Menyambut Tahun 2025, mungkin beberapa orang merayakannya dengan gegap gempita, ada yang biasa saja, ada yang beribadat, dan ada juga yang disambut dengan air mata karena kesedihan atau keharuan, dan yang pasti kesemuanya melebur menjadi ekspresi perasaan akibat Tahun 2024 yang telah terlewatkan. Apa pun itu, mari lupakan Tahun kemarin dengan berbagai muslihat, kebencian, kebaikan, intrik dan hal lain (positif/negatif). Mari berdamai hati, dan menyejukkan akal di Tahun nan baru ini.
Narasi di atas bukan bermaksud untuk mencurahkan perasaan saya sendiri, melainkan sebagai curahan perasaan umum yang saya tangkap pada setiap tradisi menyambut transisi Tahun. Demikian juga tulisan ini saya buat, sebagai bentuk mengawali tahun 2025 dengan suguhan panorama alam yang  sejuk, dan menariknya juga termasuk pada alam hukum dan demokrasi.  Kesejukan itu ditampakkan melalui dobrakan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan melahirkan Putusan No. 62/PUU-XXII/2024, buah dari pengujian UU tentang Pemilu yang ‘menghapus’ ketentuan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Treshold).
Apa yang dimaksud dengan Presidential threshold? Jadi konsep ini memberikan makna tentang ‘pembatasan’apa yang dibatasi? Yaitu batas suara yang harus diperoleh Partai Politik agar dapat mengajukan pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Ambang batas ini diatur dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yakni Pasangan Capres dan Cawapres harus diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dampak dari aturan ini, Partai Politik an sich tidak dapat mengusulkan Paslon Capres dan Cawapres, artinya mau tidak mau harus menyulam ikatan dengan partai politik lain untuk mencapai presentase pengusulan, namun harus disadari jika benturan kepentingan, akan sangat nyata terjadi. Jika melihat ketentuan UUD NRI 1945 sebagai produk hukum yang secara hierarkis di atas UU Pemilu, prinsipnya wajib tidak dilanggar/ditentang. Ketentuan tersebut adalah Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang menegaskan jika Pasangan Capres dan Cawapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.  Artinya sebenarnya tidak ada batasan persentase pengusulan dalam UUD NRI 1945.
Selama ini sejak Tahun 2018, terbilang sudah kurang lebih '36 kali' Pasal 222 UU tentang Pemilu ini diajukan permohonan pengujian UU di MK oleh berbagai elemen Masyarakat, hanya saja MK selalu teguh dengan pendiriannya yang menyatakan pengaturan persentase (treshold) itu adalah konstitusional sebagai kebijakan hukum pembentuk UU (hak pembentuk UU untuk mengatur hal-hal yang spesifik tidak diatur oleh UUD NRI 1945). Barulah di Tahun 2024, permohonan diajukan oleh para Mahasiswa dari UIN Suka Yogyakarta dan Putusan dibacakan Januari 2025 oleh MK. Akhirnya MK ‘berubah pendirian’ (Overruling) dengan menyatakan Pasal 222 UU tentang Pemilu yang mengatur Presidential Treshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945, karena dalil melanggar hak konstitusional setiap orang untuk maju kontestasi. Akan tetapi...
MK Telat sadar!!! sebagai pengamat hukum, rasanya pantas saya sematkan ungkapan tersebut. Sejak kontestasi Pemilu dahulu dari 2019 dan 2024, Sistem Presidential Threshold cenderung berhasil mengekang kebebasan setiap orang untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai Capres dan Cawapres. Negara melalui regulasi, seakan berhasil merekayasa sistem kompetisi untuk ‘membunuh’ kesempatan setiap orang mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai pasangan Capres dan Cawapres yang ‘hanya’ melalui modal suara legislatif sebagai syarat. Kejinya, modal suara yang digunakan sebagai dasar adalah hasil Pemilu sebelumnya yang tentu pergerakan dan keadaan politiknya sangat berbeda dengan Pemilu berikutnya.
Sadar atau tidak, Sistem Presidential Treshold sudah sejak dahulu ‘membunuh’ kesempatan dan menutup sirkulasi pencalonan, yang kemudian mengakibatkan kecenderungan hanya 2 Paslon Capres dan Cawapres yang dapat dicalonkan dan pilihannya itu-itu saja. Tanpa disadari, hampir 6 Tahun Presidential Treshold sebagai tradisi oligarki terawat, yang nafasnya jauh dari spirit demokrasi yang identik dengan keterbukaan kesempatan.
Kehadiran sistem Presidential Treshold, tentu berakibat pada tidak tersedianya varian pilihan yang beragam, publik hanya disajikan para calon dengan pilihan terbatas, di sisi lain pada masa itu juga (2019) membawa  dampak destruktif pada kohesi sosial. Sistem Presidential Threshold sangat sukses membuat kohesi sosial semakin rusak, ketegangan dan polarisasi tajam pernah menggerus kehangatan berwarga negara. Baik di dunia maya dan dunia nyata.
Sebagai penutup, melalui tulisan ini saya sebenarnya cukup menyayangkan MK sejak dulu gagal menavigasi hal-hal tersebut di atas, dan sikap MK melalui langgam the living constitution untuk menafsirkan aktivasi konsitusi di Masyarakat baru hadir sekarang, mengingat sebelumnya  beberapa kali ‘konsisten’ menolak permohonan penghapusan presidential treshold.Â
Tetapi, bagaimanapun saya menegaskan sikap tetap mengapresiasi MK, karena sadar atas langgam the living constitution yang dijadikan dasar pendobrak untuk menghapuskan ketentuan Presidential Treshold, meskipun hal ini cukup terlambat. Saya tetap menyambut baik Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024, sebagai Putusan monumental yang berpengaruh baik ke depan. Berikutnya, tentu berharap penerima adressat Putusan MK yakni Presiden dan DPR, dapat menekankan political will untuk mendelegitimasi Pasal 222 UU tentang Pemilu.
Semoga dengan langkah progresif saat ini, sirkulasi elite ke depan dalam Pemilu akan semakin sengit, kompetitif, dan berkualitas. Kohesi sosial pun tidak akan serusak dahulu, jika hanya ada dua kubu besar yang saling berkompetisi. Salam konstitusi dan Salam Perubahan!