Apa tujuan dari pendidikan? Praktisnya kita bisa bilang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (sebagaimana yang tertera dalam pembukaan UUD), atau membentuk manusia yang beradab. Ini artinya pendidikan diselenggarakan mengacu pada tujuan-tujuan yang dicanangkan. Bila sebuah program pendidikan ditujukan untuk menciptakan SDM yang terampil, tentunya (ideal) kurikulum pun akan dititik beratkan pada sisi latihan. Contoh, bila seorang anak diarahkan untuk menjadi seorang tenaga medis (dokter, perawat, fisioterapi, dsb.), maka program pendidikan pun dibuat sedemikian rupa supaya anak terfasilitasi untuk merintis masa depan menjadi tenaga medis. Dengan kata lain, apa yang dipelajari di sekolah benar-benar bermanfaat untuk pencapaian cita-cita si anak.
Belajar di sekolah, apa manfaatnya?
Kita orang Indonesia mungkin tertawa karena di Jepang ada pelajaran “Kerumah-Tanggaan” yang berisikan tata cara upacara minum teh, etika menjamu tamu, merangkai hiasan bunga, dsb. Atau bila “Pembiasaan Hidup Bersih dan Sehat” diadopsi oleh sekolah-sekolah di Indonesia, malah diprotes oleh orang tua siswa. Mereka protes: “Anak saya kan disekolahin bukan untuk jadi babu!”
Akhirnya pelajaran-pelajaran di sekolah-sekolah Indonesia pun (kebanyakan) sekedar bersifat simbolis, alias miskin manfaat. Belajar Matematika tetapi tidak aplikatif untuk keseharian, padahal bisa digunakan untuk kalkulasi jajan. Belajar Fisika tetapi kebanyakan sekedar konsep dan hitungan, padahal setidaknya anak bisa belajar mengganti lampu yang mati.
Intinya, melalui perbandingan tadi cukup jelas terlihat bagaimana orientasi dari sebuah mata pelajaran. Siswa belajar Kerumah-Tanggaan karena suatu saat mereka akan berumah tangga. Pola hidup bersih dan sehat dibiasakan sejak SD karena diharapkan saat sudah besar mereka akan menjalani pola hidup sehat dan bersih.
Bagaimana dengan di Indonesia? Kebanyakan orang berpikir supaya pinter, lalu dapat nilai yang tinggi, dan menjadi kebanggaan. Prestasi menjadi modal untuk prestise.
Lantas, bagaimana solusinya?
Akan ada banyak gagasan untuk hal ini, dan yang jelas, tidak dapat ditempuh secara instant. Contoh kasus, negara kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Itu artinya negeri ini sedang membutuhkan figur-figur pemimpin kelas wahid. Bila benar demikian adanya, kita akan membutuhkan program pendidikan yang mencetak pemmimpin-pemimpin handal, yang mengajarkan putra-putri Indonesia untuk menjadi figur pemimpin negeri.
Yang jelas, bagaimanapun keadaan saat ini, sekarang bukan saatnya menghujat dan antipati terhadap pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Baiknya kita memperbaiki sedikit demi sedikit walau hanya mampu untuk tataran teknis. Contoh: bila kita guru Kimia, ajarkan siswa tentang zat-zat Kimia dalam jajanan, bagaimana manfaat dan dampak buruknya. Syukur-syukur bila posisi kita strategis untuk merevolusi kurikulum menjadi berbasis manfaat praktis.
Semoga kita dilindungi dari ilmu yang tidak bermanfaat. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H