Semakin hari, kasus kekerasan seksual di Indonesia kian makin marak terjadi. Menurut data Sistem Informasi dan Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), hingga Agustus 2024, tercatat  sebanyak 8.427 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. 6.310 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual secara fisik, dan sebanyak 5.396 kasus merupakan kekerasan melalui psikis. Perlu diingat, bahwa angka fantastis tersebut baru merupakan total kasus yang dilaporkan, masih banyak kasus kekerasan di luar sana yang enggan dilaporkan oleh korban atau bahkan keluarga korban, bisa jadi karena takut akan adanya ancaman atau ketidakpercayaan korban terhadap hukum yang ada di Indonesia. Meski Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), namun pada kenyataan praktik lapangannya masih belum maksimal.
Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, tidak bergantung pada jenis kelamin dan rentang usia, serta dapat terjadi di mana saja. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa terjadi di dalam institusi pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi. Mengutip dari Kompas.com, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat adanya kenaikan jumlah kasus kekerasan di sekolah sejak Juli hingga September 2024. Per September 2024, FSGI mencatat ada lonjakan 12 kasus kekerasan di sekolah, yakni kekerasan seksual sebanyak 6 kasus, 5 kasus kekerasan fisik, dan satu kasus kekerasan psikis. Tidak menutup kemungkinan pula, pelaku kekerasan seksual tersebut merupakan guru, seorang tenaga pendidik yang seharusnya menjadi pelindung dan teladan moral dan etika bagi peserta didiknya, namun, sungguh ironis, justru malah melakukan tindakan yang menjijikkan seperti kekerasan seksual. Seorang pendidik seharusnya mengajarkan nilai-nilai baik, tapi ketika mereka sendiri melanggar etika dan akhlak, itu menunjukkan ada krisis moral yang serius. Akhlak dan integritas yang seharusnya dipegang kuat oleh pendidik justru hilang. Tindakan seperti ini bukan hanya merugikan korban, tapi juga merusak citra lembaga pendidikan dan menghancurkan kepercayaan masyarakat.Â
Salah satu contoh tragis adalah kasus kekerasan seksual yang pernah ramai diperbincangkan publik pada akhir tahun 2021 lalu, di sebuah institusi pendidikan, tepatnya di sebuah pondok pesantren di Bandung, di mana seorang guru melakukan tindakan kekerasan seksual berupa pelecehan dan pemerkosaan terhadap 13 santriwati. Kasus ini tentu saja sangat mengejutkan publik karena pelakunya adalah seorang guru, yang seharusnya menjadi figur teladan dan pengajar moral, justru malah melakukan kejahatan yang sangat merusak. Aksi bejatnya ini bahkan sudah berlangsung sejak 2016. Korban-korban dari pemerkosaan ini tentu mengalami dampak yang sangat berat. Secara fisik, mereka dipaksa menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan di usia muda, yang tentunya berdampak serius pada kesehatan mereka. Secara mental juga, mereka harus menanggung trauma mendalam, rasa takut, dan depresi yang mungkin bertahan seumur hidup. Dan dari sisi emosional, kepercayaan mereka pada orang dewasa, terutama sosok yang mereka anggap sebagai pendidik dan pembimbing, mungkin saja hancur total.Â
Tindakan pelaku menunjukkan bahwa akhlak dan moral yang seharusnya dimiliki seorang pendidik sudah hilang. Seorang guru seharusnya membimbing dan menjadi panutan moral bagi muridnya, bukan malah menggunakan kekuasaannya untuk melakukan hal bejat dan keji. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, tepatnya dalam Q.S. Al-Isra ayat 32, "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk." Ayat ini menjadi teguran tegas bagi siapa pun, termasuk pendidik, bahwa tindakan kekerasan seksual adalah pelanggaran serius terhadap norma moral dan etika. Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda dalam HR. Bukhari dan Muslim, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." Hadits ini mengingatkan pendidik akan tanggung jawab besar mereka terhadap murid-muridnya. Â Ketika seorang pendidik melakukan kekerasan seksual, hal ini menunjukkan bahwa standar etika yang seharusnya mereka pegang sudah tidak ada lagi. Tindakan tersebut mencerminkan hilangnya nilai-nilai moral dan integritas yang sangat penting bagi seorang pendidik. Etika yang menuntut pendidik untuk menjaga integritas, menghormati martabat setiap individu, dan melindungi siswa dari segala bentuk bahaya, lenyap akibat tindakan tak bermoral ini. Mereka yang seharusnya menjadi contoh bagi siswa, malah menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan apa yang mereka ajarkan. Ini menjadi sebuah bukti nyata bahwa nilai-nilai etika profesi pendidik sudah runtuh akibat tindakan tersebut.Â
Tindakan ironis tersebut tidak hanya merusak kehidupan korban, tetapi juga mengikis nilai-nilai etika, moral dan akhlak dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan institusi pendidikan untuk bersama-sama memperkuat pendidikan moral dan etika, serta meningkatkan pengawasan terhadap segala aktivitas di sekolah. Kita juga harus menuntut tindakan tegas para aparat penegak hukum terhadap pelaku kekerasan seksual agar kasus seperti ini tidak terulang. Dengan langkah-langkah ini, kita bisa mengembalikan kepercayaan kepada pendidik dan memastikan bahwa lingkungan pendidikan menjadi tempat yang aman dan mendidik bagi semua siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H