Terpilihnya Airin Rachmi Diany sebagai pemenang pemilihan Walikota Tangerang Selatan (Tangsel), semakin menahbiskan kekuatan politik dinasti Rawu yang tengah dibangun oleh gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, karena konsep politik dinasti ini merupakan suatu akronim yang menjadi penjelmaan dari bentuk pemerintahan yang lebih mengedepankan kekuasaan keluarga (The family otoritarianism). Selain itu dominasi dan monopoli kekuasaan yang dilakukan kelompok Rawu inilah yang kemudian mengakibatkan Banten dalam 10 tahun berdirinya tak mengalami perubahan yang signifikan.
Dalam perkembangannya, Banten justru gagal didandani oleh pemerintahan yang didalangi oleh Atut. Banten kini terperosok dalam lubang yang digali oleh kelompok tersebut. Tingkat pengangguran di Banten menjadi yang tertinggi di Indonesia., dalam 10 tahun berdirinya Banten telah masuk kategori 10 besar propinsi terkorup, tingginya angka penderita gizi buruk, juga banyaknya ruas jalan yang rusak.
Memang munafik bila kita mengatakan Banten tidak mengalami pembangunan. Namun, pembangunan yang ada hanyalah pembangunan gedung-gedung pemerintahan. Bangunan RSUD Kota Serang masih terbengkalai padahal berada di tengah-tengah ibukota Banten. Terminal Pakupatan pun dinilai tak layak untuk sekelas terminal Ibukota propinsi.
Ironisnya, menjelang Pilgub 2011, Atut kembali mencalonkan dirinya untuk menjadi gubernur Banten lengkap dengan jargonnya, “lanjutkan pembangunan”. Pertanyaannya adalah, pembangunan seperti apa yang ingin dilanjutkan, apakah pembangunan fisik gedung-gedung mewah untuk para elit birokrat, atau pembangunan dinasti politiknya?
Jika pembangunan dinasti politiknya, kemungkinan Banten tidak akan mampu berbenah diri demi kesejahteraan warga Banten. Karena kebijakan yang diambil Atut dalam dinasti politiknya seringkali menjadi pintu terjadinya korupsi yang terstruktur.
Salah satu contoh adalah kasus pasar induk Rawu yang menyeret ayah Atut, Tb Chasan Sochib, yang hingga kini belum terselesaikan. Begitu juga banyaknya proyek pembangunan pemerintah propinsi Banten yang berbau nepotisme karena tendernya sering diambil oleh PT. Sinar Ciomas yang dimiliki oleh keluarga Atut.
Maka pola kekuasaan seperti inilah yang menyulitkan kehidupan demokratis, sekaligus menghambat sirkulasi elit dari muka lama menjadi muka baru. Artinya, karena ketertutupan politik yang diakibatkan gaya dinasti, menihilkan para pemimpin muda untuk mengganti pemimpin tua mengabdi bagi daerahnya.
Demokrasi seharusnya bukan demokrasi yang menisbahkan pada kolega maupun keluarga. Bukan pula demokrasi yang memperkosa keadilan demi kepentingan bisnis dan kaderisasi kekuasaan pada keluarga. Demokrasi yang sejati adalah persamaan dan keadilan. Inklusifitas yang terbangun dari kenyataan sosiologis politik bahwa siapapun berhak menjadi pemimpin dan dipimpin. Inilah hakikat demokrasi yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H