Mohon tunggu...
Adi Setiawan
Adi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Ilmiah

Menyalurkan Karya Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU TNI: antara Urgensi dan Risiko Inkonstitusionalitas

6 Oktober 2024   03:58 Diperbarui: 6 Oktober 2024   04:01 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(AM. Mustain Nasoha berikan analisis tentang RUU TNI; dokumen penulis)

Surakarta, 5 Oktober 2024; Polemik penghentian pembahasan RUU TNI kembali mengemuka bertepatan dengan HUT TNI pada 5 Oktober 2024. Sebagai akademisi hukum, saya berpendapat bahwa diperlukan analisis ilmiah mendalam yang mempertimbangkan aspek hukum, supremasi sipil, serta data dan aturan yang relevan. Kajian ini harus dilakukan dengan memperhatikan standar demokrasi internasional dan mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan, guna menjaga keseimbangan antara otoritas sipil dan militer. Rekomendasi berbasis bukti sangat penting untuk memastikan legislasi ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.Menurut Pasal 22A UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pembentukan atau revisi undang-undang harus berdasarkan kebutuhan hukum yang nyata dan mendesak. Dalam kasus RUU TNI, masih diperdebatkan apakah ada masalah hukum yang signifikan dan belum terselesaikan yang mengharuskan revisi terhadap aturan TNI yang ada, seperti UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Data empiris terkait pelaksanaan peran TNI dalam sektor pertahanan menunjukkan tidak adanya urgensi yang mendesak untuk perubahan, mengingat ketentuan yang ada sudah mengatur tugas pokok dan fungsi TNI dengan cukup baik.

Sistem hukum Indonesia menganut prinsip supremasi sipil atas militer, yang diatur dalam Pasal 30 UUD 1945. Perubahan yang memberikan kewenangan lebih kepada militer dalam urusan non-militer dapat menimbulkan risiko inkonstitusionalitas. Selain itu, data dari berbagai kasus negara yang mengalami dominasi militer atas sipil menunjukkan kemunduran demokrasi dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, rekomendasi hukum adalah meninjau secara hati-hati setiap usulan yang memperlebar peran TNI di luar bidang pertahanan, karena hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi dan tata negara modern.
Proses legislasi di Indonesia harus partisipatif sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011. Berdasarkan laporan dari masyarakat sipil dan akademisi, pembahasan RUU TNI dinilai kurang melibatkan stakeholder secara memadai, seperti akademisi, LSM, dan ahli hukum tata negara. Pembentukan undang-undang yang transparan dan inklusif menjadi syarat mutlak dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dalam konteks ini, rekomendasi adalah untuk menghentikan sementara pembahasan hingga dilakukan kajian lebih mendalam dan melibatkan lebih banyak pihak terkait.
Penambahan wewenang TNI di luar ranah militer, seperti dalam urusan sipil atau penegakan hukum, dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan antara militer dan sipil, serta berisiko penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sejarah negara-negara dengan peran militer yang luas di ranah sipil, seperti beberapa negara di Amerika Latin, hal ini telah menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan melemahnya kontrol sipil. Oleh karena itu, rekomendasi hukum adalah membatasi secara ketat peran TNI dalam ranah pertahanan nasional, sesuai dengan mandat konstitusi.
Untuk memperkaya pendapat argumentasi hukum ini, perlu dilakukan perbandingan dengan negara-negara lain serta pandangan para pakar hukum Barat terkait kontrol sipil atas militer.
1. Amerika Serikat
Amerika Serikat menempatkan supremasi sipil atas militer sebagai prinsip dasar yang tercermin dalam Konstitusi dan diimplementasikan melalui berbagai kebijakan. Presiden sebagai panglima tertinggi dipilih dari kalangan sipil, dan militer tidak diizinkan ikut serta dalam politik atau penegakan hukum sipil. Menurut Samuel Huntington dalam bukunya The Soldier and the State, keseimbangan antara kontrol sipil dan peran militer adalah salah satu pilar stabilitas demokrasi AS. Huntington berpendapat bahwa pelibatan militer di luar tugas pertahanan menimbulkan risiko besar terhadap kebebasan sipil.
2. Turki
Turki adalah contoh negara yang selama beberapa dekade menghadapi masalah dominasi militer atas pemerintah sipil, hingga akhirnya terjadi reformasi yang memperkuat kontrol sipil dalam era pemerintahan AKP. Militer Turki, yang dulu memiliki kekuasaan signifikan, termasuk hak untuk ikut serta dalam urusan politik dan hukum, kini telah dibatasi hanya pada tugas pertahanan. Menurut ahli hukum internasional Erik Jan Zrcher, salah satu tantangan utama dalam transisi demokrasi adalah memastikan militer tetap tunduk pada otoritas sipil agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
3. Brasil
Brasil pada 1960-an hingga 1980-an diperintah oleh junta militer, di mana militer mengambil peran aktif dalam pemerintahan, mengatur keamanan, dan penegakan hukum. Pengalaman ini mengajarkan bahwa kekuasaan militer yang terlalu luas merusak demokrasi dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, reformasi demokrasi di Brasil pasca-1985 sangat menekankan pembatasan kekuasaan militer dan penguatan institusi sipil. Analisis ini didukung oleh karya Thomas Bruneau, yang menyatakan bahwa supremasi sipil harus menjadi norma untuk mencegah kembalinya otoritarianisme militer.
Pendapat Pakar Barat
Pakar seperti Peter Feaver dan Richard H. Kohn dari Amerika Serikat menekankan bahwa perlu ada garis tegas antara otoritas sipil dan peran militer. Mereka menyebutkan bahwa militer yang terlalu banyak terlibat dalam urusan sipil akan mengurangi akuntabilitas publik dan mengancam hak-hak individu. Kohn dalam artikelnya The Erosion of Civilian Control menggarisbawahi bahwa pelanggaran kontrol sipil berpotensi melemahkan demokrasi.
Berdasarkan analisis di atas, penulis merekomendasikan:
1. Menyesuaikan RUU TNI dengan standar internasional tentang kontrol sipil, seperti yang diterapkan di AS, Turki, dan Brasil.
2. Mengacu pada pandangan pakar seperti Samuel Huntington, Peter Feaver, dan Richard H. Kohn, yang menyarankan pembatasan peran militer di ranah sipil demi menjaga demokrasi.
3. Menghentikan pembahasan RUU TNI sampai dilakukan kajian akademis yang lebih mendalam, dengan melibatkan ahli hukum, akademisi, dan masyarakat sipil.
4. Mempertahankan supremasi sipil dan menjaga agar TNI tetap fokus pada tugas pertahanan nasional, sesuai dengan UUD 1945.
5. Melakukan revisi terbatas jika diperlukan, namun tetap dalam kerangka transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun