Jika menilik perjalanan karier Hatta Rajasa di kabinet, faktor politik terlihat lebih dominan dan menentukan dibandingkan faktor kecakapan. Hatta memang lihai dan licin dalam mengarungi samudera politik, tapi ia bukan seorang pekerja yang baik. Seorang menteri tugasnya adalah bekerja, bukan sibuk berpolitik. Inilah repotnya jika petinggi partai politik duduk di kabinet. Atas dasar transaksi politik ketika mendukung Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai capres 2009, partai mitra koalisi dihadiahi kursi-kursi strategis.
Bagi-bagi kuasa ini sudah begitu lazim dan mengakar dalam tradisi perpolitikan kita. Jika pihak yang mendapat jatah kekuasaan dapat mengemban amanah dengan baik dan bekerja maksimal dalam rangka mengabdikan dirinya sebagai pejabat publik, tentunya tidak akan jadi persoalan. Lain halnya jika ia diberikan kepercayaan namun pengabdian utama masih kepada partai politiknya, kepada segelintir kelompoknya, kepada pribadi dan keluarganya. Ini jelas sebuah persoalan. Dan sayangnya, model manusia seperti ini banyak terjadi. Hatta Rajasa salah satunya.
Setelah menjadi menteri selama 13 tahun, apa yang sudah dicapai Hatta Rajasa? Adakah yang bisa menyebut satu prestasi fenomenal dari satu dekade lebih Hatta duduk dalam kabinet? Mungkin ada yang teringat satu atau dua, misalnya banyaknya kecelakaan transportasi saat ia menjabat sebagai menteri perhubungan, atau kasus korupsi dana hibah KRL? Bagaimana ketika Hatta menjadi Menteri Riset dan Teknologi? Apa yang dicapainya? Ini lebih sulit dijawab. Jangankan berbicara capaian, bisa jadi banyak dari kita yang baru ingat bahwa Hatta pernah menjadi Menristek.
Jabatan yang paling melekat di Hatta adalah jabatan yang baru saja ditinggalkannya yaitu Menteri Koordinator Perekonomian. Inilah puncak karier politik Hatta Rajasa sejauh ini, menjabat Pos Menteri yang disebut-sebut salah satu yang paling powerful setelah Menko Polhukam. Tapi, apakah jabatan mentereng tersebut segaris lurus dengan prestasinya? Apakah jabatan strategis Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian berdampak strategis pula bagi kemaslahatan rakyat Indonesia?
Salah satu program kebanggaan Hatta Rajasa yang sering didengung-dengungkan sebagai Menko Perekonomian adalah proyek raksasa MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Proyek yang dicanangkan tahun 2011 ini dapat disebut sebagai rangkuman kerja seorang Hatta Rajasa di luar koordinasi reguler kepada 15 kementerian bidang ekonomi di bawahnya. Proyek MP3EI adalah sebuah induk dari rangkaian proyek yang dijadwalkan untuk dikerjakan dengan cakupan wilayah dari Sabang sampai ke Merauke. Skala proyek ini memang raksasa dan terkesan ‘wah’. Tapi benarkah demikian? Bagaimana dengan realisasinya?
Keberadaan Proyek MP3EI tak dapat dilepaskan dari peran negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan Asian Development Bank (ADB), menyiapkan dana besar untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur ini. Potensi pengembangan infrastruktur di negara kita sangat dilirik oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Apalagi dengan krisis ekonomi yang melanda Amerika dan Uni Eropa, lembaga-lembaga tersebut memandang Indonesia sebagai pasar yang menjanjikan untuk ekspansi modal mereka. [Salamuddin Daeng, Manipulasi Kapitalisme atas Krisis Infrastruktur, artikel dalam Jurnal Free Trade Watch, IGJ, Jakarta, edisi Oktober 2012]
Itu dari segi pendanaan, bagaimana dengan aspek lainnya? Secara garis besar proyek MP3EI mengandung persoalan pelik yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: kebijakan yang tumpang tindih dan minimnya peran industri domestik terutama UMKM.
Walaupun secara eksplisit diterangkan bahwa MP3EI melibatkan semua komponen pemerintah, ternyata setelah disahkan MP3EI mendapat kendala justru dari regulasi itu sendiri, di antaranya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah daerah, UU Pengadaan lahan, dan program kementerian PU dan daerah.
Pemegang saham terbesar ekonomi suatu negara adalah pelaku ekonomi domestik, utamanya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Perekonomian yang efektif, yang dapat mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan memperkecil kesenjangan, harus digerakkan oleh aktivitas berskala mikro. Permasalahannya, MP3EI tidak berpihak kepada pelaku ini dan malah memberikan fasilitas yang besar kepada investasi asing. Dalam MP3EI, fokus pembangunan infrastruktur berorientasi kepada sektor besar, BUMN, BUMD dan swasta besar. Lantas mau dikemanakan UMKM?
Masih banyak kritik atas content MP3EI. Di antaranya mengenai kebijakan pro-liberalisasi, yaitu peluang investasi asing yang begitu lebar. Kebutuhan dana MP3EI ini mencapai Rp4000 Triliun sampai tahun 2025, darimana kita mendapatkannya kalau bukan dari pihak swasta? Belum lagi kesenjangan pembangunan di Indonesia Barat dan Timur (masih dominan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan), dan target tahapan peningkatan PDB yang terlalu muluk-muluk. MP3EI rupanya bukan desain bagi kemajuan seluruh masyarakat Indonesia, tetapi hanya menguntungkan mereka yang disebut pemilik modal, baik pemodal dalam negeri maupun asing. (MP3EI, Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat Kehancuran oleh Siti Rakhma Mary)
Salah satu bagian proyek MP3EI yang paling mengundang perhatian khalayak luas adalah pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Dari awal, proyek senilai Rp200 Triliun ini juga sarat masalah. Ekonom Faisal Basri sempat mengulas proyek pembangunan JSS ini dengan menyebut proyek JSS ini sebagai ‘Puncak Sesat Pikir’ karena selain tidak urgen, proyek ini jelas menafikan karakter maritim bangsa kita dengan menganggap laut sebagai pemisah, bukan penghubung. Alih-alih membenahi pelabuhan dan memperkokoh armada pelayaran, pembangunan jembatan adalah wujud dari cara berpikir darat. Dengan JSS, dominasi transportasi darat akan semakin mencengkeram. Untuk menopang JSS, pemerintah harus menambah kapasitas jalan di kedua pulau agar tidak mengalami bottle-necked. Beban jalan di Jawa dan Sumatera bakal semakin berat. Ongkos pemeliharaan jalan semakin mahal. Sedangkan dengan memperkokoh transportasi laut tidak membutuhkan ongkos pemeliharaan.
Kapasitas Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian juga meragukan dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu mengkoordinasi kementerian di bawahnya. Salah satu contoh nyata adalah kenaikan harga bawang pada awal tahun 2013 yang disebabkan oleh tidak sinkronnya kebijakan Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan. Ini menunjukkan betapa buruknya koordinasi antar kementerian yang mestinya menjadi domain kerja utama Menteri Perekonomian.
Kesimpulannya, kiprah panjang Hatta Rajasa sebagai pejabat publik tidak sebanding dengan aksinya. Aksi Nyata yang ia gembar-gemborkan selama ini hanya menjadi slogan kosong. Hatta bukan seorang abdi publik, ia hanyalah seorang poitisi yang terlalu sibuk berpolitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H