Mohon tunggu...
Detlh Aal
Detlh Aal Mohon Tunggu... -

menulis dan hanya menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjuangan Seorang Nenek Muallaf

7 Agustus 2014   20:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:09 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terik matahari begitu menyengat, mengusap lembut rambut yang ada di kepala, bahkan bagian kulit dalamnya, namun tak menyurutkan kendaraanku yang begitu cepat menuju kediaman rumah temanku yang ada diujung pusat kota. Lelah terasa, bulir keringat mengucur dari kening menderasi sekujur tubuh yang kering.

Nampak dari kejauhan, terlihat sebuah Surau kecil, namun begitu bersih bagian teras, halaman, maupun bagian dalamnya. Akupun sejenak merebah di teras yang dilapisi keramik cantik berwarna hijau limau, seraya menunggu panggilan adzan berkumandang, mengingat waktu sholat dzuhur yang kian mendekat (pukul 11.45).

Nak, maaf Nenek mengganggu istirahatnya, mau Nenek sapu terlebih dahulu alasnya, “ ucap Nenek tua renta dengan bersenjatakan sapu ijuk yang dipegangnya.

Maaf Nek. Iya Nek, tidak apa. “ Sahutku lembut seraya berpindah tempat dengan memandangi pakaian Nenek tua ini yang memiliki banyak tambalan kainnya.

Terbersit banyak tanya yang tersirat di kepala, mungkinkah Nenek ini marbot disini, atau pekerja sambilan, atau seseorang Nenek tua yang… “ah, aku tidak tahu.

Nek, nek, panggilku perlahan, agar tidak mengganggu konsentrasinya dalam menyapu. “ tak ada jawaban, mungkin dia sedang serius menyapu kotoran-kotoran yang ada di Surau ini, atau mungkin dia sedang bercerita kala debu berterbangan meninggalkan alasnya.

Aku mencoba memanggilnya kembali. Nek, Nenek ? “ kembali tidak ada jawaban, bahkan panggilanku pun tak menyentuh sedikitpun kulit telinga yang sedikit tertutup kerudung hitamnya.

Tak akan kuulangi ketiga kalinya, daripada aku kesal, lalu mengurangi sempurnanya puasa Ramadhan ini. Kala ucapku sama sekali tak terdengar, jeritku tak pula terbayar, baik dengan sahutnya, atau tindakan menoleh kepadaku.

Aku segera mendekati, lalu kujawil bagian lengan yang hanya tertutup setengah dengan kainnya, sekaligus bertanya, “ Nek, kamar kecil dan tempat wudhunya disebelah mana ya Nek?

Di belakang Surau ini nak, kemudian berjalan lurus, melewati tiap tapak ubin ini, ada sebuah keran berwarna biru disana, dan sebuah kamar kecil yang terbuat dari kumpulan gerabah.” jawab Nenek tua berwajah China ini dengan lengkap.

Akupun segera berjalan menyusuri perlahan, mengikuti tiap-tiap petunjuk Nenek tua berbadan sedikit bungkuk itu agar tidak tersesat, gumamku sedikit melebihkan. Seraya menjawab teka-teki yang masih bergulat antara fikir dan yang terlihat. Apakah Nenek ini Islam? namun dengan wajah yang sedikit tidak meyakinkan, terlebih dengan pakaian setengah lengan. Atau Nenek ini marbot di Surau ini, dan yang terakhir, “ apakah Nenek ini berpura-pura tidak mendengar saat kupanggil? “entahlah, biar kutanyakan langsung dengan Nenek itu, selesai ku berjalan dari kamar kecil Surau ini.

Begitu asri dan indah Surau ini, meski kecil, namun bak permata indah yang dikelilingi sawah serta pepohonan rimbun. Ditambah air sejuk yang sedikit menjinakkan sengat panas matahari yang mendiami kepalaku, seusaiku mengambil wudhu.

Allahu Akbar, Allahu Akbar. Begitu indah, kala muadzin melantunkan adzan, hingga menggetarkan hati siapa yang mendengarnya. Langkah kakiku pun sedikit ku percepat, agar apa yang ada di kepalaku, dapat kutanyakan kepada Nenek tua itu.

Tak lama, akupun sampai di teras tadi. Subhanallah. Begitu terkejutnya, saat aku tak melihat Nenek tua yang berparas Negeri Ginseng itu. Kemana Nenek tua itu, segumpal pertanyaan semakin menggeliat di urat-urat kepalaku. Apakah Nenek itu menghilang, ataukah hanya jelmaan dari seseorang? Ah, fikiranku entah mengarah kemana. Aku coba berjalan mengitari Surau ini, nampak sawah, pepohonan rimbun, rumah-rumah yang cukup jauh, serta gubuk reot tua kosong yang nampak terlihat miring, mungkin beberapa bulan lagi akan roboh.

Allahu Akbar, Allahu Akbar. Asyhadu alla ilahailallah. Asyhadu anna Muhammadarosulullah. Hayya ‘alasholla. Hayya alalfala. Qodko matishola, qodko matisholla. Allahu Akbar Allahu Akbar. La ila hailallah. Terdengar lafadz Iqomah, tanda akan segera dimulainya sholat. Akupun segera meninggalkan serta menanggalkan fikiranku mengenai Nenek tua itu. Agar tidak mengganggu konsentrasi Ibadahku.

*****

Tidak begitu ramai, hanya satu shaf, orang yang memenuhi surau ini, mungkin beberapa masyarakat disini, serta orang yang sedang bersinggah melepas lelah, seraya menunaikan kewajiban. Setelah menambal sholat wajib dengan sholat Sunnah, serta sedikit melantunkan Ayat suci Al-Qur’an. Para jamaah, kembali keluar, lalu pergi guna melakkan rutinitasnya kembali. Namun aku tidak, tetap dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi isi kepalaku tentang Nenek tua itu. Aku sampingkan tujuanku untuk menemui temanku, guna memecahkan teka-teki yang menyeruat ini.

Sudah selesai Nak sembahyangnya? “ tanya Nenek tua itu mengagetkan, seraya menggusah baju yang terlihat basah.

Iya Nek sudah tadi. “ timbalku menghela nafas.

Nenek darimana, enggak sholat, kok basah bajunya, mana sapunya tadi Nek, Nenek abis jatuh dari sawah? “ tanyaku bertubi.

Ramai tidak nak jama’ahnya tadi? “ tanya kembali Nenek tua yang terlihat lelah dengan pertanyaannya

Tidak ada jawaban dari sekian pertanyaanku, mungkin terbawa angin kalaku melontarkan beberapa pertanyaan kepada nenek itu. Huuaah, kesalku sedikit menyeruah.

Lumayan nek, sedikit penuh. Shaf pertamanya saja. Shaf yang lain kosong nek. “ sahutku dengan sedikit tersenyum kepada Nenek tua ini.

Iya Nak, selalu seperti itu ditiap harinya. Hanya beberapa orang yang melaksanakan sembahyang, sebagian malah dari orang yang lewat, lalu singgah di Surau ini. Terkadang muadzin, iqomah, merangkap pula jadi imam, dikarenakan tidak adanya makmum yang lain, hanya segelintir orang, itupun anak kecil. “ tutur Nenek tua yang terlihat berkaca kala menceritakan jamaah di Surau ini.

Maaf ya nak, kalau misalnya Nenek tidak menyahut, karena pendengaran Nenek yang sudah tidak berfungsi lagi dengan baik. Hampir genap 10 tahun nenek mengurus Surau ini, dengan ikhlas agar dapat pahala dari Alloh. “ lanjut Nenek tua itu menambahkan.

Sedikit terbuka, dengan apa yang menjadi penuturan dan keluh Nenek tua ini, sebagian pertanyaanku pun mulai terjawab, tanpa akupun menanyakan, dari mulai dirinya yang mengatakan sudah tidak terlalu baik pendengarannya, kemudian ucapnya tersirat ketika mengatakan sholat, dan lainnya. Mulai sedikit teriris akan kisah miris yang dialami Nenek tua di Surau ini. Akupun perlahan mencoba membuka lembaran yang telah menjadi kisah Nenek tua ini.

Nek. Nenek darimana, sampai celananya basah seperti itu? “ tanyaku lembut kepada Nenek tua yang terlihat bingung menjawab pertanyaanku.

Tadi Nenek dari warung, mencari makanan dan minuman untuk berbuka cucung, terus Nenek kebelet, Nenek lari menuju Surau ini, dipertengahan jalan….. “ Nenek itupun bercerita dengan lepas terhadapku, dengan tawanya yang gilas, menutupi agar tak terlalu malu.

Yaudah nak, badan Nenek mulai dingin, Nenek mau ganti pakaian terlebih dahulu, mampir saja ke gubuk Nenek, itu tidak jauh dari Surau. “menunjuk gubuk reot tua yang miring tersebut.

Iya Nek, kalau tidak mengganggu. “ timbalku pelan.

Sangat tidak mengganggu, biar Nenek bisa bercerita, sambil menunggu cucung Nenek pulng sekolah juga. “ sahut Nenek itu sambil berjalan memeras baju yang cukup basah itu.

*****

Akupun berdiri di depan pintu, menunggu Nenek yang terlihat polos dengan ucap seadanya mengganti pakaian, seraya diperkenankannya untuk masuk.

Silahkan masuk nak, inilah gubuk tempat tinggal Nenek dari 9 tahun silam, Alhamdulillah masih diberikan tempat berteduh.

Assalamu’alaikum. “ ucapkan sambil melepas alas kaki ke dalam rumah Nenek ini.

Wa’alaikumsalam. Dipakai saja sandalnya, alasnya tanah semua, kotor nak. Tidak apa-apa dipakai saja. “sambut Nenek dengan ramah kepadaku.

Silahkan duduk nak. Mohon maklum, beginilah keadaan gubuk Nenek. “ tambah Nenek itu merendah.

Alhamdulillah Nek. Allah masih memberikan tempat beristirahat untuk kita. “ sahutku cukup bijak.

Dahulu, gubuk ini ditempati anak Nenek yang lelaki, namun setelah menikah, dia pindah dengan istrinya. Menetap di Kota beserta anak keduanya. Anak yang pertama laki-laki, dan dia tinggal disini, menemani Nenek sekarang, Muhammad Alif namanya. “ cerita Nenek kepadaku.

Nenek sudah lama mengurus Surau itu Nek? “panjangku menanyakan.

Lumayan nak, sepeninggalan dari Ayahnya Alif, Nenek yang mengurus Surau ini. Dari situlah Nenek bisa makan, meski terkadang tetangga dan pak RT sering mengitimi makanan buat kami berdua, dikarenakan uang bulanan upah dari membersihkan Surau ini tidak cukup. Tapi Nenek ikhlas, ikhlas karena Alloh. Nenek membersihkan rumah Alloh, karena Nenek cinta dengan Alloh. “ runut Nenek kepadaku.

Allah pasti akan membalas tiap-tiap keringat dan letih yang telah Nenek perjuangkan. “ seraya berdoa agar diijabah Allah di bulan yang suci dan barokah ini.

Upah Nenek dahulu 50 ribu perbulannya, namun sekarang, setelah tahun ke delapan, upah Nenek menjadi 200 ribu sebulan, dari situ juga Nenek bisa ngasih uang jajan buat Alif. “tambah Nenek.

Begitu besar pengorbanan dan usaha yang dilakukan Nenek ini, Subhanallah. “selentikku di dalam hati.

Anak Nenek cuma satu? Sering ya Nek Ayahnya Alif berkunjung kesini? “tanyaku perlahan.

Anak Nenek ada tiga. Namun yang dua sudah tidak pernah menganggap Nenek sebagai Ibunya. “seraya tersenyum simpul Nenek itu menjawabnya.

Mengapa seperti itu Nek? “tanyaku sedikit terkejut mendengar penuturan Nenek Alif ini.

Tidak tahu mengapa mereka bertindak seperti itu. Mungkin karena Nenek berpaling dari Agama Nenek moyang dahulu. Nenek muallaf nak, Nenek masih keturunan orang Thionghoa. Nama Nenek dahulu Sima Yi sekarang Siti Khodijah, begitupun anak lelaki Nenek yang juga muallaf, ayahnya Alif. Dahulu dia bernama Jiang Zemin, namun sekarang bernama M. Nur Rahman. Namun tidak untuk kedua anak Nenek, yang masih memeluk Agama Nenek moyangnya dahulu.“ jelas Nenek Sima Yi kepadaku.

Subahanallah. Allah memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendakinya. Semoga kedua anak Nenek juga segera mendapatkan hidayah Allah ya Nek. “sambutku meneruskan.

Aamiin ya Alloh. Iya nak, semoga mereka segera mendapat hidayah Allah. Ini foto Ayah Alif beserta Istrinya. “ menunjuk foto yang terpajang disudut sebelah kanan dari pintu.

Ini Alif ya Nek, masih kecil. Alif artinya pertama, dan Muhammad, agar mencontoh sifat Nabi Muhammad. “ terangku kepada Nenek Alif.

Iya nak, dahulu Alif adalah anak yang baik, namun seiring waktu, kebaikannya itu tertutupi dengan sifatnya yang berubah drastis. Alif yang sekarang suka berbohong, mencuri, keluar malam, melawan, kemudian mabuk. “ jelas Nenek seraya mengusap bulir matanya yang mengalir.

Mengapa seperti itu Nek? Karena teman sekitarnya ya Nek? “ tanyaku yang turut berkaca ketika melihat seorang Nenek dengan wajah keriput, bersuara sedak kala menceritakan kesedihan dirinya.

Iya nak, pergaulan yang merubahnya. Alif yang suka keluar malam, Alif yang suka mencuri uang, bahkan Alif pernah ditegur pak RT disaat terlihat sedang menghisap botol lem bersama teman-temannya. “ungkap Nenek tersedu.

Ya Allah, Alif mencuri uang Nek? Uang tetangga? Atau uang teman-temnnya Nek? “ tanyaku terheran.

Bukan nak, uang Nenek sendiri. Nenek juga tak habis fikir. Begitu pintar dan cerdasnya Alif mencuri dan mencari uang Nenek, dimanapun Nenek simpan. Uang bulanan, uang pemberian orang, bahkan uang yang Nenek terima dari zakat, pula turut menjadi sasaran Alif. “tutur Nenek.

Uangnya Nenek simpanpun masih dapat dicuri Nek? “lanjutku keheranan.

Iya nak, padahal Nenek selalu berganti tempat penyimpanan. Di laci, dibawah bantal, diatas kayu-kayu gubuk, hingga di bawah lubang kaki tempat tidurpun, selalu saja diketahui oleh Alif. Nenekpun sering memarahinya, namun seiring waktu, bukan kesadaran yang didapatkan, dia malah menjadi semakin liar tak terbendung. “terang Nenek memilu.

Sebegitunya ya Nek Alif, jadi ingin bertemu dia. “lantangku penasaran, sambil mengusap wajah.

Nah, biasanya Alif jam segini sudah pulang, ini waktu sudah hamper sore, belum juga terlihat. Padahal nanti sore jadwal Alif mengaji. “ucap Nenek seraya mengambil sebuah rotan yang tipis.

Alif masih mau mengaji juga Nek? Syukurlah, semoga itu salah satu perantara Alif dapat berubah. “jawabku pelan.

Semoga saja, namun sulit sepertinya, bagaimana tidak, kalau rotan ini tidak mendarat dikaki atau dibagian belakang Alif, dia tidak jua berangkat. “sambil memegang sepucuk rotan, yang mungkin terasa sedikit sakit bila dilayangkan.

Bukan juga Alif, Nenekpun ikut mengaji di Surau ini, sejak masuk Islam, hingga sekarang, baru ini Nenek mengaji Al-Qur’an, menginjak umur Nenek yang semakin tua, delapan puluh empat tahun. Mata Nenek tak pula jelas melihat huruf-huruf Alloh, telinga nenek yang pula tertahan, tak sebegitu mendengar kala seorang guru ngaji mengajarkan. Serta pengucapan lafal juga tak begitu tepat diajarkan. Namun Nenek tetap semangat, walaupun seringnya mungkin guru ngaji kesal karena selalu Nenek tidak bisa. “senyum Nenek serta tawa kala menceritakan perjuangannya membaca Al-Qur’an.

Subhanallah, bukan kebisaan kita dengan cepat nek, tapi proses yang akan dilihat oleh Allah, apalagi kemauan nenek yang begitu besar untuk bisa mengaji. Seorang guru tidak akan pernah bosan, terlebih kesala kala mengajari muridnya, mereka malah senang, berbagi ilmu, hingga ilmunya didapatkan seutuhnya oleh murid. “terangku kepada Nenek yang begitu banyak perjuangan mengetahui dalamnya ilmu Islam ini.

Iya nak, semoga Alloh senang, karena sudah tua nenek baru mengenal Islam, jadi sedikit sulit memahaminya. “sahut Nenek.

Waktu yang hampir sore, membuatku bergegas untuk mengakhiri percakapan, karena ada beberapa yang akan kukerjakan di rumah. Dan aku berjanji, esok akan datang kembali, memberikan sedikit dengan apa yang ku punya.

Pasti Nek, begitu gembira Allah memiliki Hamba seperti Nenek, yang mengabdi di rumah Allah, giat untuk mencari ilmu, terlebih berjuang untuk cucung Nenek yang nakal saat ini. Nek, aku pulang dulu ya, waktu sudah mulai sore, mengingat rumahku yang cukup jauh, insya Allah aku akan datang lagi kemari, sekaligus ingin melihat Alif. “jelasku penasaran, ingin sekali melihat Alif, cucung Nenek ini.

iya nak, mohon doa buat perubahan Alif, agar dia menjadi anak yang baik. “harap Nenek terhadap cucung kesayangannya.

Akupun lantas bersalaman, lalu memberikan sedikit apa yang aku punya, untuk menambahkan Nenek membeli bukaan hari ini. Kemudian bergegas mengambil motor yang kuparkir di halaman Surau, karena mengingat tempat parkir, juga halaman rumah Nenek yang tidak begitu luas. Dan aku akan kembali lagi kemari, guna melihat keadaan Alif, lalu memberikan uang dan zakat, karena memang keluarga Nenek termasuk Mustahik, yang berhak mendapatkan zakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun