[caption id="attachment_134339" align="aligncenter" width="614" caption="Jadilah Bayi yang lucu, yang selalu di perebutkan"][/caption]
Serangan bertubi-tubipada saya membuat pembaca menelpon saya, dari berbagai daerah bahkan, saya bahagia jika kehadiran saya disini membuat banyak orang bahagia, saya berusaha memberikan yang terbaik. Saya hanya menulis sesuai dengan apa yang terlintas dalam benak saya, saya berusaha terbuka dan apa adanya, kata-kata hanya mengalir deras bak air hujan yang turun dari langit, dan saya hanya sekedar menuangkannya saja.
Diantara pembaca yang menelpon memberikan “makian” kepada mereka yang membuat ulah dengan mengirim spam di artikel saya yang berjudul “Jernihkan Pikiran, Berkomentarlah Setelah itu”, kemudian tulisan-tulisan yang sifatnya “menyerang” pribadi penulis, menurut pembaca yang menelpon ini mereka melakukan itu karena sedang tidak ad aide buat menulis. Sebagai penulis yang masih ecek-ecek menurut seorang Kompasianer saya berusaha mendengarkan curhat mereka, satu hal yang membuat saya bahagia, dengan apa yang terjadi membuat orang yang tidak kenal Kompasiana menjadi kenal, orang yang yang awalnya hanya ingin jadi pembaca kini menjadi memiliki account di Kompasiana. Betapa indahnya berfikir positif.
Ada diantara pembaca yang menelpon yang meminta saya membalas apa yang sahabat-sahabat kompasianer lakukan pada saya, saya katakana tetap tidak akan melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan pada saya, saya masih teringat pesan ibu ketika saya disakiti saat masih SD dan MTS, ibu saya memberikan nasehat “Mengalah Itu Tetap Lebih Baik, Tidak Mengurangi Kadar Derajat dan Harkatmu di Mata Allah, Tetaplah berbuat baik pada mereka yang menyakitimu anakku”, dan jika saya membuka lembaran tahun 2007, Ada seorang Guru Istimewa ketika SMA, seorang guru yang pertama kali yang mengajari saya untuk menulis di tingkat Nasional, Bapak Mahrawi Thabrani, BA, beliau juga yang mengajari saya seni teater di Sanggar Langkah Anak Manusia (LAM) dan sempat memanggungkan Drama Gerakan 30 S/PKI di hadapan Publik Ketapang, Kalimantan Barat, beliau juga yang mengajak saya bergabung di “Bengkel Sastra Ketapang” , Beliau pernah berpesan secara pribadi kepada saya begini “Adi, ketika ada orang lain memukul kita, maka pastilah kita akan bilang dia jahat, dia bejat, dia bangsat, tetapi kemudian kita balas memukulnya, pertanyaan bapak apa beda jahat,bejat dan bangsatnya kita seperti mereka. Untuk itu, biarkan Allah memberikan hukuman setimpal kepada orang-orang yang menyakiti kita, biarkan saja dan tetaplah berbuat baik” demikan pesan Pak Mahrawi Thabrani, BA.
Saya ingin mengingatkan Anda pada sebuah kisah Dua orang ibu memasuki toko pakaian dan membeli baju seragam anaknya. Ternyata pemilik tokonya lagi bad mood sehingga tidak melayani dengan baik, malah terkesan buruk, tidak sopan dengan muka cemberut.
Ibu pertama jelas jengkel menerima layanan yang buruk seperti itu. Yang mengherankan, ibu kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan kepada penjualnya.
Ibu pertama bertanya, “Mengapa Ibu bersikap demikian sopan pada penjual menyebalkan itu?”
Lantas dijawab, “Mengapa saya harus mengizinkan dia menentukan cara saya dalam bertindak? Kitalah sang penentu atas hidup kita, bukan orang lain.”
“Tapi ia melayani dengan buruk sekali,” bantah Ibu pertama.
“Itu masalah dia. Kalau dia mau bad mood, tidak sopan, melayani dengan buruk, dll, toh tidak ada kaitannya dengan kita. Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur dan menentukan hidup kita, padahal kitalah yang bertanggung jawab atas diri kita,” jelas Ibu kedua.
Tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau orang melakukan hal buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi dan sebaliknya. Kalau orang tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba jadinya sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang tersebut. Ini berarti tindakan kita dipengaruhi oleh tindakan orang lain. Sementara kita sendirilah yang bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan kita.
Kalau direnungkan, sebenarnya betapa tidak arifnya tindakan kita. Mengapa untuk berbuat baik saja, harus menunggu diperlakukan dengan baik oleh orang lain dulu?
Jagalah suasana hati, jangan biarkan sikap buruk orang lain menentukan cara kita bertindak! Kitalah, yang sesungguhnya, sang penentu.
Indahnya Berbagi.
Catatan :
Dalam rangka 1 Oktober 2011, Baca Juga Lima Presiden Indonesia Khianati Pancasila
Bandung, 1 Oktober 2011
Ahmad Muhammad Haddad Assyarkhan (Adi Supriadi)
Seorang Writer,Trainer,Public Speaker dan Entertainer. Punya Kakek Seorang Penulis, Ibu Seorang Penulis dan Istri Seorang Penulis. Pernah Menjadi Jurnalis Sekolah, Kampus, dan Radio. Tulisan baru terbit di Pontianakpost, Banjarmasinpost, Kayongpost, Sriwijayapost, Balipost, Acehpost dll. Cita-cita ingin tulisannya bisa dimuat di KOMPAS, REPUBLIKA & TIME dan menjadi Jurnalis AlJazeera atau CNN. Anda dapat menghubungi via 081809807764/085860616183 YM : assyarkhan/ FB : adikalbar@gmail.com / Twitter : @assyarkhan / GoogleTalk : adikalbar / Skype : adikalbar / PIN BB : 322235A9
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H