Bahwasanya dalam pergerakan pergantian pemimpin tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik yang selalu menyelimutinya. Entah dalam tahap pergantian secara demokratis maupun secara monarkis tetap saja pergantian pemimpin selalu diselimuti bumbu-bumbu politik yang tidak bisa terlepas darinya. Mungkin itu pula bahwa erat kaitannya untuk menjadi seorang pemimpin harus menguasai panggung politik yang sudah terbentuk untuk dapat masuk ke dalam dan memberikan pengaruh di dalamnya. Sebuah keniscayaan yang tidak bisa dielakkan lagi dalam kepemimpinan dimanapun level kekuasaannya.
Namun yang perlu kita pelajari disini bahwa meskipun kepemimpinan lahir dari sebuah proses politik yang menyokongnya, jangan sampai seorang pemimpin selalu terjebak dalam kondisi yang melulu politik. Sebuah stigma di masyarakat tentang politik di negeri ini bahwa ‘politik itu kotor’ memang sudah melembaga dan tidak perlu kita membantahnya. Sistem politik seperti money politics, lobbying, suap menyuap, dan praktek kolusi nepotisme marak terjadi di negeri ini. Tradisi politik seperti itulah yang seharusnya kita potong sedari generasi kita sekarang. Upaya membangun politik bersih ‘meskipun berat’ harus tetap diupayakan dalam rangka kemajuan dan perubahan yang lebih baik akhirnya generasi pemimpin bangsa yang bermutu dan memiliki akhlaqul karimah.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa seorang pemimpin yang lahir dari proses politik jangan sampai terjebak pada keadaan bahwa dia harus mengikuti alur politik dan bentuk politik itu sendiri. Pemimpin yang lahir baik secara demokratis maupun monarkis harus mengubah haluan gerakannya bahwa sekarang bukan lagi saatnya memimpin menggunakan pendekatan ‘politik’. Pemimpin yang lahir tersebut mempunyai kewajiban dan amanah untuk melayani dan mengabdi kepada masyarakat dan lingkungannya. Bukan lagi menggunakan pendekatan politik yang selalu bergerak pada lingkungan ‘atas’. namun harus mengubah orientasi pada pendekatan sosial yang bergerak dari lingkungan ‘bawah’ ke lingkungan ‘atas’. Pemimpin harus memiliki kesadaran penuh dan komitmen bahwa dia dipilih atau ‘dipilihkan’ tidak lagi untuk mengabdi pada kepentingan politik namun mempunyai tanggung jawab pada kepentingan sosial.
Upaya pergerakan keberhasilan seorang pemimpin dapat dilihat dari kontribusi dalam membangun masyarakat, meningkatkan kapasitas masyarakat, melahirkan kebermanfaatan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Pemimpin yang benar-benar mengerahkan seratus persen kemampuan dan kapasitasnya dalam bidang sosial. Bukan lagi pemimpin yang memikirkan kekuasaan yang lebih tinggi atau hanya sekedar memuaskan keinginan dan ambisi namun sosok pemimpin yang mampu memberikan kepastian, perlindungan, kontribusi dan perubahan bagi lingkungan. Serta pemimpin yang mampu memahami dan mengenali potensi di dalam lingkungannya untuk dijadikan sumber energi dalam meningkatkan kesejahteraan.
Urgensi transformasi seorang pemimpin dari ‘politik’ menjadi ‘sosial’ diperlukan untuk menjaga tujuan utama dibutuhkannya pemimpin adalah untuk melayani dan mengabdi bukan untuk kekuasaan dan ambisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H