Mohon tunggu...
Adi Triyanto
Adi Triyanto Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sebuah Perusahaan swasta Di Tambun- Bekasi-Jawa Barat

Lahir Di Sleman Yogyakarta Bekerja dan tinggal Di Bekasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Memasak Dengan Membakar

11 Juni 2024   07:49 Diperbarui: 11 Juni 2024   11:06 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membakar. Istilah ini menjadi banyak perbincangan akhir akhir ini. Membakar sampah. Membakar daging. Rumah kebakaran. Kebakaran hutan. Ada yang kebakaran jenggot. Bahkan  istripun sampai sampai harus  membakar suami.

Membakar solah menjadi solusi. Menjadi pemecah masalah. Dengan membakar masalah seperti sudah selesai. Tidak ada lagi yang mengganggu hati dan pikiran. Ternyata , membakar justru memunculkan masalah baru. Masalah yang bahkan tak pernah diduga dan disangka sangka sebelumnya.

Sejarah ilmu membakar, atau lebih tepatnya teknik memasak dengan api, adalah kisah yang berawal dari zaman batu, ketika manusia pertama kali menemukan api dan memutuskan bahwa steak tartare setiap hari bukanlah pilihan menu yang menarik. Mereka mungkin tidak memiliki bumbu atau resep, tetapi mereka memiliki api dan keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru. Bayangkan saja, sekelompok manusia purba berkumpul di sekitar api, sambil mengunyah daging yang baru saja mereka temukan lebih enak setelah terpanggang---mungkin itu adalah momen 'aha' pertama dalam sejarah kuliner.

Dari sana, teknik memasak dengan api berkembang menjadi seni yang halus. Di Indonesia, teknik ini telah menghasilkan berbagai hidangan yang kini menjadi ikon kuliner, seperti sate yang merakyat dengan berbagai varian dari Sabang sampai Merauke. Tidak hanya itu, teknik membakar juga melahirkan babi guling yang gurih dari Bali, sei asap yang wangi dari Nusa Tenggara Timur, dan tentu saja, pepes yang aromatik dari Jawa Barat.

Namun, sejarah ilmu membakar tidak hanya tentang menciptakan hidangan yang lezat. Ada juga sisi gelapnya, seperti pembakaran buku yang merupakan simbol dari penindasan kebebasan berpikir dan ekspresi. Ini adalah pengingat bahwa api, dalam semua kehangatannya, juga bisa menjadi alat untuk menghancurkan pengetahuan dan budaya.

Tetapi kembali ke sisi yang lebih cerah, teknik membakar dan mengasap telah menjadi bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Ini adalah cara untuk mengawetkan makanan, sebuah praktik yang sangat penting di zaman sebelum kulkas menjadi barang rumah tangga. Dan mari kita hadapi itu, apa yang bisa lebih menggugah selera daripada aroma ikan asap atau daging bakar yang baru saja selesai dimasak?

Teknik membakar juga telah menginspirasi berbagai festival dan kompetisi memasak, di mana para chef berlomba-lomba untuk menciptakan hidangan bakar terlezat. Ini bukan hanya tentang siapa yang bisa membuat api terbesar atau siapa yang memiliki tongkat sate terpanjang, tetapi tentang nuansa rasa dan kreativitas dalam memadukan bumbu.

Di era modern, ilmu membakar telah diadaptasi ke dalam dapur rumah tangga, dengan grill dan smoker yang canggih. Sekarang, setiap orang bisa menjadi maestro BBQ di halaman belakang mereka sendiri, mengundang tetangga untuk pesta kecil atau sekadar menikmati kepuasan memasak di luar ruangan.

Jadi, dari api unggun purba hingga grill gas kontemporer, sejarah ilmu membakar adalah cerita tentang inovasi, eksplorasi, dan tentu saja, mencari cara terbaik untuk menikmati makanan. Ini adalah perjalanan yang telah membawa kita dari memanggang daging di atas batu panas hingga menikmati kelezatan sate lilit di tepi pantai Bali. Dan siapa tahu apa inovasi selanjutnya? Mungkin grill yang bisa dioperasikan dengan aplikasi smartphone atau oven asap yang bisa memberi tahu Anda kapan daging sudah matang sempurna. Satu hal yang pasti, selama ada api dan selera untuk makanan yang enak, ilmu membakar akan terus berkembang.

Membakar memang menghasilkan dari sesuatu yang belum enak menjadi lebih enak untuk dinikmati. Menjadi lebih mudah untuk dicerna bagi saluran  pencernaan. Namun jangan sampai membakar justru menjadi alat untuk menghilang yang sudah ada menjadi debu. Apa yang sudah baik menjadi hancur.

Itulah yang harus dipahami dari filsafat membakar yaitu agar menghasilkan sesuatu yang lebih bernilai dan lebih bermanfaat. Bukan sebgai jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Yang pada akhirnay justru menjadi masalah baru yang lebi besar. Menjadi berita besar yang menghebohkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun