Suatu malam, seorang bapak menyuruh anaknya untuk mengerjakan PR berupa beberapa lembar soal dalam LKS (Lembar Kerja Siswa). Setengah jam kemudian, sang bapak melihat hasil kerja anaknya. Diperhatikannya satu per satu sub bab dalam LKS tersebut. Terheran dengan hasil kerja anaknya, bapak pun bertanya.
"PR-nya yang bagian ini kan?" Sang bapak sambil menunjuk sebuah bagian dalam LKS.
"Iya, Pak."
"Ini kenapa yang bagian ini nggak diisi?"
"Nggak tahu cara ngerjainnya, Pak."
"Emangnya nggak diajarin oleh gurunya?"
"Nggak, Pak."
Bapak dari anak itu pun heran atas pengakuan anaknya. "Lantas, apa saja yang selama ini dilakukan oleh guru di sekolahnya?" Akhirnya sang bapak memutuskan untuk meninjau langsung ke sekolah, dan melihat bagaimana kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Tidak lama setelah melihatnya, lelaki paruh baya yang satu itu pun ketus: "Pantes aja, pas jam belajarnya aja kayak begitu."
Kejadian ini terjadi di sebuah SD negeri, di suatu daerah pinggir kota Bandung. Dalam beberapa tahun terakhir, ada hal-hal yang dikeluhkan oleh masyarakat yang menyekolahkan anaknya ke SD tersebut. Diantaranya:
1. Pada jam pelajaran, guru sering terlihat menelantarkan siswa.
2. Program pendidikan. Kelas 5 masih ada yang belum bisa membaca.
3. Siswa diharuskan membeli LKS.
4. Siswa disuruh mengisi LKS, tanpa diajarkan oleh guru.
5. Korupsi. Merenovasi gedung sekolah, tetapi dengan kualitas yang lebih rendah dari nilai kucuran dana.
Kelima hal tadi menjadi sorotan para orang tua siswa, tetapi mereka pun merasa tidak bisa protes karena sekolah tidak dipungut biaya. Hal semacam ini cukup miris, karena sekolah sudah menjadi semacam tempat mencari uang, bukan lebih sebagai tempat belajar-mengajar. Juga cukup membingungkan, karena orang-orang yang sadar akan keburukan ini pun tidak tahu harus melapor ke mana, dan tidak tahu lagi apa yang bisa diperbuat untuk memperbaiki keadaan.
Saat kerusakan sifatnya sudah sistemik, akan sulit untuk diubah. Lain halnya apabila hanya kepsek yang "melipat" anggaran, atau hanya beberapa guru menelantarkan siswa, Perbaikannya tidak akan begitu sulit.
Sekolah tersebut adalah SD, yang kelak siswa-siswanya akan masuk SMP, kemudian SMA atau SMK. Bila lulusan SD kualitasnya rendah, maka SMP pun akan mendapatkan siswa-siswa yang kualitasnya rendah. Ini akan berdampak pada jenjang-jenjang berikutnya.
Masing-masing kita punya pemikiran sendiri tentang masalah ini. Apapun itu, penyelesaiannya mesti segera dicari. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H