Mohon tunggu...
aditian wijaya
aditian wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - masih hidup dan berpikir

Di dunia yg pararel, menertawakan diri sendiri, bisa-bisanya masih hidup dan punya kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

meNyepi di Bali

27 Maret 2017   17:17 Diperbarui: 28 Maret 2017   14:00 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di mata orang awam, perjalanan wisata ke Bali yang dilakukan banyak wisatawan mungkin hanya sebuah penyegaran fisik. Tapi dalam kacamata spritual perjalanan ke Bali bisa merupakan sebuah perjalanan yang tidak hanya mencari kesegaran fisik ,namun juga batin. Mengolah carbon dioxide (kekacauan kosmik) menjadi oksigen (vibrasi positive) yang amat dibutuhkan semua orang .

Saat ini di berbagai belahan dunia termasuk Timur Tengah mungkin terus berputar dengan kekacauan kosmiknya, maka dari itu baiklah kita sempatkan diri “berlibur” untuk sejenak menyepi, untuk menggapai matahari keheningan (matahari ruhani atau Ruh Ilahi). 

Dalam bahasa Arab berlibur atau cari udara segar disebut "Rihlah" dimana kata "Rihlah" berasal dari kata "Al rih" yang seakar dengan kata "al Ruh", jadi kalau mau segar lahir bathin sering sering berlibur dan berlebur dengan sang Maha Ruh melepaskan kepenatan hati pikiran dan jiwa.

Mari kita perhatikan bentuk pulau Bali secara seksama. Di "kepala" (bagian utara Bali) di mana bisa terlihat matahari terbit sekaligus tenggelam, nama desa bagian utara disebut dengan Kubutambahan. Kubu artinya rumah, tambah artinya positif (rumah orang-orang yang berpikir positive). Di kaki pulau Bali (Bali bagian selatan), nama desanya disebut Sanur, dimana matahari terbit sering kali bercumbu mesra dengan puncak gunung Agung. Sa dalam bahasa Bali artinya satu, Nur itu cahaya (Cahaya yang satu, nur ala nurin, cahaya di atas cahaya). Dan tempat dimana jutaan manusia dari seluruh dunia mengalami penyembuhan bernama Ubud (ubud = ubad = obat) berlokasi di Bali Tengah.

Matahari keheningan di dalam diri mungkin terbit bila manusia mengisi kepalanya dengan pikiran positif, melangkahkan kaki diterangi cahaya yang Maha Satu, sebagai hadiahnya, ia tersembuhkan (tercerahkan). Ciri manusia tercerahkan, selalu berjalan di jalan tengah (khairul umuri awsatuha).

Puncak pencarian di jalan tengah bernama keheningan. Dimana seluruh dualitas (benar salah, baik buruk) lebur di telan keheningan samudera lautan Nusa Dua Bali menjadi keindahan menawan. Itu sebabnya tersisa teramat banyak keindahan di pulau Dewata.

Dan janganlah melewatkan kunjungan ke Pura Besakih. Di titik pusat Pura Besakih diantara Kiwa-Tengen, leluhur umat Hindu memberikan tanda Parama Shunya (keheningan yang maha utama). Di tempat itu, leluhur umat Hindu tidak meletakkan apa apa. Karena memang tidak Ada lagi yang perlu di jelaskan. Pantas Raja Salman senyum-senyum saja. Dan tidak heran Elizabeth Gilbert dalam novel Eat Pray and Love jatuh Cinta dengan pulau Dewata (Jatuh Cinta dengan Tuhan ).

Shanti..Shanti…Shanti (peace, peace, peace)

di tulis ulang dari Artikel yang di buat oleh Yusuf Daud

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun