kita pakai uang pinjaman dari orang tua, keluarga, atau teman, karena toleransinya bisa begitu besar, sehingga keadaan ini tidak menjadi motivasi tambahan untuk kita bekerja lebih baik. "Anak-anak nakal" ini memang tanpa rencana, tapi mereka menghadapinya. Pergaulan/ Networking Luas Ingat bagaimana "anak-anak nakal" biasanya nge-geng? Nongkrong rame-rame, kapan saja, di mana saja. Kedekatan mereka ini seringkali berada pada tahap saling support dalam banyak hal, termasuk bisnis. Mereka juga terbuka dengan orang baru alias tidak membatasi pergaulannya. Banyak orang yang langsung menaruh curiga pada orang baru. Wajar banget, tapi dalam hal ini keterbukaan menjadi modal kuat menambah pergaulan. Mau sukses? Eksis deh! Banyak teman artinya peluang makin terbuka lebar, karena pada dasarnya ngga ada kesuksesan yang bisa didapat karena usaha sendiri melainkan karena adanya dukungan orang-orang di sekitar kita. Spirit of Freedom Pada dasarnya setiap anak tidak ingin dikekang, tidak suka aturan, oleh karena itu mereka selalu berusaha melepaskan diri dari hal-hal semacam itu saat aturan tersebut ada. Semangat kebebasan yang membuat pikiran mereka selalu lebih hidup dibandingkan dengan orang yang "terkotak-kotak" karena sebuah aturan, sehingga seringkali membuat orang-orang ini ibarat jalan ditempat karena takut salah jika keluar/ berbeda dari aturan yang ada. Nah berdasarkan 4 hal ini pula kita bisa sama-sama mengambil simpulan bahwa dengan membiasakan diri berpikir seperti "anak-anak nakal", kita diajarkan untuk tidak takut mengambil langkah (keputusan). Bukan dengan jadi nakal beneran lho! Tapi mengiplementasikan pola pikirnya saja. Jangan membebani pikiran terlalu ribet dalam ketakutan, kekhawatiran, atau kesempurnaan saat menetapkan langkah, karena semuanya semu dan ngga akan pernah jadi nyata sebelum kita mencoba dan melewatinya. Just do it! Kalau kata taglinenya Nike.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H