Tren isu politik identitas dalam gelombang politik Indonesia semakin menguat tahun belakangan ini. Identitas yang selalu hadir dalam dunia politik Indonesia, yang meliputi etnis, budaya, suku, dan agama. Hal tersebut dijadikan sebagai alat suatu kelompok untuk mencapai suatu kepentingan dalam mencari massa atau sebagai bentuk perlawanan dari kelompok tersebut. Indonesia sebagai negara yang identik dengan keberagaman, entah etnis, budaya, suku, bahasa, dan agama yang beragam. Dari keberagaman, sudah pasti memilki dampak positif, tetapi tidak dapat dipungkiri juga bisa menimbulkan perpecahan. Berangkat dari keberagaman tersebut, para elit terkadang menggunakan politik identitas untuk mendapatkan legitimasi untuk mendapat dukungan politik.
Isu politik identitas yang selalu hadir dalam perpolitikan Indonesia selalu menjadi perdebatan masyarakatnya. Politik identitas juga dianggap dapat menimbulkan adanya perpecahan, perkotakan masyarakat antara mayoritas dan minoritas, diskriminasi terhadap kaum minoritas. Hal tersebut begitu berdampak terhadap dinamika-dinamika kehidupan sosisal masyarakat. Fenomena politik identitas ini jika terus dibiarkan akan mengancam integritas bangsa. Dengan praktiknya, politik identitas menimbulkan adanya pembagian masyarakat menjadi dua kubu yaitu kaum mayoritas dan minoritas yang selalu bertentangan. Tidak heran jika politik identitas ini sangat berdampak negatif seperti setiap saat menjelang pemilu, pasti selalu ada konflik internal dalam masyarakat, entah itu perkara intoleransi, mengolok-olok perbedaan pilihan dengan menganggap pilihan yang berbeda dianggap pilihan yang buruk, dan sebagainya.
Isu politik identitas yang sebelumnya terjadi di Indonesia yaitu fenomena Pilgub DKI Jakarta pada  tahun 2017 yang menjadi perhatian masyarakat. Peristiwa ini dipicu dengan peristiwa penistaan agama islam yang dilakukan oleh salah satu paslon yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Penistaan terhadap Al-Qur'an yang dilakukan Ahok memicu kegeraman para muslim. Berangkat dari situ muncul berbagai Gerakan bela Al-Qur'an dan bela agama islam, seperti Gerakan aksi damai 212. Dari momentum tersebut, menjadi modal bagi lawan paslon untuk menjadi aktor pemenang dalam pilgub 2017. Terbukti terpilihnya lawan ahok yaitu paslon Anies-Sandi yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, karena dengan kekuatan dukungan politik identitas terkait dengan politik identitas islam. Sejak momentum itulah yang menjadikan politik identitas semakin nampak dalam perpolitikan Indonesia.
Menjelang Pilpres 2024, sudah mulai muncul konflik-konflik internal yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat. Paslon pemilu 2024 sudah ada yang secara terang-terangan menggait suatu kelompok dengan identitasnya yang sama untuk mendapat dukungan politik. Hal itu dijadikan senjata bagi paslon pemilu 2024 dalam menggait massa. Identitas yang sering digunakan dalam dunia politik Indonesia yaitu identitas agama, terlebih Islam. Tidaklah heran jika islam merupakan identitas yang sering digunakan para elit politik dalam pertarungan politiknya, karena jika dilihat kembali, populasi Islam di Indonesia terbilang sebagai mayoritas. Biasanya, Paslon yang menggunakan politik identitas islam secara terang-terangan bergabung dengan beberapa ijtima ulama, mendatangi pesantren-pesantren, kampanye dengan simbol-simbol yang berkaitan dengan agama islam, sebagai bentuk usahanya dalam mencapai kepentingannya yaitu meraih dukungan.
Peristiwa politik identitas sudah kerap mewarnai dinamika perpolitikan Indonesia. Dengan selalu dijadikannya politik identitas sebagai alat atau strategi para elit poltik dalam menggait massa. Politik identitas yang bisa saja menimbulkan perpecahan atau polarisasi masyarakat. Di mana hal itu akan mencederai persatuan bangsa yang sesuai dengan nilai sila ketiga Pancasila.
Indonesia sebagai negara multikultural, seharusnya dapat menjadi negara yang saling toleran, mementingkan persatuan, agar dapat mereealisasikan nilai Pancasila sila ketiga. Namun, pada kenyataannya, dengan hadirnya politik identitas malah mengancam persatuan, dengan adanya polarisasi dalam masyarakat, intoleransi, diskriminasi hingga radikalisasi, dan sebagainya. Bijaklah dalam menggunakan suara, lihatlah kualitas gagasan yang dijual, bukan hanya karena memiliki identitas yang sama, lalu dijadikan sebagai patokan pertimbangan dalam memilih pemimpin negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H