Andai Stephen Hawking, mau menengok ke kebenaran ajaran agama, maka sebelum meninggal dia sudah bisa mendengar bahwa mimpinya menjadi kenyataan. Dan dia akan menjadi orang paling berbahagia, Mimpinya menjadi nyata.
Ada seorang manusia yang sudah bisa mewujudkan mimpinya. Melakukan perjalanan seorang diri tanpa alat khusus yang serba canggih. Cukup dengan kebaikan universalnya. Berupa kesalehan dan kejujuran kepada sesama.
Kesalehan tersebut sudah mampu melakukan perjalanan yang hanya bisa ditempuh oleh pesawat dengan kecepatan cahaya, yang tidak tahu apakah pesawat dengan kecepatan seperti ini akan tercipta atau hanya jadi mimpi manusia.
Dan untuk bisa mencapai kecepatan cahaya manusia memang harus memiliki kedekatan dengan nabi dan Tuhan. Karena yang bisa naik kendaraan Tuhan adalah jiwanya. Jiwa yang bersih. Manusia sempurna akan memiliki kemampuan khusus untuk menembus angkasa. Di langit tertingggi, di mana alat secanggih apapun tidak akan bisa melakukan.Â
Inilah wilayah khusus yang membedakan antara science dan agama. Dalam science semuanya harus empirik dan serba terukur.
Sementara agama juga empirik dan terukur juga, tapi ada tambahan yaitu keyakinan atau keimanan sebagai pembungkusnya. Dan d isitulah Tuhan memainkan peranan-Nya. Dan masalahnya adalah, Stephen Hawking tidak mempercayai adanya Tuhan.Â
Tuhan tidak mempunyai peran dalam keteraturan alam ini. Itu pernyantaan Stephen Hawking yang terkenal. Apakah mimpi Stephen Hawking akan terwujud di generasi manusia yang akan datang? Secara science memungkinkan.
Dan para penganut agama, tidak perlu risau wilayah kebesaran Tuhan makin mengecil. Karena bila mimpi Stephen Hawking terwujud secara science maka justru makin menunjukan, kebesaran Tuhan, pencipta alam semesta. Dan peristiwa iman, perjalanan miraj Nabi Muhammad, penutup para Nabi itu, makin mudah diterima logika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H