Dalam satu bulan terakhir telah muncul beberapa kebijakan distribusi BBM subsidi yang dikeluarkan oleh Pertamina :
1.Mulai 6 Agustus 2014, BBM subsidi / premium tidak dijual di SPBU di sepanjang jalan tol / rest area se Indonesia
2.Pembatasan waktu penjualan Solar bersubsidi, hanya dilayani mulai pukul 08.00 – 18.00 berlaku mulai tanggal 04 Agustus 2014.
3.Pembatasan pengiriman kuota BBM ke SPBU, dengan maksud agar jatah BBM subsidi 48 juta kilo liter bisa cukup s/d 31 des 2014.
Mari kita lihat satu persatu ketiga kebijakan tersebut, apakah memang program ini efektif dan tercapai tujuan yang di inginkan oleh pembuat kebijakan.
Pelarangan SPBU di Rest Area Tol untuk menjual Premium, BBM bersubsidi.
Diberlakukannya kebijakan ini mulai tanggal 6 agustus 2014, jelas kurang efektif, baik bagi tujuan pemerintah untuk mengurangi penggunaan BBM bersubsidi, apalagi dilihat dari kacamata pengguna BBM bersubsidi ( mayoritas adalah pengguna mobil pribadi/perusahaan )
Tujuan dari pembatasan ini adalah agar konsumen BBM premium yang melintasi jalan tol bisa beralih menggunakan BBM jenis pertamx / pertamax plus. Karena sewajarnya mereka mampu, dan tidak seharusnya disubsidi.
Tetapi apakah yang terjadi…?Maukah pengguna kendaraan pribadi / perusahaan tersebut beralih ke BBM Non Subsidi? Jawabannya adalah TIDAK. Kalau masih bisa beli BBM subsidi kenapa harus beli Pertamax atau pertamax Plus? Mereka mengakalinya dengan memenuhi tangki kendaraan mereka dengan BBM subsidi sebelum masuk ke jalan tol. Imbasnya apa? Terjadi in efisiensi dan antrean panjang di SPBU2 di daerah seputaran pintu Tol.
Kenapa inefisiensi? Konsumen rela memutar jalan di luar jalurnya menuju ke TOL hanya untuk membeli BBM subsidi, otomatis ini akan banyak menghamburkan waktu dan tenaga, yang berujung pada menurunnya produktifitas. Fenomena berikutnya yang terjadi adalah konsumen BBM subsidi ini, dari kebiasaan mengisi bensin dengan nominal fixed, misalnya 100 ribu, 150 ribu atau 200 ribu, saat ini jika ditanya, “isi berapa liter pak?’ mereka akan jawab “FULL
Ini adalah pemborosan waktu berikutnya, karena waktu pengisian FULL ini memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan pengisian yang tidak sampai full. Dimana hal ini disebabkan petugas SPBU harus menahan / melapas Nozzle agar Tangki bisa terisi penuh. Imbasnya Apa? Antrin mengular di jam-jam berangkat dan pulang kerja, karena pengisian 1 mobil bisa 2 kali lebih lama dari biasanya.
Orang Indonesia kebanyakan kalau dikasih pilihan, prioritas pertimbangannya adalah dari segi duit, mana yang lebih menguntungkan. BBM subsidi di jalan tol dihapus? Ga masalah, masih bisa kok beli di luar Jalan Tol.
Efek yang lain adalah, terjadinya pengurangan tenaga kerja / PHK di beberapa SPBU rest Area, disebabkan SPBU masih bisa beroperasi hanya dengan 20 persen man power yang ada, kalau hanya melayani penjualan solar dan BBM non subsidi.
Sekarang coba buka-bukaan data deh PERTAMINA, memang sih pengiriman BBM bersubsidi ke SPBU rest area menjadi nol liter sejak 6 agustus, yang artinya katanya menghemat penggunaan subsidi BBM. Tapi apakah memang begitu kenyataannya? Berapa banyak terjadi kenaikan pengiriman BBM subsidi ke SPBU di area seputaran exit / entrance tol? Berapa pengiriman BBM subsidi per hari ke SPBU di Indonesia? Mengalami penurunan atau tidak? Dan coba juga dihitung, berapa persen pengguna mobil pribadi / perusahaan yang beralih ke Pertamax atau pertamax plus. Sangat kecil sekali tentunya..
Jadi kesimpulannya, pelarangan penjualan premium di jalan tol adalah kebijakan ceroboh yang menurut penulis tanpa kajian yang matang dampak dan manfaatnya. Hal ini mencerminkan sistem pengambilan keputusan dalam penyaluran distribusi BBM sangat lemah.
Pembatasan waktu penjualan Solar bersubsidi
Kebijakan kedua yang diambil pemerintah CQ pertamina ini, malah lebih ngawur lagi. Idedari dikeluarkannya aturan ini adalah untuk mengurangi penyalahgunaan pembelian solar bersubsidi yang menurut data mereka banyak dilakukan di malam hari, dimana banyak terjadi penimbunan BBM yang dibeli di SPBU disalah gunakan untuk dijual kembali ke industry.
Kita harus bertanya pada Pertamina yang tentu nya puny data, di daerah mana yang banyak terjadi penyalah gunaan BBM solar bersubsidi ini? Dan mekanisme kebocorannya bagaimana? Semua orang sudah tau jawabannya yaitu di daerah industri Tambang, dan kota-kota yang banyak kawasan industrinya. Mekanisme distribusi untuk mengurangi kebocoran bagaimana, seharusnya hal ini yang perlu dicariakn solusi dari mereka. Solusinya mereka apa? Melarang penjualan BBM subsidi di seluruh SPBU pulau jawa, sumatera, Kalimantan, dan bali di malam hari. Hal ini seperti terkesan memburu seekor tikus dengan membakar lumbung? Efektifkah? TIDAK
Malah masyarakat yang dibuat kesulitan, para sopir truk dan bus antar kota yang biasa jalan malam, para pengusaha angkutan darat, para nelayan, dll Bahwa hal ini bisa memicu inlasi, Iya. Disebabkan oleh kenaikan komponen biaya transportasi. Penyalahgunaan solar bersubsidi menjadi turun? TIDAK.
Saya mulai membayangkan suasana rapat pada saat keputusan ini dibuat, bahwa perusahaan, dalam hal ini pertamina, dan BPH Migas, yang mengelola ratusan triliun dana Negara, kualitas rapatnya, hanya mengeluarkan keputusan yang sifatnya tidak strategis, dan cenderung berpikir pragmatis dan serampangan. Hal ini apabila diteruskan akan menjadikan Negara dalam keadaan bahaya, apabila keputusan yang diambil pejabat selevel diatas eselon 1 kualitasnya seperti ini.
Pembatasan pengiriman kuota BBM ke SPBU
Mulai tanggal 22 Agustus 2014 ini kita mulai membaca kelangkaan BBM subsidi di daerah Ciayumajakuning, yaitu daerah Cirebon, Indramayu, majalengka, dan kuningan. Terjadi antrean panjang bahkan sampai 2km untuk pembelian BBM bersubsidi. Beberapa hari kemudiaan, kelangkaan ini merambat ke beberapa kota besar lainnya seperti Surabaya, malang, Denpasar, dan dilaporkan juga banyak terjdi antrean di sekitar wilayah Jabotabek.
Usut punya usut, ternyata Pemerintah, CQ pertamina mengurangi jataj pengiriman ke semua SPBU di semua wilayah sekitar 20 % dari kebutuhan rata-rata SPBU tersebut. Ide pengambil keputusan inikatanya agar jatah BBM bersubsidi bisa mencukupi sampai akhir tahun fiscal 2014. Ckckckckck pinter ya yang mengambil keputusan ini. Sampai2 Bu Karen Agustiawan mengundurkan diri, karena para stafnya dan team BPH migas yang sangat pinter2 ini.
Apa yang terjadi, antrian berujung keresahan dan kecemasan. Banyak konsumen yang malah berujar, “ kalau begini mending harganya dinaikkan saja” daripada kita dibuat capek begini.
Seorang pejabat pertamina akhirnya pada 26 agustus malam, memberikan siaran pers, bahwa per malam ini, penyaluran BBM subsidi ke SPBU akan dinormalkan kembali. Hal ini katanya setelah rapat dengan wakil presiden…
Whaat? Salah lagi ya pak kebijakannya? Alasan klasik sih katanya pertamina tidak mau merugikan Negara karena subsidi BBM nya jebol. Takut merugikan Negara, atau takut tagihannya ke pemerintah tidak dibayar nih pak?
Penulis bukan pro kenaikan BBM atau kampanye untuk Jokowi agar rakyat setuju BBM nantinya setelah beliau dilantik, setuju dinaikkan BBM subsidinya.Yang mana kenaikan BBM adalah beda diskursus, dimensi dan kajiannya, banyak aspek poleksosbud yang harus dikaji mendalam.
Yang kami soroti adalah system pengambilan keputusan di biro / lembaga / instansi / perusahaan Negara yang kami kaji tidak mempunyai strategi dan tujuan jangka panjang yang jelas. Mau dibawa kemana NKRI ini apabila segala keputusan yang terjadihanya merespon keadaan yang terjadi kemarin sore, tanpa punya agenda strategis, taktis, dan tujuan jangka panjang yang akan dicapai…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H