Mohon tunggu...
Adi Supriadi
Adi Supriadi Mohon Tunggu... Lainnya - Berarti Dengan Berbagi, Sekali Berarti Sesudah Itu Mati. Success by helping other people

Activist, Journalist, Professional Life Coach, Personal and Business Coach, Author, Counselor, Dai Motivator, Hypnotherapist, Neo NLP Trainer, Human Capital Consultant & Practitioner, Lecturer and Researcher of Islamic Economics

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golput Adalah Korban dalam Pilkada DKI

16 Juli 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:55 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_194319" align="aligncenter" width="640" caption="Golput Memang Bukan Pilihan, Orang Golput Adalah Korban (merdeka.com)"][/caption]

Follow Me : @assyarkhan

Pemilihan umum kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang diikuti enam pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur telah usai dilangsungkan pada 11 Juli 2012 dan kini Jakarta menantikan Putaran kedua yang akan berlangsung pada 20 September 2012 mendatang.

Usai sudah babak Semi Final dan kini menantikan babak Final, baru beberapa hari Pilkada Usai dua Kubupun berseteru soal Politik Uang, Kubu Foke-Nara Menuding Jokowi-Ahok Melakukan Politik Uang dan Sebaliknyapun begitu Jokowi-Ahok Menuding balik Foke-Nara lah pelaku Politik Uang, sebagaimana komentar Jokowi “Jangan Di Balik-Balik lah” kepada Kompas beberapa hari yang lalu. Baca Artikel Selengkapnya di “Ketika Dua Kubu Berseteru Soal Politik Uang

Terlepas dari itu semua,Ada satu hal yang mengejutkan yaitu tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya alias tidak mencoblos alias golput (golongan putih). Terbilang mengejutkan karena setiap warga DKI Jakarta tentu tidak memiliki kesulitan dalam ­mengakses semua informasi terkait dengan pelaksanaan pilgub karena sarana dan prasarana pendukung tersedia cukup memadai.

Berbeda dengan wilayah lain terutama di luar Jawa di mana akses informasi menjadi hambatan sehingga sering kali proses sosialisasi pelaksanaan pilgub tidak berjalan sebagai mestinya akibat jarak antardesa yang cukup jauh, di samping sarana-prasarana pendukung yang minim. Oleh karena itu, tingginya angka golput dalam pelaksanaan Pilgub Jakarta hendaknya menjadi perhatian kita semua, khususnya Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta.

Menurut hasil hitung cepat sebuah lembaga survei, persentase calon pemilih yang tidak menggunakan hak suara atau golput diperkirakan mencapai 37,05%. Dengan merujuk daftar pemilih tetap (DPT) Pilgub DKI Jakarta yang dikeluarkan resmi oleh KPU DKI Jakarta sebanyak 6.962.348 orang, maka berarti terdapat sekitar 2,6 juta orang yang tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menggunakan hak pilihnya.

Jumlah golput tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan Pilgub 2007 yang tercatat sebanyak 34,24%. Angka golput yang mencapai lebih dari sepertiga jumlah pemilih merupakan hal yang sangat memprihatinkan di alam demokrasi. Yang lebih menyedihkan lagi, ternyata jumlah warga yang memilih untuk tidak mencoblos semakin bertambah banyak.

Buat Saya, Kelompok yang Golput ini adalah Korban? Ya mereka korban dari Perpolitikan Negeri ini, jika dibandingkan dengan Pilkada tahun 2007 Maka Pilkada Jakarta 2012 yang menjadi korban terbesar adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di Jakarta Simpatisan PKS menjadi korban “opini” dan “Perang Pemikiran” berbagai kalangan. Sebagai fakta pembanding, Ketika Di Jakarta PKS kalah tetapi di 4 Pilkada di daerah PKS  justru memenanginya. Sebuah kondisi yang perlu di kaji  oleh Kader PKS tentunya. Mengapa Jakarta kalah tetapi di daerah dimenangi semuanya. Saya melihat satu Saja, Liberal Sekular telah menggerogoti kondisi Ummat Islam Jakarta.

Tetapi, Sebelum Saya uraikan tentang kondisi diatas, Saya akan menganalisa tentang keputusan Akhir  Pemilih untuk memilih Golput yang mencapai 34 % Suara di Pilkada Jakarta.

Mengapa Alex Noerdin tidak terpilih? Saya melihat, Kandidat yang paling “hambur” atau Royal terkait Belanja Iklan PIlkada adalah Alex Noerdin, ada kemungkinan pencarian di google.com sengaja membayar pihak google.com untuk menempatkannya di peringkat pertama, kemana pindahnya suara Alex-Noerdin yang awalnya bisa saja mengandalkan Massa Golkar? Saya perkirakan pindah ke setengahnya ke Foke-Nara dan setengahnya lagi ke Jokowi-Ahok, Masyarakat Betawi tidak akan melihat apapun partainya tetapi “Betawi”nya, dan ini akan menjadi ujian berat buat Jokowi-Ahok pada putaran ke-2. Foke dan Nara yang memiliki basis kuat dan memegang banyak organisasi Betawi dimungkinkan akan mendapatkan “muntahan” suara dari Alex-Nono. Kan, Ada Massa lain dari PPP, Kemana Massa PPP? Perkiraan Saya Bagi PPP Fundamental (PPP Aslinya) pada Pilkada 11 Juli 2012 kemarin lebih memilih Hidayat-Didik ketimbang Alex Nono dengan pertimbangan Hidayat-Didik Lebih Religius. Alex-Nono terlalu percaya kepada Partai Koalisi lainnya sepertiPartai Damai Sejahtera (PDS), Partai Patriot (PP), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI) yang bisa Saya pastikan sesungguhnya lebih memilih Kandidat yang diusung oleh Partai PDI-P dan Gerindra (Jokowi-Ahok), Secara emosional PDS, PKDI dan PKPB lebih dekat Ke Ahok (Basuki Tjahaja).

Kemudian, Lalu mengapa Foke-Nara hanya menjadi nomor 2 pada hasil Pilkada DKI Jakarta kemarin? Foke-Nara pun menjadi “korban”, Korban yang Saya maksudkan adalah pemilih yang harusnya memilih Foke-Nara memilih untuk Golput hanya karena “FOKE-NARA” seorang Kader Demokrat yang dirundung masalah, massa pemilih Foke-Nara diperkirakan memilih untuk Golput terbesar karena sulit rasanya memilih Jokowi-Ahok yang bukan berasal dari Betawi. Saiful Mujani (LSI) menyatakan di Global TV, Masyarakat Indonesia masih kuat Primordialisme, jika ada yang menyatakan tidak primordial maka itu pembohong. Dalam hal ini Saya sepakat dengan Saiful Mujani. Namun, Di Putaran Kedua ada kemungkinan Suara Foke-Nara yang sebelumnya memilih Golput akan memilih pada Putaran kedua nanti demi memenangkan "Anak Betawi", Sejarahnya Betawi dan Sunda selalu "Anti Jawa". Hal ini sudah di abadikan banyak Film Layar Lebar. Misalnya, Ada 2 persahabatan Betawi dan Jawa. Suatu ketika Sang Jawa berkata "Kalau Di Solo Kondisi ini....bla....bla...bla" , Maka disahut oleh orang Betawi "Hey Lo, Ini Bukan Solo, Ini Jakarte, Sekali lagi elu ngomong Kalau Di Solo, Gue Sikat Elu" (Sebuah Dialog yang Saya cuplik dalam Sebuah Film). Bisa jadi, Foke-Nara akan membangkitkan sentimen emosional ini dengan meminta tim suksesnya memutar film-film tersebut  ke seluruh masyarakat Jakarta.

Lalu, Mengapa Faisal Basri dan Hendardji hanya sebagai “Pengembira”, Saya fikir semua sepakat bahwa Faisal Basri hanya mengandalkan Massa Anti Partai Politik, Dalam setiap kampanyenya Faisal Basri selalu mendeskreditkan Partai Politik, Perkiraan Saya pendukung Faisal Basriakan memilih Golput pada putaran kedua ketimbang memilih salah satu kandidat, tetapi ada juga kemungkinan besar menjatuhkan pilihannya ke pasangan Foke-Nara dengan opini “Melanjutkan apa yang sudah dibangun Foke-Nara periode sebelumnya”.

Saya melihat, Faisal-Basri merupakan “Aktor” pembuat Golput terbesar, karena ada massa yang bingung, mau memilih Independen ada kemungkinan kalah sedangkan memilih Kandidat dari Parpol semuanya pada negatif. Pada Akhirnya Golput menjadi pilihan. Saya fikir untuk kedepannya, Jikapun Ada Independen ikut bertarung dalam Pilkada diharapkan untuk tidak mendeskreditkan Partai Politik yang nota bene belum bisa dilepaskan dari Republik ini. Inilah Indonesia, Parpol masih tetap akan ada.

Hendardji termasuk berjasa untuk mengurangi massa pemilih Foke-Nara dengan Kampanye “Jakarta Anti Berkumis” nya, perkiraan Saya suara pemilih Hendardji pada putaran kedua akan banyak ke Jokowi-Ahok karena tidak banyak orang mengenal Ahmad Riza Patria di Betawi yang kemungkinan memilih Foke-Nara. Tetapi, selebihnya akan Golput karena bingung.

Lalu, Bagaimana dengan Hidayat-Didik? Sebenarnya tidaklah heran jika Hidayat-Didik ada di urutan ke-3 pada Pilkada DKI Jakarta 2012 kali ini, Pada pencarian di Google yang Saya lakukan (Pembaca boleh tidak mau dengan cara ini), Hidayat-Didik terus mengalami penurunan dari hari ke hari sampai hari H pencoblosan dan uniknya Jokowi-Ahok mengalami kenaikan dari hari ke hari menjelang hari H, Lihat tulisan Saya di : Pilkada DKI, Inilah yang melenggang Ke Putaran kedua

12 % ini adalah Suara Solid PKS terkini DKI Jakarta, Suara mengambang yang berstatus Simpatisan (bukan kader) kemungkinan mengalihkan suaranya ke Jokowi terutama yang berasal dari Jawa bahkan sisa terbesarnya adalah Golput.

Mengapa Pemilih Mengambang yang seharusnya memilih Hidayat-Didik kemudian memilih GOLPUT? Perkiraan Saya, ini bentuk keberhasilan Kampanye “Islam Yes, Partai No” atau kampanye kaum Liberal Sekular di Media, Kampanye bahwa semua kandidat sama saja, kampanye kandidat bertopeng pada religius Saya sebutkan cukup berhasil membuat Golput, karena massa mengambang yang taat tetapi bukan kader PKS tidak akan memilih Jokowi-Ahok karena Faktor Ahoknya.

Belum lagi, serangan dari dalam tubuh Ummat Islam sendiri, baik dari kalangan Islam Liberal maupun Islam Salafi yang Anti Demokrasi, Seperti Hizbuttahrir yang Anti Demokrasi demikian juga Salafi dipastikan menggembosi massa mengambang Pemilih Hidayat-Didik, tidak heran jika muntahan Golput mencapai 34 %, karena tumpahan dari massa mengambang Hidayat-Didik, Foke-Nara, dan Massa bingung hasil kampanye Faisal Basri-Biem yang “Anti Parpol”.

Dan Akhirnya Jokowi-Ahok lah yang menerima keuntungan dari semua ini, Kampanye “Anti Kumis” nya Hendardji, Kampanye “Anti Parpolnya” Faisal Basri, Kampanye Liberal Sekular dari Kelompok Liberal Sekular dipastikan merupakan Keuntungan untuk “Jokowi-Ahok”, Sedangkan Dukungan lain secara “tersembunyi” dipastikan diberikan oleh Massa Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Partai Kesatuan Demokrasi Indonesia (PKDI) yang dulu bernama Partai Kristen Demokrasi Indonesia, Saya pastikan memberikan dukungan kepada Jokowi-Ahok daripada Alex Nono walaupun secara partai berkoalisi dengan Alex Nono. Apalagi Ahok yang notabene adalah WNI Keturunan (Baca : Chinese), dimana-mana Chinese selalu kompak mendukung "orang"nya untuk berkuasa, Jika Anda melihat ada Tionghoa mendirikan Restoran atau Sebuah Toko, Maka jangan heran dalam sebulan pertama akan banyak Tionghoa lainnya datang berkunjung untuk membuat "ramai" sekalian memberikan dukungan terhadap beridirnya restoran atau toko tersebut, datang beramai-ramai ke "usaha baru" sesama Tionghoa ini berfungis marketing agar toko yang baru dibuka terlihat ramai pengunjung sekaligus memberikan bantuan modal dengan membeli produk yang tersedia, ini sudah berlaku umum dikalangan Tionghoa. Dengan majunya Ahok sebagai perwakilan Tionghoa Saya pastikan didukung penuh WNI Keturunan lainny baik berupa dana maupun sokongan lainnya, termasuk suara dengan satu kepentingan karena "saudara" dan kepentingan lainya adalah "lancarnya Usaha dagang" jika ada perwakilan di Penguasa.

Saya memastikan Jokowi-Ahok sangat didukung Kaum Liberal Sekular di Indonesia dan basis Partainya, belum lagi tumpahan suara “Jawa” yang merupakan komunitas terbesar di Jakarta saat ini ketimbang Betawi dan Sunda.

Primordialisme Jawa, Betawi, Sunda, Agama terhapuskan  dengan satu kondisi “Pemikiran Liberal Sekular” sudah begitu menyebar di Masyarakat Jakarta, makanya tidak heran jika Kaum Liberal Sekular akan bertanya begini “ Anda Lebih Memilih Mana, Muslim yang Koruptor atau Non Muslim yang tidak korupsi”, Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab oleh orang yang lemah Iman, pertanyaan inipun untuk melemahkan “Iman” dari orang-orang yang berfikir tanggung. Tetapi, kondisi ini tidak terjadi bagi yang berpegang pada Firman Allah dalam Al-Qur’an “Janganlah Engkau Angkat Orang-Orang Kafir Sebagai Pemimpinmu”. Kondisi inilah yang pada akhirnya GOLPUT akan tetap besar pada Putaran Kedua di PILKADA DKI Jakarta nanti.

Kemudian, bagaimana cara Kelompok Liberal Sekular untuk memenangkan Jokowi-Ahok? Gampang Kok. Caranya, Anda cukup kampanyekan “ Lebih Baik Memilih Orang Luar Betawi yang tidak korup ketimbang memilih betawi yang korup”, “Lebih Baik Non Musllim yang bersih ketimbang Muslim yang kotor”, Jika Anda kampanyekan ini terus menerus, Jokowi-Ahok akan memenangkan Pilkada DKI Jakarta mendatang. Namun, kampanye dengan cara ini akan kena ke massa yang STMJ (Sholat Terus Maksiat Jalan) atau Massa yang menyatakan Agama hanya urusan personal, Tetapi untuk yang kuat pada pegangan kitab sucinya "Jangan Engkau Angkat Orang-Orang Kafir Menjadi Pemimpinmu" maka kampanye Liberal Sekular tidak berpengaruh, jika tidak ada pilihan ada kemungkinan Golput dan jikapun memilih dipilihnya yang mudharatnya lebih kecil (ini realitas)

Kemudian, Bagaimana cara Foke-Nara bisa memenangkan Pilkada DKI Jakarta? Saya menyarakankan Tim Sukses untuk mengkampanyekan “Izinkan Foke meneruskan Program yang sudah dijalankan” “Memilih yang mengerti Jakarta adalah pilihan terbaik” dan istilah-istilah yang menguatkan kandidat.

Selamat bertempur di Putaran Final nanti.

Catatan :

Saya Menulis, Anda membaca dan Anda boleh tidak setuju dengan Apa yang Saya Tulis, maka Komentari Isi dari Tulisan ini, Komentar yang OOT dengan rendah hati Saya sampaikan akan Saya Hapus.

Bandung, 16 Juli 2012

Adi Supriadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun