Toxic masculinity secara literal diartikan sebagai maskulinitas beracun, dimana peran laki-laki dibatasi menurut peran gender yang kolot berdasarkan kontruksi sosial masyarakat patriarki, dimana keagresifan dan kekerasan dianggap sebagai bentuk dominasi. Laki-laki dituntut untuk selalu tangguh serta berani mengambil resiko dan tidak diperbolehkan untuk menunjukkan emosi berlebih atau mereka akan dianggap lemah. Hal seperti ini seringnya sudah mereka terima sejak kecil dalam bentuk ungkapan atau larangan bahwa laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh lemah, dan lain sebagainya.
Toxic masculinity masih marak dan menjadi hal biasa dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Sentimen negatif ini utamanya dapat dilihat terhadap hadirnya budaya Korea yang akhir-akhir ini kian meluas. Kehadiran budaya K-Pop mengganggu pikiran para pelaku toxic masculinity karena dianggap tidak selaras dengan pandangan mereka tentang laki-laki yang selanjutnya berakibat munculnya penolakan terhadap adanya budaya tersebut. Apa pun hal yang kurang atau tidak pantas untuk menjadi "Alpha" adalah kekurangan dan "Real Man" harus berusaha untuk mencapai tingkat yang tinggi itu sebelum dia bisa mengklaim dirinya sukses (Teo, 2020).
Alasan dibalik penolakan terhadap budaya K-Pop ini dikarenakan boyband K-Pop hadir dengan penampilan yang tidak sesuai dengan pandangan laki-laki Indonesia. Boyband K-Pop bisa dibilang memiliki penampilan yang sedikit nyentrik jika dibandingkan dengan bagaimana laki-laki di Indonesia berpakaian pada umumnya. Penampilan bersih dan rapi dengan busana modis berwarna-warni serta berbagai macam model hasil pengaruh dari globalisasi, rambut yang juga turut diwarnai, telinga yang ditindik, memakai makeup dan melakukan perawatan kulit. Hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki. Karena dalam pemikiran mereka, laki-laki harusnya tampil jantan dan gagah dengan penampilan yang tampak berantakan dan janggut yang dibiarkan tumbuh panjang, pakaian atau aksesoris warna-warni, penggunaan riasan makeup, dan perawatan kulit adalah hal yang umumnya hanya dilakukan oleh perempuan.Â
Padahal hal-hal yang disebutkan tidak pernah menetapkan batasan-batasan atau mengkotak-kotakkan terhadap jenis gender pemakainya. Budaya K-Pop memiliki standarnya sendiri dalam hal maskulinitas, yang kemudian disebut dengan soft masculinity dimana maskulinitas hadir berdampingan dengan sisi cantik dan lembut secara bersamaan.
Sentimen dan pembatasan norma maskulinitas laki-laki ini tanpa disadari bisa menimbulkan pengaruh negatif yang nantinya akan berdampak pada kesehatan mental, seperti resiko depresi dan gangguan kecemasan karena terus-menerus mendapat tekanan psikologis. Selain itu, perilaku toxic masculinity ini bisa menimbulkan permasalahan dalam sebuah hubungan, karena dengan pemikiran dan pandangan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan, laki-laki pasti akan menunjukkan sikap kasar dan agresif untuk membuktikan bahwa mereka adalah pihak yang mendominasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H