[caption id="attachment_151397" align="aligncenter" width="637" caption="klik gambar untuk melihat video keren ini! :D"][/caption] Seringkali kita diajarkan untuk selalu berpikir positif. Suatu kondisi di mana kita berusaha melihat segala sesuatu yang kita alami dalam hidup ini sebagai sebuah kejadian yang (pokoknya) akan baik-baik saja.
"Everything’s gonna be alright," kata orang bule. "Semua kondisi yang kita terimakan kelak akan membesarkan hati kita," kata bahasa para motivator. Dengan kata lain, berpikir positif membiasakan diri kita untuk melihat semua hal (terutama hal-hal buruk/ ngga sesuai harapan) sebagai sesuatu yang wajar, bukan?!
Kecopetan hape (ponsel), bilangnya "Insyaallah nanti pasti ada gantinya. Anggap aja sebagai penebus dosa". Ngga lulus ujian/ tes kerja? "Memang belum rezeki saya. Tuhan pasti punya rencana lain," jawab seseorang dengan pasrah. Ditolak sama gebetan? "Mau bilang apa? Emang bukan jodoh saya," berusaha menghibur diri. Ada lagi seorang anak nangis-nangis karena ngga lulus ujian sekolah. Orangtuanya pun berusaha menenangkannya dengan bilang, "Sabar sayang, kamu ngga sendirian.". Lho kok!?? Sorry, just kidding :D.
Tapi siapa yang benar-benar tahu anak itu serius belajar atau sekadar membaca?! Ujung-ujungnya si Ortu berusaha berpikir positif dengan cara ngga menyalahkan anak sendiri melainkan menyalahkan sistem pendidikan di Indonesia yang ngga adil. Ketahuilah, sistem-sistem di Indonesia dan apapun yang berbau pemerintahan emang ngga bener, setuju?! Jadi, telan saja, dibikin enak.
Ehm! Anyway, balik lagi ke pikiran positif. Apa itu berpikir positif? Apa gunanya berpikir positif? Ada yang ingat kapan terakhir kali pikiran positif kita membawa perubahan ke arah yang lebih baik? Apakah saat kita sadar ngga punya uang buat besok, lalu berpikir positif dan semua masalah keuangan terselesaikan? Atau kita justru terpacu untuk berbuat sesuatu karena kita takut, ragu, khawatir, dengan kondisi kita besok mau makan apa karena ngga punya uang? Mana pilihan jawaban yang paling sesuai, menurut kawan-kawan kompasianer?
Rezeki emang udah ada bagiannya. Betul. Nah masalahnya, kita ngga pernah tahu bagian kita kapan, ya kan?! Tuhan punya sekitar 7 milliar penduduk bumi untuk dipikirkan. Dan Tuhan ngga milih-milih lho saat ngasih rezeki. Orang yang ibadahnya rajin dan amalnya bagus dengan orang yang ngga pernah ibadah, tukang copet, tukang pukul, dan lainnya, semua kebagian rezeki Allah. Nah, yang jadi dilema itu orang-orang yang ada di tengah-tengah; kadang sholat kadang ngga, kadang jahat kadang baik, kadang zakat kadang lewat, dan banyak lagi. Akhirnya Tuhan pun setengah-setengah ngasihnya alias ngga jadi-jadi ngasih karena kitanya labil! Hehe. Begitulah kalau yang ngejelasin beginian ustad gaul, kayak di mesjid dekat rumah saya ini.
Masih adakah dari kita yang menggantungkan harapan kosong sehingga rezeki datang begitu saja tanpa kita berbuat apa-apa? Ya silakan aja kalau mau gitu. Insyaallah, rezeki pasti selalu ada. Tuhan mana mungkin ingkar janji. Tapi saya juga pengin nyaranin bahwa ada jalan yang lebih baik, yaitu menjemput yang namanya rezeki itu.
Gimana caranya? Berhentilah berpikir positif! Kedengarannya memang ekstrem. Tapi perhatikan kenyataan yang saya paparkan di atas. Cara kita berpikir positif seringkali malah jadi cara kita untuk memaklumi keterbatasan kita dan kondisi sekitar. Kita menjadi gampang untuk mengalah pada keadaan. Sekali lagi, tentang rezeki kita yang belum waktunya itu urusan Tuhan, kawan. Tapi tentang jalan hidup kita mau seperti apa, itu kita yang buat!
Berpikir positif mengajarkan kita (baca: saya) untuk manja, tenang, santai, karena selalu (berusaha) yakin bahwa semua akan baik-baik aja. Hei! Semua ngga baik-baik saja. Pengangguran masih banyak, kemiskinan tak jua teratasi, korupsi lancar jaya, yang kaya makin kaya yang miskin tetap aja ngga bisa berobat. Hei! Semua ngga baik-baik saja!
Apakah kita harus menyerahkan berbagai macam keputusan dan jalan hidup dengan pikiran-pikiran seperti ini? Santai kayak di pantai, gitu? Ngga pernah merasa terancam, ngga pernah merasa putus asa, ngga pernah merasa kecewa, ngga pernah takut miskin, ngga pernah takut ngga punya uang, dan lain sebagainya. Ya kalau bisa Alhamdulillah dong. Tapi juga akui kalau sebetulnya kita takut, ragu, khawatir.
Muhammad SAW adalah seorang Nabi, Rasul, kekasih Allah. Ibaratnya ngga perlu sholat pun dah pasti masuk Surga. Tapi kenapa beliau tetap beribadah dan takut terhadap aturan-aturan Allah? Bukan cuma ibadah wajib bahkan yang sunnah pun beliau tetap jalani, padahal rumahnya di Surga adalah pasti, kenapa?
Steve Jobs, sebagai salah satu tokoh penting di dunia pun hidup dengan prinsip, "bagaimana kalau kita mati besok?". Hal itu pula yang kemudian memacunya untuk selalu produktif dalam menghasilkan karya-karya hebat yang kemudian jadi kebutuhan semua orang di dunia.
Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart. –Steve Jobs
Hidup dalam tekanan memang ngga nyaman. Tapi saat Anda nyaman apakah Anda benar-benar bisa berpikir tenang? Hidup dalam tekanan adalah semangat hidup dan semangat berkarya yang sesungguhnya. Ngga percaya? Tanya saja orang-orang yang bekerja di industri kreatif.
Lembur, tekanan, deadline. Lembur, tekanan, deadline. Lembur, tekanan, deadline. Begitu seterusnya.
Apa mereka menikmatinya? Pada dasarnya bukan menikmati prosesnya, tapi menikmati hasil akhirnya. Bagi mereka, kepuasan dalam menciptakan sebuah karya melebihi apapun yang orang lain idam-idamkan dalam pekerjaan. Apa yang diidam-idamkan orang dalam bekerja? Tentu saja gaji besar dan pulang lebih cepat.
Lembur, tekanan, dan deadline, adalah cambuk bagi orang-orang di industri kreatif untuk menghasilkan karya-karya berkualitas (baca: kepuasan). Inilah yang bikin mereka survive dan terpelihara pikirannya untuk selalu terpacu dan kompetitif dalam menciptakan karya-karya kreatif. Sebuah contoh perilaku positif yang pantas kita tiru, bukan?
"Kepekaan, gagasan, nyali, tak pernah lahir dari pikiran positif. Karena ketika pikiran positif berbisik, semua (terasa) sudah cukup," begitu ungkap seorang copywriter di salah satu agency iklan ternama di Jakarta.
Maka jadilah seseorang yang "lebih". Keinginan lebih untuk maju, keinginan lebih untuk berubah, bahkan keinginan lebih untuk mengguncang dunia. Bukan keinginan untuk bikin perut makin maju kayak para pejabat dan aparat ya!
Hutan menyambut lautan, kawan. Masih banyak yang bisa kita raih. Jangan berhenti hanya karena kita ngerasa mentok, memaklumi kondisi dengan pikiran, "ya segini juga udah cukup kok.". Kalau bisa lebih, kenapa ngga? Karena sebetulnya memang kita bisa lebih. Pikiran mentok itu kita yang ciptain sendiri lho! Karena kita membiasakan untuk melihat hal yang biasa, yang umum. See the other side!
Jadilah "ngga cukup!". Hidupkan api-api negatif dalam pikiran Anda dan jadikan segala pikiran negatif tersebut sebagai penyulut semangat untuk melakukan berbagai tindakan positif! Anda ingin lebih ? Mulailah berpikir negatif.
Artikel ini terinspirasi dari seorang teman saya. Bersama timnya, mereka bikin video untuk ikutan Pinastika Ad Festival kemarin. Videonya keren. Tapi yang lebih keren lagi buat saya adalah pemikiran mereka tentang pentingnya berpikir negatif. It's way out of the box! Bagi yang berkenan silakan klik videonya di sini atau klik pada gambar. Semoga bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H