Mohon tunggu...
Aditya Prayoga
Aditya Prayoga Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa

Telkom University - Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penyitaan Buku: Melarang yang Tak Bisa Dilarang

21 Agustus 2019   13:52 Diperbarui: 21 Agustus 2019   14:24 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau sampai kapan terus melarang apa yang tidak bisa dilarang? Bagaimana kita mau mengerti baik atau buruk jika buku yang ada terus disita? Sampai saat ini, pihak yang berwenang belum memberikan sanksi apapun meskipun sudah jelas bahwa aksi itu merupakan pelanggaran hukum.

Kegiatan diskusi oleh Mahasiswa Telkom University yang tergabung dalam pers kampus Lokatara, Jumat (16/8/2019) lalu, menyebut tindakan 'Razia Buku' yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan selain melanggar hukum, juga tidak dapat dibenarkan.

Kejadian tersebut terjadi di Gramedia Trans Mall Makassar pada hari Sabtu, (3/8/2019) lalu.

Membuka diskusi, ketua dari Pers kampus Lokatara, Aditya mempertanyakan putusan MK yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

"Pada tahun 2010 sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak itu sebenarnya harus melalui peradilan, yang artinya razia buku harus ada laporan, izin dari pihak yang berwenang dan juga harus disertai pembuktian yang kuat."

Apalagi razia tersebut dilakukan bukan di lapak yang 'illegal' melainkan di dalam Gramedia yang sudah memiliki izin resmi dan telah bekerja sama dengan penerbit.

Dalam video yang diperlihatkan, razia buku dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Brigade Muslim Indonesia di Makassar itu diantaranya Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dan Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Kedua buku tersebut ditulis oleh Franz Magnis-Suseno, penulis dan guru besar dalam bidang filsafat, juga rohaniawan katolik.

Pelarangan buku-buku Marxisme, menurut Dosen Telkom University, sekaligus pembina dari Lokatara, Rana Akbari seharusnya tidak perlu terjadi, apalagi kampus menggunakan buku tersebut untuk menambah referensi dalam pembelajaran serta mematangkan pemikiran dari mahasiswa.

"Apa mereka sudah baca bukunya? Apa mereka sudah paham bukunya? Atau cuma karena cover bukunya aja itu langsung mereka rampas?"

Mau sampai kapan terus melarang apa yang tidak bisa dilarang? Bagaimana kita mau mengerti baik atau buruk jika buku yang ada terus disita? Sampai saat ini, pihak yang berwenang belum memberikan sanksi apapun meskipun sudah jelas bahwa aksi itu merupakan pelanggaran hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun