Permasalahan kenaikan harga BBM bukanlah topik baru, namun sudah lama dan sudah beberapa kali dipermasalahkan sebelumnya. Sayangnya hingga saat ini masih saja diributkan masalah naik atau tidaknya harga? Padahal segelintir masyarakat Indonesia sudah ada yang mampu menciptakan bahan bakar jenis baru yang berasal dari bahan non-minyak, seperti kotoran sapi, singkong, dan lainnya. Pemerintah (terutama Menristek dan Menteri ESDM) tinggal mengembangkan temuan-temuan baru tersebut.
Lebih miris lagi saat melihat geliat DPR yang ribut membahas voting mengenai setuju atau tidaknya kenaikan harga BBM. Sebagian anggota DPR setuju dengan keputusan presiden agar menaikkan harga BBM, sementara sebagian lagi bersikeras tidak setuju dengan kenaikan harga BBM. Sebagian anggota menganggap bahwa keputusan tersebut dianggap terbaik karena selama ini BBM lebih dinikmati oleh kalangan kelas menengah ke atas. Sementara sebagian lain yang tidak setuju menganggap bahwa kenaikan harga BBM akan membuat kalangan menangah ke bawah semakin sulit. Pendek kalimat, kalangan menengah ke bawah ini akan semakin jauh dari taraf hidup sejahtera andai harga BBM dinaikkan.
Setiap rakyat menghendaki hidup sejahtera, segala kebutuhan hidupnya terpenuhi. Dan di daerah manapun, pemimpin bertanggung jawab untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Sedangkan wakil rakyat bertugas untuk menyampaikan harapan dan kehendak rakyat.
Sungguh aneh, bila yang dilakukan oleh DPR adalah mendukung keputusan yang dapat membuat rakyat menjadi semakin jauh dari sejahtera. Bukannya menyarankan solusi dalam rangka pemenuhan kebutuhan rakyat, yang ada malah meributkan masalah koalisi. Permasalahan (BBM) yang tengah dihadapi adalah masalahnya Kementrian ESDM. DPR bukannya ribut memberikan peneguran dan menyuarakan keluhan rakyat terhadap Kementrian ESDM, namun malah ada anggota yang mempermasalahkan partai tertentu untuk keluar saja dari koalisi.
Pekerjaan DPR jadi lebih terlihat sebatas menjadi pihak yang pro ataupun kontra akan pihak pemerintah. Lebih terlihat “Setuju atau tidak setuju!”, bukannya lantang mengatakan “Rakyat Indonesia ingin begini... begini... begini...” Tak menjadi masalah apabila keputusan yang diajukan oleh pemerintah pada akhirnya bisa membuat rakyat makmur. Namun apabila keputusan yang diajukan pemerintah sangat potensial membuat rakyat jadi lebih susah, haruskah DPR melupakan tanggung jawab utama menyuarakan kehendak rakyat dengan mengataskamakan koalisi?
Bila pekerjaan DPR adalah mengiyakan keputusan yang diajukan presiden, bukan lagi menjadi wakil untuk menyuarakan kehendak rakyat, tinggalkan saja dan jangan gunakan lagi nama ‘DPR’. Ganti saja dengan nama ‘Dewan Pengiyaan Keputusan Presiden’.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H