Mohon tunggu...
Aditya Taufiq
Aditya Taufiq Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya suka travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perilaku Body Shaming terhadap Warna Kulit dan Dampak Kesehatan Mental

4 Januari 2023   09:53 Diperbarui: 4 Januari 2023   10:02 1942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bullying terhadap kulit gelap. Sumber ilustrasi : istockphoto.com

Body shaming adalah tindakan mengejek atau menghina seseorang karena penampilan fisiknya. Ini bisa terjadi di berbagai tempat, termasuk di internet, tempat kerja, sekolah, dan keluarga. Body shaming yang dilakukan oleh orang-orang banyak dianggap sebagai kepedulian agar korban body shaming termotivasi untuk memiliki fisik yang jauh lebih baik. Tetapi disisi lain, itu memberikan dampak buruk karena tidak semua orang bisa menerima komentar tentang fisiknya dan tidak semua orang bisa menganggap body shaming adalah hal yang wajar.

Sementara itu, manusia merupakan makhluk sosial yang akan selalu hidup berdampingan dengan kehidupan sesama manusia lain oleh karena itu manusia kerap kali mendapat kritikan bahkan hinaan secara fisik oleh sesama individu lainnya, hal ini akan menjadi masalah bagi seseorang yang menerima kritikan atau hinaan tersebut jika seseorang tidak memiliki mental yang kuat dan kepercayan diri maka seseorang tersebut akan merasa dirinya sangat kurang dan akan menutup dirinya dari orang lain ataupun lingkunganya (Nurul, 2022).

Saat memasuki usia remaja individu akan mengalami proses perubahan bentuk fisik. Dalam hal ini penampilan fisik telah menjadi nilai utama bagi setiap individu, terutama bagi kaum remaja. Bentuk fisik yang tidak ideal seringkali membuat seseorang mendapatkan perlakuan body shaming baik dari teman maupun masyarakat sekitar. Perlakuan body shaming termasuk bullying secara verbal dengan membully bentuk tubuh seseorang (Dolezal, 2015). Body shaming merupakan konsep yang menunjukkan kesadaran diri dan respon negatif terhadap diri seseorang (Chairani, 2018).

Perundungan secara verbal ini sudah banyak ditemui dimana-mana, seperti tindakan mengejek, memaki, menggosip, dan membodohkan. Baik itu dilakukan dalam kontes bercanda maupun serius. Verbal abuse terjadi ketika orang tua, teman, ataupun orang- orang dilingkungan sekitar melontarkan kata-kata yang meremehkan, memojokkan, merendahkan, atau mencap dengan label negatif hingga membuat semua hinaan tersebut membekas didalam diri seseorang. Maka dampak yang dialami ialah rasa percaya diri yang dimiliki akan relatif rendah dan juga akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan pribadi maupun sosialnya.

Mengomentari bentuk fisik orang lain tanpa disadari sering dilakukan orang-orang, meskipun bukan kontak fisik yang merugikan tetapi body shaming termasuk jenis perundungan secara verbal. Terkadang tanpa disadari seseorang telah melakukan perundungan secara verbal lewat bercandaan teman sebaya. Banyak orang menganggap bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang salah. Namun bagi korban hal tersebut tentunya membawa dampak yang tidak biasa, hingga berakibat bagi perkembangan dirinya. Individu yang menjadi korban body shaming seringkali menyendiri, pendiam, serta merasa tidak percaya diri.

Bentuk body shaming ada bermacam-macam, ada yang mengkritik dan mengomentari bentuk tubuh seseorang secara terbuka, ada juga yang membandingkan bentuk dan ukuran tubuh orang lain. Standar kecantikan di Indonesia atau negara lain memaksa banyak wanita dan pria untuk mengubah warna kulit aslinya. Hal ini disebabkan, seseorang yang warna kulitnya dianggap tidak sesuai dengan standar kecantikan dianggap tidak cantik.

Tanpa dipungkiri, standar kecantikan selalu menjadi momok yang mendegradasi jati diri dan menggerus rasa percaya diri perempuan. Tidak sedikit perempuan menilai dirinya tidak cantik karena berkulit gelap atau coklat, perempuan menilai dirinya jelek karena memiliki rambut ikal dan keriting, perempuan merendahkan diri karena memiliki tubuh yang gemuk dan tidak langsing.

Pemujaan akan kulit putih biasanya dihubungkan dengan konten rasisme yang berasal dari zaman penjajahan oleh Belanda atau Jepang. Warna kulit terang berasal dari pemahaman mengenai ras yang dianggap lebih unggul. Fisik atau kultural yang menyerupai bangsa dari Eropa kolonial dianggap lebih "beradab" dan lebih "disukai". Sebaliknya, kulit berwarna gelap diasosiasikan sebagai primitif, bodoh, dan tidak beradab. Pandangan ini menunjukkan bahwa warna kulit putih jauh lebih baik dari warna kulit yang gelap.

Orang yang berkulit cerah dianggap sebagai standar yang ideal. Sedangkan mereka yang berkulit gelap sering mengalami body shaming dengan komentar seperti "Dekil banget sih coba perawatan deh biar lebih kinclong." atau "Gosong banget itu kulit, kebanyakan main di luar ya?" dan sebagainya.

Contoh saja sekitar kita, remaja di Indonesia banyak terpapar oleh media yang dengan kaku menggambarkan kulit putih sebagai salah satu karakateristik yang menunjukkan standar kecantikan. Paparan terhadap standar kecantikan tersebut dapat berpengaruh pada internalisasi standar kecantikan bahwa kulit putih dianggap lebih menarik dan memberikan pengaruh pada bagaimana perempuan di Indonesia menilai warna kulit dan penampilan tubuhnya secara keseluruhan. Internalisasi standar kecantikan adalah salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan warna kulit dan kepuasan tubuh seseorang.

Semakin tinggi internalisasi remaja, semakin rendah kepuasannya terhadap warna kulitnya. Walaupun kepuasan warna kulit memiliki hubungan positif dengan kepuasan tubuh, internalisasi standar kecantikan kulit putih tidak memiliki hubungan langsung dengan kepuasan tubuh secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun