Mohon tunggu...
Adi SuryaSamodra
Adi SuryaSamodra Mohon Tunggu... -

Tiji Tibeh

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Lingkungan dan Partisipasi: Sebuah Pergeseran dalam Konsep Ganda (1)

24 Mei 2017   12:44 Diperbarui: 25 Mei 2017   08:34 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/en/nature-progress-ecology-environment-1447037/

Kesadaran akan kondisi lingkungan di sekitar telah muncul sejara medio 1960-an akhir dan awal 1970-an. Kemunculan kesadaran tersebut terhubung dengan suatu kondisi yang dinamakan dengan "green discontent"  dan itu terjadi secara gradual. Terdapat dua aspek yang kemudian menjadi pemicu dari green discontent. Aspek-aspek tersebut antara lain : protes yang dipicu oleh ancaman terhadap lingkungan hidup akibat tindakan yang terencana, dan mempertanyakan cara pengambilan keputusan dari tindakan yang terencana tersebut. Tindakan-tindakan yang terencana ini berhubungan dengan praktik-praktik industrial dan kegiatan keseharian masyarakat yang pada dasarnya memproduksi bahan yang mampu menstimulus adanya polusi. Bila berbicara tentang polusi, khususnya polusi udara, indeks kualitas udara sehat di perkotaan menjadi hal yang tidak boleh dihindarkan. Mengacu pada indeks kualitas udara perkotaan yang dibuat oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta Barat menjadi kota yang tergolong memiliki indek kualitas udara yang tidak sehat (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). 

Pesan Politik Dibalik "The Green Discontent"

Green discontent menjadi salah satu bentuk kritik yang disuarakan oleh masyarakat luas dalam beberapa dekade terakhir. Kritik yang dimunculkan terhadap kondisi lingkungan yang dirasa tidak memuaskan tersebut berfokus pada sistem kapitalis dan peran serta negara di dalam menjaga keseimbangan. Sistem kapitalis melahirkan pihak-pihak industri yang memilih jalan untuk melakukan upaya politisasi agar tujuan perusahaan tercapai. Kondisi inilah yang kemudian mendapat kritik dari masyarakat, namun tidak hanya berhenti di situ saja. Masyarakat menuntut adanya suatu demokratisasi di dalam negara dan keterlibatan dari kelompok terpinggirkan dalam praktik kenegaraan yang mampu mempengaruhi kebijakan yang akan diputuskan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat berupaya untuk melakukan suatu perubahan terhadap struktur sosial yang ada. 

Periode 1970-an awal disebut sebagai periode "radikalisasi politik". Radikalisasi merupakan suatu gejala yang memperlihatkan suatu upaya pengurangan legitimasi dari institusi-institusi tradisional, seperti gereja, universitas, dan gerakan buruh (Leroy, 2002 : 164). Radikalisasi ini menjadi cara dari pihak-pihak yang tergabung dalam gerakan perlawanan yang berupaya untuk melawan legitimasi yang dimiliki oleh institusi tradisional. Gerakan tersebut menuntut adanya praksis demokrasi di dalam institusi tradisional yang nampak dengan adanya ruang partisipasi. Perubahan tersebut membuat institusi tradisional bertransformasi menjadi organisasi modern.

Beberapa pihak di dalam masyarakat menganggap bahwa terdapat suatu pembatasan terhadap partisipasi politik yang nampak dari hampir tidak adanya akses untuk proses pembuatan kebijakan dan realisasi dari kebijakan tersebut. Kondisi inilah yang kemudian disuarakan ulang agar masyarakat mampu berpatisipasi secara aktif dan langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Ini merupakan suatu upaya untuk memunculkan kesadaran bahwa masyarakat memiliki hak secara politik dan non-politik. Secara politik, masyarakat memiliki beberapa hak antara lain : hak memilih, hak petisi, hak untuk berpendapat, dan hak untuk berserikat. ini merupakan bentuk-bentuk  dari partisipasi politk yang familiar. Namun, terdapat partisipasi lain yang dimiliki oleh masyarakat yaitu partisiapsi dalam organisasi non-pemerintah. Contohnya adalah keterlibatan dalam serikat buruh, organisasi pekerja, dan organisasi budaya. Selain menyuarakan tentang hak secara politik dan non-politik, gerakan perlawanan juga mempertanyakan praktik demokrasi perwakilan yang berjalan dalam suatu negara. Demokrasi perwakilan yang digunakan di dalam suatu negara belum mampu merepresentasikan partisipasi secara langsung. Bentuk demokrasi tersebut seringkali berbenturan dengan kepentingan-kepentingan korporasi. Keputusan-keputusan penting dan genting dibuat dan "hanya" dikonsultasikan antar kelompok elit dalam korporasi tersebut saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun