Mohon tunggu...
Aditya Bagus Perdana
Aditya Bagus Perdana Mohon Tunggu... -

Orang Baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesadaran Moral Si Jakarta Satu

9 Juli 2012   23:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:08 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

William Dilthey dalam memahami suatu masalah mengatakan bahwa sejarah berperan sangat vital dalam menentukan interpretasi masalah tersebut. Ini mungkin yang seharusnya dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta nantinya. Sejarah bukan romantisme. Sejarah juga bukan hipotesis dalam mencari citra di tengah masyarakat. Namun, sejarah merupakan pembelajaran dalam membangun peradaban agar lebih baik kedepannya.

Jakarta adalah ibukota negara, tempat berkumpulnya elemen budaya, pusat mencari nafkah sebagian masyarakat Indonesia. Tetapi, disisi lain Jakarta juga merupakan tempat berkumpulnya elemen koruptor, variasi sampah, dan polusi di republik ini.

Permasalahan yang begitu beragam akan memaksa siapapun orang yang mempunyai tanggung jawab dan kesadaran tinggi memutar otaknya dan melakukan tindakan praksis agar Jakarta menjadi lebih baik tanpa embel-embel apapun disekelilingnya. Apalagi jika orang tersebut mempunyai posisi yang cukup strategis dalam struktural pemerintahan Jakarta seperti gubernur dan bupati.

Pertanyaan yang akan muncul sekarang adalah apakah calon gubernur Jakarta sekarang memenuhi kriteria tersebut?

Masyarakat Jakarta tidak memerlukan kualifikasi macam-macam dari para pemimpin seperti gelar dan lain-lain. Yang dibutuhkan masyarakat adalah komitmen, moralitas, dan reaksi atas suatu tanggung jawab yang diamanahkan.

Namun, bagaimana hal semacam itu mampu terealisasi dengan baik ketika salah satu diantara mereka telah menjadi pemimpin. Apakah mereka mampu meminimalisasi kehendak pribadi atau kelompok yang memajukan mereka kemudian mementingkan kepentingan rakyat yang sebenarnya adalah kewajiban para pemimpin.

Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Arthur Schopenhauer bahwa kehendak metafisis manusia akan membuat manusia itu sendiri menjadi lebih buruk. Apakah penyakit seperti ini yang akan dialami pemimpin Jakarta nantinya?

Tetapi dibalik itu, Schopenhauer juga memberikan gagasan yang solutif dalam menangkal suatu kehendak tersebut. Itu adalah etika belas kasih. Etika belas kasih memaparkan bahwa manusia akan menemukan simpati etis dari manusia yang lainnya. Artinya dengan melepaskan egoisme dan hasrat-hasrat rendahnya.

Dengan demikian, diharapkan gubernur Jakarta nanti mempunyai kesadaran etis berupa belas kasih terhadap manusia yang dalam hal ini masyarakatnya, kesadaran akan alam sebagai tempat pijak manusia itu sendiri seperti pembersihan sampah, polusi dan lain-lain. Egoisme yang ditanggalkan dan disatu sisi terpupuk karakter berupa kesadaran moral dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat akan membuat seorang gubernur Jakarta nantinya diharapkan akan mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Intinya suatu bentuk kepemimpinan adalah yang mampu mengayomi masyarakatnya dan bukan menyengsarakan masyarakat itu sendiri. Seorang gubernur harus tahu apa yang harus dikerjakan untuk daerah dan manusianya karena dia adalah abdi dari jutaan orang. Hal ini bertujuan agar Jakarta akan lebih baik lagi kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun