Cina adalah salah satu negara yang mengalami perkembangan ekonomi tercepat dalam sejarah dunia modern. Dalam beberapa dekade terakhir, Cina telah menjadi kekuatan ekonomi global, dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kedua di dunia. Kebangkitan Cina ini tidak hanya berdampak besar pada kawasan Asia, tetapi juga pada tatanan global, yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat (AS) sebagai negara adidaya.
Salah satu karakteristik dari kebangkitan Cina adalah penerapan strategi neo-merkantilis, yaitu suatu bentuk kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan nasional melalui perdagangan yang menguntungkan, proteksi pasar domestik, dan akumulasi cadangan devisa. Cina menggunakan kekuatan ekonominya untuk mengejar kepentingan politik dan strategisnya, baik di kawasan regional maupun di tingkat global. Terdapat Beberapa strategi neo-merkantilisme yang telah dijalankan oleh Cina untuk mencapai kepentingannya, seperti Belt and Road Initiative (BRI) dan Made In China 2025.
Strategi pertama yang telah dilaksanakan oleh Cina yaitu, Belt and Road Initiative (BRI) yang diluncurkan pada tahun 2013. Belt and Road Initiative (BRI) adalah proyek infrastruktur global yang ambisius yang bertujuan untuk menghubungkan Cina dengan lebih dari 60 negara di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin melalui jalur darat dan laut. BRI merupakan bagian dari upaya Cina untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan regional dan dunia, dengan menawarkan pinjaman, investasi, dan bantuan pembangunan kepada negara-negara mitra. Namun, BRI juga menuai kritik dari beberapa negara, terutama AS, yang mengkhawatirkan bahwa proyek ini akan meningkatkan ketergantungan ekonomi dan politik negara-negara mitra terhadap Cina, dan berpotensi menimbulkan masalah lainnya.
Strategi kedua yang telah  dilaksanakan oleh Cina yaitu, Made in China 2025, yang diumumkan pada tahun 2015. Made in China 2025 adalah rencana industrialisasi yang bertujuan untuk mengubah Cina menjadi pemimpin global dalam bidang teknologi tinggi, seperti robotika, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan kendaraan listrik. Rencana ini merupakan bagian dari upaya Cina untuk meningkatkan nilai tambah dan kemandirian industri-industri nasionalnya, serta mengurangi ketergantungan pada impor teknologi dari negara-negara maju, terutama AS. Namun, rencana ini juga menimbulkan kekhawatiran dari negara-negara lain, yang menganggap bahwa Cina akan mengancam posisi mereka dalam rantai pasok global.
Dampak dari program-program yang dijalankan oleh Cina menyebabkan pecahnya Perang dagang AS-Cina, yang dimulai pada tahun 2018. Perang dagang AS-Cina merupakan salah satu bentuk persaingan kekuatan antara Cina dan AS, yang saling memberlakukan tarif pada barang-barang impor satu sama lain. Perang dagang ini mencerminkan ketidakpuasan AS terhadap praktik perdagangan Cina yang dianggap tidak adil, seperti dumping, subsidi, pencurian kekayaan intelektual, dan transfer teknologi paksa. Di sisi lain, Cina berusaha mempertahankan aksesnya ke pasar AS, yang merupakan mitra dagang terbesarnya, dan melindungi industri-industri strategisnya, seperti teknologi, telekomunikasi, dan energi.
Kebangkitan Cina sebagai kekuatan neo-merkantilis menjadi salah satu fenomena ekonomi politik global yang patut diperhatikan di abad ke-21. Cina telah menggunakan kekuatan ekonominya untuk mengejar kepentingan politik dan strategisnya, baik di kawasan regional maupun di tingkat global, dengan menerapkan strategi-strategi seperti perang dagang, BRI, dan Made in China 2025. Kebangkitan Cina ini berdampak besar terhadap ekonomi politik global, baik secara positif maupun negatif, tergantung pada perspektif dan kepentingan dari negara-negara yang terlibat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H