Perubahan iklim menjadi salah satu iklim lingkungan yang tidak bisa dianggap remeh. Perubahan iklim adalah suatu keadaan yang menunjukkan adanya kenaikan temperatur secara global yang diakibatkan oleh produksi gas rumah kaca (McCright, 2000 : 499). Perubahan ini memberikan dampak kepada kondisi ekosistem dalam suatu wilayah. Salah satu dampak dari perubahan ini dapat dilihat di wilayah Arktik.
Wilayah arktik merupakan wilayah yang berdekatan dengan kutub utara bumi. Wilayah ini meliputi Rusia, Kanada, Alaska, Greenland, Islandia, Lapland, dan Norwegia. Perubahan iklim global memberikan imbas berupa mencairnya lapisan lautan es yang ada di wilayah Arktik. Pada tahun 2012, luas wilayah arktik yang mencair mencapai luas 1,5 juta mil persegi atau dapat dikatakan setara dengan 4 juta kilometer persegi (Ramadhani, 2012, 21 Agustus). Kondisi ini menyebabkan permukaan air laut mengalami kenaikan dan dapat berujung pada tenggelamnya pulau-pulau yang terkategori dataran rendah.
Tenggelamnya pulau-pulau terkategori dataran rendah dapat dilihat pada keadaan Kepulauan Salomon. Sebanyak lima pulau di kepulauan tersebut tenggelan akibat kenaikan permukaan air laut. Tenggelamnya kelima pulau ini diakibatkan oleh dua buah faktor. Simon Albert dari Universitas Queensland menjelaskan bahwa tenggelamnya lima pulau diakibat oleh pemanasan global dan angin pasat yang bertambah kuat yang mendorong air laut ke Pasifik Barat (Prastiko, 2016, 11 Mei). Lautan es Arktik yang mencair tidak hanya berdampak pada sebuah pulau saja, tetapi juga memberikan dampak kepada hewan yang hidup di wilayah Arktik.
Hewan-hewan yang hidup di wilayah Arktik menjadi terancam kehilangan habitatnya dan juga terancam punah. Salah satunya adalah Beruang Kutub. Wilayah Arktik memang menjadi pusat dari populasi Beruang  Kutub. Semenjak lapisan lautan es mulai mencair, Beruang Kutub mengalami kesulitan dalam untuk menjaga kelangsungan hidup mereka dan bahkan rentan mengalami kepunahan. Lapisan lautan es sejatinya bermanfaat bagi mereka. Manfaat yang dimaksud adalah seperti lapisan tersebut dapat digunakan mereka untuk tempat menunggu mangsa, menemukan pasangan dan berkembangan biak, serta melakukan sebuah perjalanan (Hanson, 2016, 19 September). Dengan semakin menipisnya wilayah lapisan lautan es membuat mereka melakukan suatu adaptasi untuk bertahan hidup.
Salah satu adaptasi yang dilakukan oleh Beruang Kutub terkait jenis mangsa. Mereka memiliki kebiasaan untuk memangsa anjing laut dikarenakan mencairnya lapisan lautan es yang berimbas pada semakin jauhnya mereka dari sumber makanan membuat mereka mencari mangsa alternatif. Salah satu mangsa alternatif yang kemudian dipilih oleh mereka adalah lumba-lumba. Adaptasi yang dilakukan oleh Beruang Kutub dengan menjadikan lumba-lumba sebagai mangsa dilihat di Svalbard, Norwegia Utara. Di tempat tersebut, mereka memakan lumba-lumba yang berhasil mereka buru hanya setengah bagian tubuh saja dan sisanya mereka timbun di bawah tumpukan salju (Hasan, 2016, 22 November). Hal ini dilakukan untuk persediaan makanan beberapa hari kemudian.
Adaptasi yang dilakukan oleh Beruang Kutub terhadap perubahan ekosistem menunjukkan bahwa mereka memiliki kerentanan untuk punah akibat penyusutan habitat alami mereka. Beberapa lembaga yang bergerak di lingkungan hidup mengeluarkan data-data terkait total populasi Beruang Kutub yang ada di Wilayah Arktik. Lembaga tersebut antara lain World Wide Fund for Nature(WWF) dan Polar Bear International. WWF mengeluarkan data yang memperkirakan bahwa ada sekitar 22.000-31.000 ekor populasi Beruang Kutub di Wilayah Arktik pada tahun 2015. Populasi Beruang Kutub kebanyakan berada di Wilayah Kanada dengan persentase sebesar 60-80 persen dari total populasi (WWF, 2017). Bila menilik data yang dikeluarkan oleh Polar Bear International, data tersebut memperkirakan ada sekitar kurang dari 25.000 ekor populasi Beruang Kutub (Hasan, 2016, 22 November).
Pencairan lautan es di Wilayah Arktik seolah membuka sebuah kesempatan bagi para konsorsium minyak untuk mengeksplorasi minyak dan gas yang ada di wilayah tersebut. Ekspansi-ekspansi yang terjadi dengan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi serta dalih meningkatnya permintaan global tidak bisa dihindari. Konsorsium minyak raksasa, seperti Rosneff (milik Pemerintah Rusia) dan Royal Dutch Shell juga ikut andil dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas di wilayah Arktik yang bernilai miliaran dolar (Eksplorasi, 2012, 1 Oktober). Ekspansi yang dilakukan ini bahkan disebut-sebut juga membahayakan ekosistem di wilayah Arktik apabila hasil eksplorasi sampai tumpah.
Oleh sebab itulah, pencairan lautan es yang terjadi di Wilayah Arktik dan diperparah dengan eksplorasi minyak besar-besaran di wilayah tersebut membuat salah satu lembaga sadar lingkungan hidup, Greenpeace bersikap. Lewat iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh Stine Hole Mankovsky, Greenpeace mengajak semua kalangan, termasuk para konsorsium minyak untuk lebih sadar terhadap dampak dari aktivitas mereka terhadap Wilayah Arktik. Tulisan ini akan membahas tentang sebuah mitos yang dimunculkan dalam iklan layanan masyarakat Greenpeace tersebut. Pembahasan akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotika model Roland Barthes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H