Publik jagad twitter geger ketika beberapa hari yang lalu tiba-tiba muncul dokumen yang selama ini ditutup rapat, digembok, dan dikubur dalam tanah. Dokumen itu adalah Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/ 03/VIII/1998/DKP. Lalu apa yang membuatnya istimewa? Tidak lain karena isi dokumen itu merupakan hasil akhir dari pemeriksaan dengan nama terperiksa: Letnan Jendral TNI PRABOWO SUBIANTO. Ya, dia yang saat ini menjadi salah satu capres inilah yang menjadi objek dalam dokumen Dewan Kehormatan Perwira itu.
Berbicara mengenai Prabowo Subianto, sulit rasanya untuk melepaskan dia dari label ‘penculik’, ‘pembunuh’, ‘penjahat kemanusiaan’, dan nama lain yang membuat bulu kuduk berdiri. Memori yang langsung diidentikkan dengan Prabowo Subianto adalah tragedi periode 1997-1998. Kala itu Orde Baru masih menguasai republik ini namun pergolakan aktivis untuk menumbangkan rezim, semakin menguat.
[caption id="attachment_329102" align="aligncenter" width="640" caption="Wiji Thukul: hilang sejak 1998 (solopos.com)"][/caption]
Pada periode masa kelam kita sebagai bangsa itu, Prabowo Subianto menjabat sebagai Komandan Jendral Korps Komando Pasukan Khusus atau yang lebih tenar dengan nama Kopassus, sebuah kesatuan elit angkatan darat yang begitu disegani. Dengan diwarnai penculikan belasan aktivis yang hingga kini tidak diketahui kabarnya, karier militer Prabowo Subianto tamat seiring keluarnya Keppres Nomor: 62/ABRI/1998 tentang pemberhentian Prabowo Subianto terhitung mulai akhir November 1998 yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie.
Nah, mungkin awalnya tidak banyak orang yang tahu bahwa keluarnya SK pemberhentian Prabowo Subianto dari militer itu dilatarbelakangi oleh rekomendasi dari Panglima TNI (ABRI pada saat itu) Jendral Wiranto dengan didasari hasil sidang Dewan Kehormatan Perwira dan berkat beredarnya dokumen keputusan Dewan Perwira itulah kemudian publik mulai sedikit demi sedikit mendapatkan informasi. Kebenaran informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu memang sangat kabur dan pihak elit TNI yang menjabat periode 1997-1998 pun seolah menutup rapat informasi tanpa pernah diketahui apa sebabnya sehingga sangat sulit bahkan hampir mustahil terungkap.
Sejatinya, dokumen Keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang beredar luas akhir-akhir ini sedikit menyingkap tabir kegelapan hilangnya belasan aktivis yang diculik pada masa itu. Setidaknya, daftar ‘dosa’ Prabowo Subianto yang menjadi dasar pengambilan keputusan Dewan Kehormatan Perwira terpampang dengan terang benderang. Diluar poin pelanggaran terhadap aturan internal TNI, Prabowo Subianto juga melakukan tindak pidana dengan memerintahkan pengungkapan, penangkapan, dan penahanan orang-orang yang diklasifikasikan sebagai ‘aktivis kelompok radikal’ dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang sebetulnya Prabowo tahu itu BUKAN kewenangannya sebagaimana dinyatakan pada consideran menimbang huruf d. Parahnya, Prabowo Subianto menyatakan kepada anak buahnya bahwa perintah untuk mengungkap, menangkap, dan menahan itu ‘sudah dilaporkan ke Pimpinan’ dan ‘Atas perintah Pimpinan’. Tindakan Prabowo Subianto kemudian oleh Dewan Kehormatan Perwira digunakan sebagai penegasan bahwa Prabowo Subianto TELAH melakukan tindak pidana berupa memerintahkan Komandan Grup 4/ Sandha Kopassus dan anggota Satgas Merpati serta Satgas Mawar untuk melakukan perampasan kemerdekaan orang lain (Psl. 55 ayat (1) ke 2 jo. Psl. 333 KUHP) dan PENCULIKAN ( Psl. 55 ayat (1) ke 2 jo. Psl. 328 KUHP).
[caption id="attachment_329101" align="aligncenter" width="400" caption="Tim Mawar (kontras.org)"]
Anehnya, tidak seperti anak buahnya yang dihukum melalui Mahkamah Militer, Prabowo Subianto diberhentikan tanpa pernah melewati proses persidangan Mahkamah Militer dan lolos pula dari Peradilan HAM. Prabowo Subianto kemudian ‘lari’ ke Jordania dan diberikan status warga negara yang berdasarkan penelusuran Associated Press diajukan sendiri oleh pihak Prabowo Subianto dan dikabulkan dengan diterbitkannya dekrit Kerajaan Jordania pada 10 Desember 2008 yang artinya hanya kurang lebih sebulan  setelah Keppres pemberhentian terbit.
Simpang siurnya penyelesaian kasus penculikan dan pembunuhan aktivis LSM terus berlarut-larut hingga saat ini. Beredarnya dokumen Dewan Kehormatan Perwira seolah menjadi angin segar baru yang memberikan harapan akan penyelesaian kasus ini. Kuat dugaan, banyak elit TNI pada masa itu akan ikut terseret apabila kasus ini memang benar-benar terungkap. Namun, untuk sebuah kepastian hukum dan keadilan bagi keluarga para korban, banyaknya Jendral yang akan terseret tentu bukanlah harga yang mahal. Harapan itu semakin besar saat deretan mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira menyatakan bahwa isi dokumen yang beredar adalah benar adanya dan dilengkapi dengan pengungkapan fakta-fakta yang sifatnya behind the scene. Tak pelak, dorongan agar Prabowo Subianto diseret ke pengadilan HAM mengemuka. Mulai dari LSM sampai mantan komisioner Komnas HAM mendukung agar kasus penculikan, penangkapan, dan pembunuhan aktivis ini diselesaikan di meja hijau. Tentu ini adalah momen menggembirakan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. TNI kini didesak untuk segera menjelaskan ke publik mengenai fakta yang sesungguhnya, bahkan WAJIB menjelaskannya . Seluruh Jendral mantan anggota DKP harus berbicara mengenai fakta-fakta apa saja yang terungkap pada sidang DKP, begitu pula dengan elit TNI yang pada saat itu sepatutnya diduga mengetahui kejadian yang sesungguhnya seperti Wiranto, Zacky Anwar Makarim selaku mantan Kepala Badan Intelijen ABRI, Sjafrie Sjamsoeddin, Kivlan Zen, Sutiyoso, dan siapa pun yang mengetahui kasus itu.
Prabowo Subianto yang menjadi ‘bintang utama’ kejahatan kemanusiaan mestilah membuktikan dirinya sebagai seorang yang berani dengan menghadapi kasusnya di pengadilan. Urusan politik TIDAK BOLEH mengalahkan perkara hukum apalagi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 5 huruf i menyatakan bahwa seorang calon Presiden dan calon Wakil Presiden haruslah TIDAK PERNAH melakukan PERBUATAN TERCELA sedangkan Prabowo Subianto tersangkut pada 2 (dua) hal yang membutuhkan klarifikasi dan verifikasi lebih mendalam, yaitu mengenai Kewarganegaraan dimana seorang calon Presiden dan calon Wakil Presiden haruslah TIDAK PERNAH menerima kewarganegaraan lain karena KEHENDAKNYA SENDIRI (pasal 5 huruf b UU No. 42 Tahun 2008) dan yang paling utama mengenai perbuatan tercela . Demi penegakan hukum, KPU harus melakukan penelusuran lebih mendalam dan bila perlu menghentikan terlebih dahulu seluruh proses pemilihan umum presiden yang sedang berjalan. Terlebih lagi sudah banyak dorongan agar Prabowo Subianto di-diskualifikasi sebagai calon presiden misalnya dari kalangan pengacara dan dari kalangan buruh.
Desakan diskualifikasi Prabowo sebagai calon presiden adalah hal yang sungguh wajar apalagi kalau kita berempati terhadap keluarga para korban yang tentu sangat berharap kasus ini dapat dituntaskan dengan menjerat seluruh pelaku yang terlibat ke dalam penjara dan mendapatkan hukuman yang setimpal. Â Anggota keluarga yang mereka cintai masih tak jelas dimana rimbanya. Para korban mungkin sudah tiada tetapi keluarga mereka tetap sangat berhak mendapatkan keadilan yang telah mereka nantikan sekian lama. Keluarga para korban rutin menggelar aksi keprihatinan yang terkenal dengan nama aksi kamisan. Kini, peluang untuk mendapatkan keadilan itu terbuka lebar. Publik harus bergerak, jangan biarkan pelaku kejahatan kemanusiaan yang keji itu justru hendak tampil sebagai pemimpin! demi Suyat, demi Wiji Thukul, dan demi aktivis-aktivis lain yang berjuang demi demokrasi!
[caption id="attachment_329100" align="aligncenter" width="600" caption="Aksi Kamisan depan Istana Negara (antaranews.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H