2 mei 1889, di Yogyakarta lahirlah seorang anak yang dimasa depannya tampil sebagai salah satu pejuang garda depan dalam perjuangan kemerdekaan bangsanya. Dia adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Seorang tokoh yang berusaha membangun peradaban bangsa melalui pendidikan dengan Tamansiswa-nya. Berkat jasa-jasanya memajukan pendidikan bangsa, oleh pemerintah orde lama, ia diangkat sebagai bapak pendidikan nasional dan tanggal lahirnya diperingati sebagai hari pendidikan nasional.
Kini, 2 mei 2011, seratus dua puluh dua tahun setelah kelahiraannya, bangsa ini telah mencapai kemerdekaan. pendidikan pun berkembang seiring dengan perkembangan iptek. Internet, buku-buku, perpustakaan, juga sekolah bertebaran dimana-mana. Akses terhadap pendidikan pun semakin mudah didapatkan. Mungkin itulah memang yang diharapkan olehnya.
Namun akses yang mudah itu hanya mampu didapatkan oleh orang berpunya. Sekolah yang berkualitas hanyalah sekolah-sekolah swasta yang bertarif luar biasa mahalnya. Sedang sekolah-sekolah milik pemerintah hanya mampu terengah-engah ketika harus mengejar ketertinggalannya. Hal tersebut dirasa tragis dimana, justru anak bangsa kitalah yang tertinggal di rumah kita sendiri.
Jangankan fasilitas, bobot kurikulum sekolah pemerintah hanya mampu mengandalkan “Ujian Nasilonal” sebagai patokan standar bobot kurikulum Indonesia. Sekali lagi, tragis, karena patokan standar pendidikan kita hanyalah sebuah borok yang ditutupi jas-jas luar negeri agar terlihat indah. Bagaimana tidak, standar pendidikan kita yang terlalu dibangga-banggakan karena selalu naiknya angka kelulusan tidak lain hanyalah sebuah kepalsuan. UN yang digembar-gemborkan itu telah kehilangan tajinya dengan selalu terjadinya kebocoran soal dari tahun ke tahun. Sungguh ironi dibalik ironi.
Jika kita menelisik dalam-dalam, apa arti sesungguhnya pendidikan bagi Indonesia?
Kita lihat sejarah perjuangan bangsa ini. Pendidikan adalah salah satu perjuangan di garda terdepan dalam membangun bangsa ini. Sejarah yang digoreskan oleh kaum terpelajar bumiputera telah mampu memerdekakan negeri ini. Masa revolusi kemerdekaan, para kaum inteligensia juga turut ambil bagian dalam mempertahankan kemerdekaan. Kaum inteligensia pun mampu menumbangkan rezim-rezim diktatorial Indonesia. Dan mereka melakukan semuanya semata-mata hanya untuk membangun Negara ini.
Bandingkan dengan kaum inteligensia masa kini. Mereka memang mendapatkan pengajaran dan pengetahuan yang jauh lebih baik. Tetapi mereka dididik hanya untuk menjadi alat dari industri yang mengedepankan laba bagi perusahaan yang dibelanya. Kini kaum inteligensia dididik untuk melahap saudaranya sendiri guna mempertahankan pragmatisme mereka. Kini kaum inteligensia dididik guna menghancurkan Indonesia.
Seandainya jutaan anak bangsa yang harus mencari nafkah guna mempertahankan eksistensi kehidupannya mampu dilindungi oleh pemerintah, mereka pasti dapat bersekolah. Seandainya biaya pendidikan tidak terus-terusan melambung tinggi, pasti dapat bersekolah. Seandainya pendidikan terhadap anak bangsa mampu terlaksana, niscaya negeri ini pun dapat mempertahankan eksistensinya bukan hanya dari hutang yang terus dipupuki pemerintah.
Oleh karena itu, mari kita jadikan hari pendidikan nasional ini sebagai momentum guna memperbaiki kualitas pendidikan kita. Kita jadikan momentum guna melawan kesewenang-wenangan pemerintah yang terus menambah angka biaya pendidikan anak bangsa. Kita jadikan momentum guna membenahi bangsa yang tengah terpuruk ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H