Mohon tunggu...
Adita Bella Lastania
Adita Bella Lastania Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

International relation

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Perang Rusia dan Georgia Pada Tahun 2008 di Provinsi Ossetia Selatan

24 Oktober 2010   11:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:09 2557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum internasional merupakan peraturan-peraturan serta ketentuanyang mengatur dan mengikat hubungan antar negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan internasional[1]. Dikarenakan negara merupakan subjek utama hukum internaisonal, maka segala fenomena yang menyangkut hubungan negara menjadi fokus perhatian dalam hukum internasional.

Presiden Georgia Mikheil Saakashvili mengumumkan keadaan perang, Sabtu (9/8). Pada saat yang sama, pasukannya terlibat pertempuran  dengan tentara Rusia di provinsi  Ossetia Selatan yang memisahkan diri itu (Kompas, 9 Agustus 2008)

Krisis antara Georgia dan Rusia terjadi di bulan Agustus 2008. Faktor yang menyebabkan timbulnya krisis diantara kedua negara tersebut adalah adanya intervensi Rusia di Ossetia Selatan yang ingin memisahkan diri dari wilayah Georgia. Masuknya Rusia ke wilayah Ossetia Selatan membuat keadaan semakin menegang. Belum lagi tudingan yang diluncurkan oleh Presiden Georgia Mikheil Saakashvili atas keterlibtan Rusia dalam mendukung gerakan separatis yang ada di wilayah tersebut.

Pemerintah Georgia melalui presidentnya Mikheil Saakasvili mengumumkan keadaan perang di wilayah Ossetia Selatan dengan Rusia. Hal ini dikarenakan Rusia yang terus menyerang dan membombardir tentara Georgia yang ada di wilayah tersebut. Banyaknya korban yang berjatuhan pun menjadi salah satu alasan bagi pemerintah Georgia untuk menyatakan perang dengan Rusia. Georgiamenyatakan Rusia telah melancarkan serangan sejak tanggal tanggal 7 Agustus 2008 silam dan telah menewaskan hampir 1.600 warga di Ossetia Selatan tersebut[2]. Georgia terus menuduh Rusia lah yang menyatakan perang terlebih dahulu dengan Georgia dikarenakan adanya campur tangan Rusia di wilayah Ossetia Selatan serta melancarkan serangan di wilayah penduduk sipil.

Di pihak Rusia tidak membantah tudingan yang diberikan oleh pemerintah Georgia kepada pihaknya. Menteri pertahanan Rusia hanya membantah bahwa pasukan Rusia telah membombardir wilayah sipil. Rusia membenarkan bahwa pihaknya melancarkan serangan terhadap militer Georgia yang ada di wilayah Ossetia Selatan tersebut. Selain itu pemerintah Rusia menyatakan bahwa pesawat Rusia telah ditembak jatuh oleh militer Georgia. Presiden Rusia Dimitri Medvedve menyatakan bahwa sebenarnya pihak Georgia yang mengakibatkan banyaknya korban dari warga sipil yang berjatuhan. Presiden Rusia juga menuduh Georgia telah melakukan genosida terhadap 2.000 warga yang ada di wilayah Ossetia Selatan tersebut[3]. Rusia membenarkan bahwa pihaknya membantu gerakan separatis yang ada di wilayah Ossetia selatan tersebut dikarenakan Georgia tidakk memiliki hak akan wilayah tersebut, sehingga sah bagi Ossetia Selatan untuk mendapatkan kedaulatan penuh untuk memisahkan diri dari Georgia. Pihak Rusia juga mengklaim bahwa yang menyebabkan perang ini adalah pihak Georgia karena telah menembak jatuh pesawat milik Rusia.

Rusia memperluas wilayah serangannya sampai ke ibukota Georgia, Tbilisi. Rusia menyerang objek-objek fital di negara tersebut, seperti ke kota pelabuhan laut hitam, Poti. Rusia juga membombardir pabrik yang menghasilkan pesawat sukhoi-25 untuk Georgia di pinggiran Tbilisi. Rusia juga melakukan serangan di provinsi separatis lainnya yaitu Abkhazia. Hal ini membuat keadaan diwilayah tersebut semakin menegang. Belum lagi blokade yang dilakukan oleh Rusia di jalan-jalan di wilayah Ossetia Selatan.

Untuk meredam krisis antara Rusia dan Georgia diadakanlah perjanjian gencatan senjata oleh kedua pihak. Perjanjian tersebut ditengahi oleh Perancis dan Uni Eropa pada tanggal 15 Agustus 2008. Perjanjian itu menyebutkan bahwa gencatan senjata anatara Rusia dan Georgia dalam mengurangi korban yang banyak berjatuhan dari pihak sipil di wilayah-wilayah terjadinya perang. Presiden Rusia dan Georgia masing-masing setuju menandatangani perjanjian tersebut di tempat yang terpisah. Presiden Dimitri Medvedve menandatanganinya di Moskow pada tanggal 16 Agustus 2008 dan presiden Georgia menandatangani pada tanggal 17 Agustus 2008[4]. Tetapi belum ada penarikan pasukan oleh Rusia di wilayah tersebut dan Rusia masih melakukan blokade-blokade di jalan-jalan di daerah Ossetia Selatan tersebut. Pihak Rusia mengacuhkan perjanjian antara kedua belah pihak dimana menyebutkan Rusia harus menarik pasukannya dari wilayah Ossetia Selatan yang merupakan wilayah terjadinya perang antara kedua negara tersebut.

[1] Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Cet.II, (Bandung: P.T. Alumni, 2008), hal. 1

[2] http:///www.internasional.kompas.com , diakses pada tanggal 21 April 2009.

[3] http:///www.internasional.kompas.com , diakses pada tanggal 21 April 2009.

[4] Ibid.

Krisis antara Georgia dan Rusia muncul akibat adanya dukungan pemerintah Rusia kepada gerakan separatis Ossetia Selatan yang ingin memisahkan diri dari Georgia. Seperti yang telah diketahui wilayah Ossetia Utara merupakan wilayah dari Rusia sehingga muncul anggapan dari negara-negara di dunia terutama Amerika Serikat, bahwa Rusia ingin memperluas wilayah negaranya dengan merebut Ossetia Selatan. Namun Rusia membantah tudingan yang diluncurkan oleh pemerintah Amerika Serikat tersebut. Rusia melalui menteri luar negerinya menyatakan bahwa Ossetia Selatan dan Abkhazia merupakan wilayah yang berhak mendapatkan kedaulatannya. Rusia juga menyatakan pihaknya bersedia merangkul kedua negara tersebut dalam upayanya memisahkan diri dari Georgia. Pernyataan tersebut membuat bermunculannya pandangan negatif dari negara di Eropa dan juga Amerika Serikat. Upaya yang dilakukan Rusia dalam mengintervensi permasalahan yang terjadi di wilayah Georgia merupakan pernyataan perang yang nyata dan terang-terangan. Adanya upaya Rusia untuk merangkul para gerilyawan di Ossetia Selatan merupakan sebuah bentuk campurtangan Rusia terhadap permasalahan di wilayah Georgia.

1.1.1Tanggapan Dunia Internasional

Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jaap de Hoop Scheffe mengecam aksi Rusia serta menuding bahwa Rusia telah menggunakan kekuatan militer yang berlebihan di wilayah Ossetia Selatan dan Rusia harusnya menghormati integritas wilayah Georgia tersebut.

Presiden Amerika George W. Bush juga ikut mengecam tindakan Rusia yang ikut campur dalam permasalahan di Georgia dengan mendukung gerakan separatis di wilayah Ossetia Selatan danAbkhazia. Bush menekankan, “Bagaimana pun juga Ossetia Selatan dan Abkhzia yang menjadi biang konflik itu tetap menjadi bagian dari Georgia.  Tidak ada ruang bagi perdebatan mengenai masalah itu," kata Bush. (Kompas: 17 Agustus 2008)

Bush juga menyatakan bahwa seharusnya Rusia tidak memasuki wilayah yang masih menjadi bagian dari Georgia tersebut apalagi melakukan penyerangan dengan membombardir wilayah tersebut.

Uni Eropa bersama jajaran menteri luar negeri negara-negara Eropa menyatakan bahwa pihaknya mengecam serangan Rusia ke Georgia. Uni Eropa juga menyatakan akan berusaha mengurangi ketegangan yang terjadi antara kedua negara tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun