KETIKA ditanya kepada orang awam, atau orang yang bertempat tinggal bukan di daerah tambang, “Apa yang Kamu ketahui tentang tambang?” jujur, sebagai seorang yang kurang mengerti dunia pertambangan saya akan menjawab hampir sama dengan jawaban ketika saya ujian SD kelas IV atau V. Pertama, tambang itu tidak dapat diperbaharui. Kedua, jenis-jenis tambang itu seperti emas, timah, batubara dan minyak. Ketiga, lokasi tambang itu selalu menimbulkan kerusakan dan pemulihannya butuh waktu lama atau bahkan tidak bisa dipulihkan. Keempat, apabila tambang telah habis masyarakat di sekitar akan jatuh miskin karena penopang hidupnya cuma tambang. Kelima, bekerja di dunia tambang itu digaji besar, itu kalo masuk dalam jajaran staf perusahaannya. Sedangkan bagi buruh atau pekerja level bawah digaji pas-pasan dan berisiko terserang penyakit atau kecelakaan kerja.
Setahun belakangan poin-poin pemikiran saya tentang tambang mungkin sedikit berubah khususnya tentang apabila tambang telah habis masyarakat sekitar akan jatuh miskin dan bekerja didunia tambang bagi level bawah berisiko tinggi akan kecelakaan. Hal ini didasari latar belakang pekerjaan saya di Jamsostek (yang per 1 januari 2014 nanti berganti nama jadi BPJS Ketenagakerjaan). Bekerja di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), saya memiliki kesempatan untuk melihat kondisi tenaga kerja dan mengunjungi wilayah kerja kantor cabang yakni beberapa kota/kabupaten di Sumatera Barat. Saya berkesempatan mengunjungi Kota Sawahlunto. Saat itu dalam pengecekan kasus kecelakaan kerja tambang meninggal dunia. Itu merupakan pengalaman pertama saya mengunjungi Sawahlunto. Dari kunjungan inilah pemikiran saya tentang "lokasi tambang selalu menimbulkan kerusakan dan apabila tambang telah habis masyarakat disekitaran akan jatuh miskin,” mulai berubah. Mungkin dari pemikiran orang awam seperti inilah pemerintah setempat mulai menemukan cara-cara kreatif. Yaitu, bagaimana ketika tambang diprediksi akan habis namun kesejahteraan masyarakat tetap meningkat, sama halnya ketika tambang masih beroperasi. Maka dijadikanlah tambang tersebut sebagai objek wisata. Contohnya di Sawahlunto dengan objek wisata tambangnya, Lubang Tambang Mbah Soero. Disini kita bisa napak tilas lubang tambang dalam batubara pertama di daerah itu, Gudang Ransum yaitu dapur umum para pekerja tambang zaman Belanda. Lalu ada museum kereta api lengkap dengan lokomotif yang disebut Mak Itam. Kereta api ini di zaman Belanda digunakan sebagai alat transportasi. Untuk menunjang wisata tambang ini pemerintah setempat juga membangun objek wisata seperti waterboom yang kabarnya pertama di Sumatera Barat, kebun binatang dan sekarang akan dibangun Dreamland. Jadi dari pemikiran tersebut sepertinya Sawahlunto sudah jauh-jauh hari siap ketika suatu saat nanti hasil tambangnya habis, sekarang saja mereka sudah mencatat prestasi sebagai kota nomor dua di Indonesia dengan tingkat kemiskinan terendah setelah Denpasar, Bali. Kembali ke tujuan saya ke Sawahlunto, yakni melakukan pegecekan kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan meninggalnya seorang tenaga kerja karena ledakan di lokasi tambang dalam batubara, maka poin pemikiran saya tentang pekerja tambang yang di level bawah lebih berisiko mengalami kecelakaan kerja benar halnya. Pekerja tambang yang tugasnya menggali atau mengeruk bahan tambang lebih rentan mengalami kecelakaan seperti terkena ledakan, tertimpa longsor ataupun paparan bahan kimia. Mengenai paparan bahan kimia mungkin banyak yang mengabaikannya, padahal bisa tergolong penyakit akibat kerja.
Di BPJS/Jamsostek penyakit akibat kerja (occupational desease) sering disebut dengan penyakit yang timbul karena hubungan kerja, tergolong dalam kecelakaan kerja dan mendapatkan pertanggungan. Penyakit akibat kerja menurut saya adalah termasuk salah satu yang harus menjadi perhatian utama perusahaan tambang, diharapkan program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang dijalankan suatu perusahaan haruslah seimbang. Tidak hanya kecelakaan mengenai unsur ruda paksa dalam artian persinggungan dengan benda yang terjatuh, terpukul, tertabrak dan lainnya, namun lebih memerhatikan keberlangsungan kesehatan tenaga kerja. Terkadang tanpa disadari tenaga kerja sendiri, paparan dengan zat-zat kimia dalam jangka lama dapat memengaruhi kesehatan mereka kedepannya. Untuk meminimalisir risiko yang cukup tinggi maka terbitlah Keputusan Menteri (Kepmen) Pertambangan dan Energi Nomor 555.K/26/M.PE/1995tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum. Hal ini bukti bahwa pemerintah benar-benar memerhatikan risiko dari pekerja tambang. Pihak perusahaan, rata-rata juga telah memiliki standar K3. Namun ketika akhirnya kecelakaan terjadi juga, perusahaan diharapkan tidak hanya menyalahkan faktor human error namun lebih kepada meninjau lagi standar K3 yang mereka terapkan. Guna menghindari atau meminimalisir risiko kecelakaan kerja, beberapa perusahaan multinasional di Indonesia bahkan menerapkan standar K3 berkelas internasional. Satu di antara perusahaan tersebut adalah PT NNT (Newmont Nusa Tenggara). Hal ini seperti yang saya baca pada blog Eko Budi Wibowo, blogger yang terpilih dalam Sustainable Mining Bootcamp PT NNT (Newmont Nusa Tenggara) 2012, mengenai penerapan K3. Tulisan tersebut dituangkan setelah mengikuti acara Sustainable Mining Bootcamp PT NNT tersebut. Dijelaskannya secara ringkas sejak turun dari pelabuhan saja sudah adanya pemeriksaan id card yang telah menggunakan sistem komputerisasi. Setelah itu pengunjung akan ditraining dan digambarkan mengenai keselamatan dan keamanan di areal pertambangan bahkan sanksi ketika melanggar peraturan pun disebutkan. Ketika memasuki lebih dalam ke areal pertambangan, kita akan semakin tahu tentang peraturan keselamatan kerja yang begitu ketat. Dalam areal produksi begitu juga halnya, terdapat berbagai macam plang dan tulisan yang selalu mengingatkan pekerja untuk memakai perlengkapan keamanan. Dari hasil membaca tulisan Eko saya tertarik membaca lebih jauh sebenarnya bagaimana penerapan K3 itu sendiri. Arti pentingnya bagi sebuah perusahaan, maka PT NNT menjadi bahan acuan baca saya. Newmont berkeyakinan bahwa manajemen kesehatan dan keselamatan kerja yang bertanggung jawab dan kinerja kesehatan dan keselamatan kerja terdepan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perusahaan yang efisien dan sukses. Faktor keselamatan kerja sangat penting karena sangat terkait dengan kinerja karyawan dan mempengaruhi kinerja perusahaan nantinya. Keselamatan dan kesehatan kerja masuk kedalam nilai-nilai perusahaan yakni mewujudkan kepemimpinan di bidang keselamatan kerja, perlindungan lingkungan dan tanggung jawab sosial. Sehingga dari nilai ini PT Newmont telah menyusun berbagai komitmen dan program K3. Ada 13 butir komitmen yang diterapkan Newmont Asia Pasific (APAC) dan 8 program K3. Satu di antara delapan program tersebut adalah kesehatan kerja dan higine (Occupational Health and Hygiene). Dari kesungguhan penerapan K3 ini PT Newmont pada tahun 2009 menerima penghargaan ISO14001 & OHSAS18001, penghargaan utama di bidang Pengelolaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Keamanan bagi pekerja tambang sangat penting artinya. Sebab dengan penerapan yang sesuai standar operasional, keselamatan pekerja jadi lebih terjamin. Hal ini juga akan berpengaruh pada kelangsungan operasi pertambangan itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H