[caption id="attachment_150916" align="alignleft" width="300" caption="Bupati Bima Ferry Zulkarnaen (Sumber :Mobile.Seruu.com)"][/caption]
Bima, Kompasiana – Berdasarkan SK 188.45/357/004/2010 Pemerintah Kabupaten Bima memutuskan untuk mengexplorasi Pertambangan Emas Di Kecamatan Sape dan Kecamatan Lambu. Gara-gara SK tersebut Masyarakat Bima yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) memblokir pelabuhan Sape yang menghubungkan Provinsi NTB dan NTT sejak dari 4 hari yang lalu, saat ini sudah ada lebih dari 1000 masyarakat Bima yang berada di pelabuhan tersebut.
Ditangkapnya Adi Supriadi semakin membuat masyarakat tidak akan meninggalkan pelabuhan Sape sebelum SK explorasi dicabut dan dibebaskannya Adi Supriadi, masyarakat Bimapun semakin berang ketika Pemerintah bukan membuka jalan dialog melainkan mengirim Brimob ke lokasi unjuk rasa.
Sepertinya Pemerintah Kota Bima tidak akan memenuhi tuntutan masyarakat, mega proyek penambangan emas ini akan berlanjut, hal ini terlihat dari apa yang disampaikan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen pada media.
“Kita paham tuntutan masyarakat tentang pencabutan SK Bupati Nomor 188. Tetapi setelah kita pelajari UU Pertambangan, tidak diatur tentang pencabutan izin, yang ada hanya penghentian sementara,’’ kata Bupati Bima, usai pertemuan itu.
Bupati Bima berkilah dalam UU Pertambangan tidak mengenal istilah pencabutan yang ada istilahnya menghentikan untuk sementara. Disisi lain Bupati tidak memenuhi tuntutan masyarakat Bima, Massa yang berunjuk rasapun tidak akan berhenti sebelum Bupati Bima memenuhi tuntutan mereka.
Tuntutan mereka selain pembebasan Adi Supriadi, salah satu rekan mereka. Massa juga menuntut pencabutan SK mega proyek pertambangan emas di pelabuhan tersebut. Masyarakat menilai keberadaan tambang emas tersebut mengancam pekerjaan mereka sebagai petani lantaran areal tambang berada pada sumber mata air.
Protes dan penolakan tambang ini sudah dilakukan setahun terakhir, namun belum mendapat tanggapan dari bupati, untuk menghentikan massa Bupati Kota Bima melalui kepolisian mengirim pasukang Brimob dan menangkap aktivis pada unjuk rasa tersebut.
Catatan Penulis :
Cara Bupati Bima ini merupakan cara orde baru, bahasa yang digunakannya pun sama, rakyat akan menjadi obyek tertindas terus menerus, tetapi mungkin beginilah Indonesia adanya ketika kekuasaan bisa mengutak-atik hukum. Lihat saja bagaimana "otak atik atuk" bahasa bupati, saya teringat ketika ada penjual bakso di bandung mengadu ke JPMI Jawa Barat ketika ada pertemuan JPMI, saat tukang bakso berjualan ada Satpol PP dan petugas dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan datang ke tempat dimana dia berjualan di tepi jalan dekat Tegallega , pejabat ini meminta retribusi dari penjualan baksonya, setelah ditanya apa dasar hukumnya, Pejabat Dinas tersebut mengatakan bahwa “Baskom yang berisikan Air tempat mencuci mangkok bakso merupakan limbah”, Retribusi itu untuk biaya penanganan limbah tersebut oleh Pemerintah.
Indonesiaku kapankah terus begini?