Tak terhitung berapa kali diskusi dengan teman mengenai ekstrimisme dan intoleransi, sering kali hasilnya selalu mentah. Di benak lawan diskusi hanya berputar mengenai "ini setingan pemerintah, setingan barat, kita mayoritas" dan sebagainya.
Akal sehatnya nyangkut, tidak bisa lagi dipakai karena sudah termakan virus "islam dalam kondisi diserang", Â sehingga apapun argumennya dan sesantun apapun penyampaiannya sering kali tetap tidak mampu mengubah jalan pikiran lawan bicara.
Karena pola pikir yang seakan-akan surga bisa di raih hanya dengan diukur dari seberapa lantang "membela islam" atau ilusi keadilan yang hanya bisa di capai dengan kekhalifahan adalah candu di masyarakat saat ini.
Kenapa itu candu? Karena banyak yang ingin jawaban instant untuk persoalan dirinya, mulai dari individu/kepala keluarga yang sedang terjepit ekonominya tapi tidak tau atau tidak sabar harus mulai dari mana merubahnya sampai dengan golongan ekonomi menengah yang galau karena pada akhirnya ingin hidupnya bermakna dan masuk surga walau sepanjang umur jarang sekali beribadah tapi rajin sekali maksiatnya.
Pada akhirnya cepat sekali paham ini berkembang, bukan karena argument keilmuannya yang istimewa, tapi lebih karena mereka memberikan jawaban instant, sehingga tidak peduli benar atau salah, karena yang penting adalah apa yang diyakini. Â
Kembali pada argument pak Menag, maka perlu sekali kita renungi ucapan dari Albert Einstein "Hanya orang gila lah, yang mengharapkan hasil berbeda dengan melakukan hal yang sama".
Namun ini bukan artinya kita stop inisiatif forum dialog lintas agama yang saat ini sudah berjalan, Kita hanya perlu sadari bahwa "sekali melihat lebih baik daripada seratus kali mendengar". Sudah saatnya negara mengambil langkah ekstrem dengan merekrut para eks ISIS untuk jadi agen pemerintah untuk program deradikalisasi.
Mereka adalah saksi hidup, mereka melihat dan merasakan langsung apa yang sebenarnya terjadi. Kita perlu forum ceramah atau diskusi yang memberikan jawaban dari sebuah pengalaman langsung, karena tidak ada yang lebih menarik dan meyakinkan dari cerita seseorang yang telah mengalaminya (Coba kita ingat kenapa banyak dari kita tertarik dengan ceramah dari seorang yang mualaf, apalagi kalau sebelumnya mereka adalah pendeta atau biarawati).
Kita harus yakinkan mereka bahwa tidak ada langkah instant untuk mencapai tujuan. Barulah setelah itu kita bumikan kembali ilmu islam yang toleran dan focus pada akhlak yang baik bagi sesama muslim ataupun non-muslim.
Tidak menerima 100% eks Isis hanya akan menjadi gorengan kaum ekstrim dan intoleran. Pemerintah perlu lebih cerdik dalam menjawab isu WNI yang menjadi eks ISIS. Tidak menolak tapi juga tidak 100% menerima adalah langkah yang patut dipertimbangkan.
Pemerintah yang perlu buat syarat dan ketentuannya, bila mereka tidak menerima, itu urusan mereka, tapi setidaknya pemerintah tidak angkat tangan terhadap nasib anak bangsa  yang telah salah jalan. Pada akhirnya tidak ada yang namanya pengalaman hidup yang sia-sia, setiap yang mau belajar, pasti bisa mengambil hikmah dan pelajarannya.