Mohon tunggu...
Aditya Firman Ihsan
Aditya Firman Ihsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

deus, homines, veritas

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ironi Informasi

2 Agustus 2014   14:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:37 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Everybody gets so much information all day long that they lose their common sense" -- Gertrude Stein --

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Ironi Informasi"][/caption] Telah banyak hal yang terjadi dalam rangkaian arus peristiwa mempengaruhi bagaimana manusia berpikir. Dari zaman ke zaman, dari periode ke periode, arah dan bentuk pikiran manusia berganti tiada henti dalam suatu siklus autopoesis, siklus yang membangun dirinya sendiri, hingga akhirnya walau manusia seakan mengulang sejarah dalam kasus yang tak pernah jauh berbeda, sebenarnya yang diulang hanyalah prosesnya, sementara struktur dan pola yang berlaku telah tiada di tempat, mengalami perombakan terus menerus, dengan berbagai bumbu yang terus dicampur dalam adonan kompleks peradaban. Pada akhirnya semua elemen yang berperan dalam sejarah adalah pabrik raksasa manusia-manusia baru, memproduksi tiada henti bentukan-bentukan baru pemikiran manusia. Semua elemen, tanpa terkecuali, termasuk teknologi. Mengenai apa itu teknologi sendiri tidak akan terlalu banyak mendapat pembahasan di sini, karena itu adalah suatu bagian yang lebih besar lagi dari masalah yang ada, crème de la crème. Teknologi yang lebih dapat kita tekankan di sini adalah mengenai bagaimana sekarang manusia berada dalam sebuah zaman yang dikenal dengan era informasi, era di mana semua pengetahuan bukan lagi sebuah hal yang langka, era di mana setiap jengkal udara kita dipenuhi dengan sinyal-sinyal informasi, sebuah era baru yang mementuk peradaban baru, rezim baru, dan, manusia baru. Gejala informasi telah menjadi pabrik utama yang baru dalam membentuk pikiran manusia yang liat. Seperti apa manusia-manusia baru ini dapat kita lihat seksama di sekeliling kita, bahkan melihat diri kita sendiri, mencakup segala golongan, dari pekerja hingga pejabat, dari anak nakal hingga intelektual. Dalam hal pola pembentukan manusia-manusia baru di zaman ini, kita memasuki suatu masa dimana siklus ini berputar semakin cepat, bukan dalam hitungan dekade ataupun abad, tapi dalam hitungan tahun, bahkan bulan. Semuanya bermula ketika informasi mulai mendapatkan tempat istimewa yang bisa diakses siapa saja dengan kemudahan yang tak diperkirakan sebelumnya. Informasi dan pengetahuan adalah dasar utama yang membentuk paradigma dan persepsi manusia. Dalam sebuah teori yang dikenal sebagaiBounded Rationality, kita melihat dan bertindak, semua ditentukan oleh apa yang kita ketahui saat itu. Bahkan kesadaran dan rasionalitas yang dimiliki seseorang saat berpikir pun dipengaruhi oleh informasi yang ia miliki saat itu. Kita tahu maka kita bertindak, dari suatu tindakan kita mengetahui sesuatu. Itulah bentuk sederhana dari sifat autopoetik yang dimiliki kesadaran manusia, yang secara global membentuk sebuah siklus raksasa dalam periode ratusan tahun dan membentuk sejarah yang kita ketahui hingga saat ini. Dari situ kita mengetahui bahwa kunci penting dari siklus raksasa penentu gerak manusia adalah informasi, dan dari semua perkembangan yang ada, kita mulai memasuki masa di mana informasi telah mengalami pembebasan yang berlebihan, berujung pada alienasi dan reduksi makna. Hal ini yang akhirnya mengasilkan banyak fenomena yang terjadi dalam berbagai bentuk di setiap sudut sektor. Ia bagai gurita yang melilit ke setiap lini kehidupan, membawa semua sudut pandang menuju satu permasalahan yang sama. Di ujung Intelektualitas Sekarang mari kita sempitkan sudut pandang kita menuju apa yang paling terdekat, menuju suatu objek yang tiada habisnya berada dalam pembahasan, ya, menuju mahasiswa, suatu sudut pandang dengan identitas yang mengalami begitu banyak paradigma. Walau sebelum beranjak pada pembahasan apapun penyamaan persepsi adalah hal yang penting, namun sepertinya tak perlu lagi kita mengulang hal retoris memuakkan seperti definisi mahasiswa yang pada akhirnya tetap disalahartikan tanpa ada penerapan yang berarti. Mungkin sekedar untuk mengingat kembali, mahasiswa memiliki dua identitas penting yang membentuknya, yang pertama adalah pemuda, dengan akal yang mulai mematangkan diri, dan intelektual, dengan akal yang mulai mensistemasi diri. Sekali lagi, hal yang cukup menarik untuk kita bahas bersama adalah mengenai intelektual itu sendiri, yang mengalami begitu banyak hal yang selalu menimbulkan kata tanya di tengah berbagai kegiatan yang terjadi di kampus-kampus dan perguruan tinggi di Indonesia. Kembali ke masalah informasi, semua hal, terutama keadaan sosial masyarakat, mengalami suatu kondisi dan keadaan anomali dengan berbagai gejala-gejalanya yang kompleks sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi ini. Sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi tidak dapat terlihat secara jelas dan nyata di dunia chaos informasi ini. Segalanya mulai dirabunkan dan batas-batas mulai diruntuhkan menuju satu dunia yang “maya”, membawa manusia dalam ketidakpastian keyakinan dan pendirian, mengobrak-abriknya dalam suatu badai semu tak kasat mata namun pelahan mengikis ideologi-ideologi yang ada, yang pada akhirnya membawa seluruh dunia melayang dalam dimensi kompleks namun hampa ilusif. Ketika seharusnya intelektual adalah yang paling mampu bertahan di tengah badai ini, kaum intelektual malah menjadi korban paling utama dan paling mudah dipermainkan dalam angin yang tak pernah pasti. Memang, dalam suatu perang, baris terdepanlah yang paling mudah mati. Intelektualitas merupakan suatu kata yang cukup krusial dalam berbagai proses yang terjadi sebagai bagian dari dinamisasi sosial. Sejarah cukup banyak mengungkapkan bagaimana segalanya digerakkan oleh intelektualitas. Tak perlu seorang pemimpin yang agung, tak perlu sosok penakluk yang kejam, tapi apabila kaum intelek pada suatu zaman tidak berkembang sedemikian rupa, maka dapat dipastikan seluruh peradaban yang berkaitan juga akan mengalami jalan di tempat di tengah arus waktu yang tiada lelah mengalir deras. Mungkin itu yang membuat saya selalu skeptis apabila slogan-slogan yang beredar sekarang selalu menuntut seorang pemimpin, selalu mengagung-agungkan kata pemimpin, namun melupakan apa sesungguhnya yang menjadi dasar penggerak pemimpin itu sendiri, intelektualitas. Itulah sebabnya pada akhirnya berbagai permasalahan yang ada dapat dikaitkan bersama menuju satu benang merah dasar, yaitu suatu kondisi di abad 21 ini, di mana intelektualitas dikaburkan dan dilemahkan oleh saingan terbesar otak manusia, yaitu komputer, atau secara umum, teknologi itu sendiri. Intelektual dan perkembangan teknologi yang diikuti pembentukan suatu zaman yang disebut dengan era informasi ini mendapatkan tempat yang cukup menarik untuk diberikan bahan kontemplasi sebagai bentuk kesadaran kita terhadap dunia. Dulu, intelektual mendapat tempat yang istimewa karena memiliki pengetahuan yang lebih bukanlah suatu hal yang mudah dan membutuhkan upaya lebih untuk meraihnya. Pengetahuan bagaikan emas, ia merupakan bahan pokok perkembangan peradaban, namun cukup langka untuk mendapatkannya. Sekarang, ketika informasi bukanlah lagi suatu hal yang berharga dan berceceran di mana-mana, yang hanya membutuhkan modal setara beberapa buah gorengan untuk sekedar pergi ke warung intenet dan kita sudah mendapatkan segala yang kita inginkan, pengetahuan bukanlah lagi menjadi emas, ia menjadi sama berharganya dengan kopi susu di warung-warung ataupun ongkos angkutan umum dari kost ke kampus. Hal inilah yang pada akhirnya saya sebut  sebagai alienasi atau reduksi makna dari pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan menjadi kehilangan jati dirinya. Pereduksian makna dari informasi maupun pengetahuan sebagai implikasi dari perkembangan teknologi ini tentunya berakibat pada hilangnya keistimewaan dari kaum intelektual. Intelektualitas turut mengalami alienasi atau pengasingan terhadap pengetahuannya sendiri. Ini lebih mudah saya sebut sebagai liberalisasi informasi. Sebuah proses dimana informasi mendapat kebebasan seluas-luasnya untuk dipungut dan diambil oleh siapapun. Namun, bagaikan minyak yang ditumpahkan begitu saja di tengah kota, hal ini hanya akan menimbulkan chaos, kekacauan nyata yang menjadi sumber utama semua permasalahan yang ada. Harga mahal perguruan tinggi bukan lagi biaya yang untuk mendapatkan pengetahuan, tapi lebih pada biaya untuk mendapatkan status dan gelar. Kehormatan dan kebanggaan seorang intelektual di masa kini mulai mengalami penurunan drastis, dari yang dulu terhormat karena ilmu yang kita miliki, sekarang hanya terhormat dari gelar dan status yang didapatkan. Ketika memang apa yang kita butuhkan hanyalah menuntut ilmu dan belajar, untuk apa kita membayar mahal perguruan tinggi dan sekolah jika informasi sudah bukan lagi hal yang sukar untuk didapatkan.Bukan lagi hal yang mustahil untuk menjadi seorang Einstein ataupun Bill Gates di masa kemudahan informasi ini. Ketika pada akhirnya informasi bukanlah lagi hal yang spesial untuk dicari, semangat untuk belajar dan menuntut ilmu tergeser dalam sebuah kemalasan semu yang ditimbulkan dari kenikmatan dan kemudahan dari teknologi. Intelektual bukan lagi hal yang patut dibanggakan, walau masih saja mayoritas mahasiswa dengan arogan mengatakan mereka adalah penggerak bangsa dan berbagai hal retoris lainnya, tanpa menyadari bahwa mereka telah mengalami pengikisan jati diri. Informasi dengan emosi Beranjak lebih lanjut, informasi yang begitu banyak berserakan dimana-mana ini mengarah pada mengaburnya batas-batas makna yang menjadi inti dari informasi itu sendiri. Ini adalah suatu fenomena globalisasi dalam ranah makna yang berakibat pada meningkatnya ketidakpastian dari nilai kebenaran itu sendiri. Kebenaran semakin sulit dipastikan, ia bahkan menjadi suatu hal yang dipermainkan kesana kemari oleh arus informasi yang begitu deras tak terbendung. Pada akhirnya kebenaran diputuskan secara tidak langsung menjadi hal yang benar-benar relatif dan subjektif terhadap tiap individu. Informasi yang begitu banyak membuat kepastian kebenaran bukan lagi hal yang penting. Segala hal seperti hanya datang dan pergi begitu saja, bahkan sebelum sempat mendapatkan tempat khusus dalam pikiran untuk sekedar mendapat perenungan. Siklus informasi yang berputar tiada henti seakan mempercepat segalanya. Ketika tidak ada ruang dan waktu leluasa untuk berpikir, manusia akan semakin kehilangan kepercayaan dirinya dan begitu mudah terprovokasi oleh informasi itu sendiri. Ideologi-ideologi beredar tanpa terkendali di semua kalangan dalam gayanya masing-masing untuk terus membingungkan masyarakat akan mana yang dapat dijadikan sebuah keyakinan. Hal ini berujung pada ketidakstabilan diri dari tiap manusia dalam menanggapi begitu banyak serangan informasi yang bertubi-tubi datang tanpa memberi kesempatan untuk sekedar menarik nafas panjang dan merenungi semuanya dalam pikiran jernih. Media sosial adalah sumber utama ketidakstabilan ini, sekaligus menjadi tempat pelampiasan utamanya. Ketika inti dari komunikasi adalah makna yang tersampaikan melalui pengungkapan emosi yang tepat antar individu, teknologi informasi telah membuatnya menjadi sekedar pengungkapan emosi tanpa ada makna yang berarti. Sesuatu ketika dimuncul berulang-ulang secara terus menerus akan semakin kehilangan maknanya. Siklus informasi yang beredar begitu cepat di dunia maya, terutama media sosial, membuat segalanya semakin kehilangan makna dan meninggalkan residu berupa emosi tanpa ada arti sama sekali. Sehingga dari ribuan informasi yang muncul dari sosial media tiap detiknya, mungkin hanya kurang dari satu persen yang memiliki makna berarti. Teknologi informasi telah menciptakan suatu lautan emosi yang hangat dan bergejolak dalam suatu dunia virtual. Saya jadi ingat sebuah game Nitendo DS yang berjudul “Shin Megami Tensei Devil Survivor”. Dalam game tersebut, kita dapat memanggil setan dan iblis dari internet, yang dijelaskan merupakan surga bagi para iblis yang haus akan emosi manusia. Jika dibayangkan dalam bentuk nyata, mungkin dunia virtual internet bagaikan neraka kecil yang panas dan penuh teriakan emosi manusia dari berbagai sudut. Emosi yang terus bergejolak sebagai implikasi dari badai informasi tanpa kontrol ini juga disebabkan oleh hilangnya kepercayaan manusia pada pegangan apapun. Inilah suatu kondisi di mana manusia berada di antara sangat sulit percaya atau terlalu mudah percaya terhadap informasi apapun yang mereka terima. Tidak ada yang baik di antara kedua tipe manusia tersebut, karena memang jauh lebih terhormat manusia yang memiliki keyakinan kuat dan stabil serta mampu menyaring semua informasi dalam koridor yang sesuai tanpa ada skeptisisme yang berlebihan. Dari Revolusioner menuju Reaksioner Infomasi bukanlah hal yang spesifik. Ia adalah hal umum yang dapat berubah menjadi berbagai macam bentuk, pengetahuan, ideologi, keyakinan, pendapat, paradigma, dan lain sebagainya. Salah satu hal terpenting dari informasi adalah, ketika manusia mengetahui sesuatu, ia mengambil kesimpulan darinya dan menjadikannya sesuatu yang ia yakini. Di sinilah pentingnya suatu pembelajaran atau penerimaan informasi secara teratur dan bertahap untuk membentuk suatu keyakinan yang kuat yang akhirnya menjadi ideologi oang tersebut untuk menjalani kehidupan berikutnya. Penerimaan informasi yang teratur dan bertahap ini idealnya dilakukan secara telaten melaui institusi-institusi pendidikan atau oleh orang tuanya sendiri. Namun sayang sekali di era informasi ini, kontrol terhadap informasi yang masuk ke dalam akal pikiran semakin mengalami kesulitan, pada akhirnya masyarakat, terutama kaum muda, yang masih memiliki kepribadian yang tidak stabil, terlebih lagi kaum intelektual, yang merupakan garis terdepan perang ideologi, selalu mendapat serangan bertubi-tubi oleh berbagai bentuk pemikiran yang semakin sulit dibedakan satu sama lain. Seperti yang telah terjelaskan di atas, ketika batas-batas makna dari infomasi mulai mengabur, hampir sulit dibedakan antara kecenderungan informasi yang satu dengan yang lain. Ini berakibat pada munculnya ideologi-ideologi “banci” yang entah muncul dari mana tanpa jenis kelamin yang jelas yang siap membuat masyarakat terombang-ambing oleh kebingungan. Sekarang sudah tidak ada lagi yang secara tegas membuka ideologi yang ia miliki. Setabu apapun itu, orang yang berideologi kuat jauh lebih baik daripada orang yang tidak memiliki ideologi yang jelas, pindah ke sana kemari menyesuaikan keadaan. Ideologi yang jelas dan kuat menentukan bagaimana seseorang bertindak dalam suatu arah yang jelas dan stabil dengan sedikit menyesuaikan diri pada realita. Namun ketika tidak ada idelogi yang jelas yang mendasari, seseorang  hanya akan terombang-ambing dalam realita yang terus menerus berubah. Pada saat informasi mulai tidak terkendali, tidak hanya informasi yang kehilangan jati diri sebagai akibat liberalisasi yang berlebihan, para penuntut dan penggunanya pun turut mengalami pengasingan terhadap jati pribadi yang dimiliki. Pengasingan ini membuat masyarakat semakin bingung dalam menentukan keyakinan dan ideologi yang ia pegang. Hal ini sangat nyata terlihat di lingkungan perguruan tinggi, yang merupakan tempat utama pasar bebas pemikiran, yang membuat mahasiswa menjadi korban utama permainan ping-pong atau tenis meja ideologi tanpa ada kebebasan apapun. Salah satu bentuk perbudakan pos-modern yang secara tak kasat mata mengekang kebebasan namun dengan iming-iming kebebasan itu sendiri. Ini suatu penyakit yang sangat berbahaya yang dapat berujung pada nihilnya semangat bergerak dalam koridor ideologi yang jelas oleh mahasiswa, atau mungkin intelektual, yang katanya memimpin arah gerak bangsa. Ini menjadi suatu fenomena dimana segala tindakan yang seharusnya berdasar pada suatu landasan yang kuat menjadi sekedar tindakan yang menyesuaikan keadaan, dari revolusioner menjadi reaksioner. Memang intelektual adalah garis terdepan pergerakan bangsa, tapi ketika tidak ada lagi ideologi yang jelas untuk dibawa, gerakan-gerakan yang seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan konsisten serta bersifat revolusi berubah menjadi gerakan-gerakan reaktif yang hanya muncul bila ada yang memicu. Revolusioner dapat diartikan di KBBI sebagai a cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar, sedangkan reaksioner berarti a bersifat berlawanan dng tindakan revolusioner;. Mengambil kata dasarnya, revolusioner berasal dari kata revolusi yang berarti n 2 bersifat berlawanan dng tindakan revolusioner, sedangkan reaksioner berasal dari kata reaksi yang berarti n 2 kegiatan (aksi, protes) yg timbul akibat suatu gejala atau suatu peristiwa. Jelas bahwa memang yang terjadi sekarang menunjukkan hilangnya sifat revolusioner dari hati mayoritas dan digantikan oleh reaksi-reaksi emosional sebagai respon terhadap gejolak informasi yang tak menentu. Ketika kita bercermin dari sejarah, para pembawa gerakan yang menjadi tokoh utama siklus perkembangan manusia selalu membawa suatu pegangan atau ideologi yang kuat yang melandasi tiap pergerakannya, dari Alexander Agung, Muhammad SAW, Genghis Kahn, Adolf Hitler, hingga Soeharto. Seburuk apapun ideologi yang mereka pegang, selama ia memegang teguh pegangan tersebut untuk sebuah tindakan yang menyeluruh, akan terbentuk sebuah konsistensi dan integritas nyata dalam mencapai hasil yang ingin diraih, sebuah pergerakan yang revolusioner, tidak terpengaruh oleh distraksi-distraksi apapun yang ada di sepanjang perjalanannya. Pada akhirnya, dalam waktu yang sangat singkat, revolusi terakhir yang terjadi diambil alih oleh teknologi dan mengubah manusia menuju keadaan terpojokkan, yang secara ironis merupakan pencipta dari teknologi itu sendiri. Melihat keadaan saat ini, walau terlihat begitu banyak dan gencar gerakan-gerakan yang ada oleh berbagai kaum, tak ada warna sedikit pun yang terlihat menjadi ciri utama gerakan-gerakan tersebut. Walau tidak semua, mayoritas gerakan yang terjadi membawa makna kosong dan hanya terjadi secara fluktuatif bagaikan macan lapar yang dipermainkan di dalam kandang. Mungkin saya agak sempit melihat ini dalam perspektif Indonesia, karena sebenarnya revolusi-revolusi konsisten telah banyak terjadi di berbagi tempat di dunia selama dekade terakhir, seperti yang terjadi di timur tengah. Indonesia telah mengalami krisis dimana para intelektualnya terjebak dan menjadi korban dalam ilusi teknologi. Secara idealis mencoba mengembangkan teknologi untuk dimanfaatkan oleh hajat hidup orang banyak, namun dalam perjalanannya tereperangkap tanpa sadar dalam efek overflowing informasi yang terjadi. Kembali dalam perenungan Begitu banyak akibat langsung maupun tidak langsung dari perkembangan teknologi, dengan informasi sebagai maskot utamanya. Cukup dilematis memang, ketika teknologi yang dikembangkan dengan harapan membatu manusia pda akhirnya menyerang baik dalam suatu efek yang tak disadari. Mungkin tinggal menunggu waktu hingga efek ini menjadi benar-benar nyata dan semua yang diceritakan dalam film-film apokaliptik sepertiThe Matrix. Perenungan lebih lanjut mengenai teknologi membutuhkan banyak pertimbangan dan akan menjadi sebuah pembahasan yang tidak singkat. Ketika saya mencoba mengecilkan topiknya menjadi sebuah perenungan terhadap informasi sendiri pun akan menghasilkan pembahasan yang panjang. Apalagi ketika pada dasarnya informasi adalah satu dari tiga perspektif yang menyusun alam semesta, yaitu materi, energi, dan informasi (atau struktur, proses, dan pola), yang ketika digabungkan membentuk perspektif keempat yaitu makna dan membentuk sebuah piramida tetrahedral sebagai sebuah keutuhan semesta. Ketika informasi terancam mengalami reduksi makna sebagai akibat dari siklus yang terlalu cepat terjadi, struktur utuh dari semesta pun terganggu. Ini belum melibatkan perspektif materi dan energi yang juga sebenarnya sedang mengalami krisis nyata. Dari demoraliasi budaya hingga reaktifnya mahasiswa merupakan kesatuan utuh dari permasalahan yang jika ditarik mundur bercausa prima yang sama, yaitu perkembangan teknologi. Namun teknologi bagaikan rokok (walau saya sendiri gak pernah merasakannya), membuat orang candu tanpa sadar itu mengganggu, menjadi kegemaran walau tahu itu merugikan. Mungkin ini hanya pespektif sederhana dari pengamatan polos dan perenungan dalam terhadap semua fenomena yang terjadi yang akhirnya membangkitkan skeptisisme terhadap perkembangan teknologi. Institut Teknologi Bandung sebagai tempat saya menuntut ilmu saat ini yang pada akhirnya yang membangkitkan ribuan tanda tanya saya mengenai teknologi. Di tengah semua itu, saya berada dalam tekanan di antara ribuan mahasiswa dengan pikiran sama yang berada dalam hipnotis perkembangan teknologi yang begitu menjanjikan, yang secara naif menyangkal semua efek negatif dengan semua manfaat dan kenikmatan yang ditawarkan oleh teknologi. Seperti yang saya jelaskan di atas, kemudahan informasi telah membuat belajar bukan lagi hal yang spesial, perenungan bukan lagi hal yang menyenangkan. Pada akhirnya ketika kita hanya memelajari segala sesuatu tanpa ada pembangkitan kesadaran dalam kontemplasi-kontemplasi sejenak mengenai keseluruhan keadaan yang ada tanpa terpartisi sedikitpun, kita akan terjebak rasionalitas yang membutakan. Tanpa perlu penjelasan, sudah jelas, bahwa kenikmatan dan kemudahan melemahkan manusia. Seperti yang pernah disebutkan Michio Kaku dalam bukunya Physics of The Futuremengenai kunci untuk masa depan, ia menyebutkan “The key, therefore, is to find the wisdom necessary to wield this sword of science”. Informasi yang berserakan memang secara tidak langsung akan menjebak mereka yang tidak sadar. Namun ketika kesadaran itu telah muncul, marilah sama-sama mengembangkan kunci yang ada untuk membebaskan sebanyak mungkin manusia dari ilusi teknologi. Kebijaksanaan bukanlah sekadar mengerti dalam rasionalitas, ia adalah sebuah penjiwaan penuh dalam suatu kesadaran. Tak banyak yang dapat saya jelaskan mengenai kebijaksanaan ini, karena ia adalah hal yang muncul dari dalam. Seperti apa yang dikatakan oleh Michael de Montaigne, kita bisa berpengetahuan dengan pengetahuan orang lain, tapi kita tidak bisa menjadi bijaksana dengan kebijaksanaan orang lain. Informasi mungkin bagaikan sebuah kekuatan tiada tandingannya. Orang yang mengendalikan harta (materi) mengendalikan manusia, orang yang mengendalikan energi mengendalikan dunia, tapi orang yang mengendalikan informasi mengendalikan semuanya. Apalagi dengan adanya akal, informasi tersebut dapat berubah sedemikian rupa menjadi sangat bermanfaat atau sangat berbahaya. Masa depan alam semesta adalah milik kita bersama, oleh karena itu tak ada yang dapat saya lakukan selain berharap bahwa kesadaran itu dapat bangkit ke semakin banyak manusia, seperti yang ditulis Shakesphear dalam karyanya, Julius Caesar, "The fault, dear Brutus, is not inour stars, but in ourselves ….” Marilah bersama kita sempatkan waktu sejenak di tengah keributan, kesibukan, dan lalu lintas informasi dunia yang tiada henti, dalam sebuah perenungan penuh mendalam, tenang, dan jernih mengenai apa yang sebenarnya terjadi, dan apa yang seharusnya kita lakukan.

"Karena kebodohan kita membuat kesalahan, dan dari kesalahan kita belajar" - Anonim -

(PHX)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun