Kamis, 03 Maret 2022, Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam UIN Surakarta ( PUSKOHIS ) gelar Diskusi Publik Nasional dan  berjudul "Sosialisasi SE Menag No. 5 Tahun 2022 dan Kajian Fiqih Masjid Perspektif Fiqih Perbandingan Madzhab". Acara kali ini berbeda dengan acara sebelumnya, karena acara ini menghadirkan 2 Pakar disiplin ilmu berbeda dari 2 keahlian berbeda yang pertama Advokat Tata Negara dan yang kedua Ulama Ahli Fiqih Perbadingan Mazhab. Acara ini juga mengundang para ahli hukum, advokat, ulama, tokoh masyarakat, akademisi, dosen, politisi, mahasiswa , praktisi dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia.
Diskusi Publik Nasional yang dihadiri 453 peserta ini dipandu oleh Advokat dan Pengacara Moch. Tommi, S.H. dimulai pukul 19.00 WIB. Diskusi Publik Nasional ini diawali dengan Pemaparan argumentasi Ilmiah dari Keynote Speaker yaitu R. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H, MA. Yang merupakan Direkur PUSKOHIS UIN Surakarta dan Pengurus Bidang Dakwah dan Pengkajian Masjid Dewan Masjid Indonesia Surakarta. Dosen Ilmu Hukum UIN R.M. Said Surakarta yang aktif dalam kajian dibidang Hukum Tata Negara dan Fiqih Perbandingan Madzhab ini  mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, konsekuensi sebagai negara hukum adalah setiap perkara haruslah sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.Â
Adanya SE Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala ini menjadi batu loncatan berfikir cerdas dari Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas, bahwa dari Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala hendaknya diatur agar menghadirkan kesejukan dan sajian maksimal didalam dakwah islam, SE Menteri Agama ini mengatur bukan melarang sebagaimana berita hoax yang beredar dibeberapa media sosial.Â
Dengan keluarnya SE Menteri Agama, ini menjadi bukti adanya kepekaan Menteri Agama Indonesia dalam setiap masalah keagamaan dari mulai hal terkecil sampai hal terbesar dalam agama.Â
Pada dasarnya pengaturan tentang suara di Masjid sudah ada sejak zaman dahulu dan mengaturnya merupakan keharusan, misalnya seorang ulama dari Hadramaut Yaman, Sayyid Abdurrahman Ba'alawi dalam Kitabnya Bughyatul Mustarsyidin hal. 108 sayang saya terjemahkan kurang lebih sebagai berikut: "(Pemberitahuan) sekelompok orang membaca Al-Quran dengan suara keras di masjid. Sebagian orang mengambil manfaat dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Quran itu lebih utama (afdhal). Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka baca Al-Quran itu menjadi makruh. Selesai. Fatwa An-Nawawi, "Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dengan suara keras di masjid tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang solat atau menggangu orang yang sedang tidur.Â
Tetapi jika bacaan Al-Quran dengan suara keras itu mengganggu, maka saat itu bacaan Al-Quran dengan lantang mesti dilarang. Sama halnya dengan orang yang duduk setelah azan dan berzikir. Demikian halnya dengan setiap orang yang datang untuk shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yang sedang solat. Kalau di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Quran itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti taklim jika tidak dikhawatirkan riya," Katanya.
Mustain Nasoha juga menambahkan, "Syekh Abu Abdirrahman Abadi dalam Kitab Aunul Ma'bud ala Sunan Abi Dawud halaman 626 juga menganjurkan adanya pengaturan suara ketika dzikir dan membaca Al-Qur'an di Masjid hal ini agar tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah. Pengarang Tafsir Al Jami' Li Ahkamil Quran, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengatakan, "Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan ( orang lain )."Â
Hal yang diatur didalam SE Menteri No, 5 Tahun 2022 lainnya adalah masalah Tarkhim sebelum subuh, Tarkhim pada dasarnya dianjurkan dalam syariat dengan catatan 1. Ada unsur mengingatkan untuk beribadah ( ) seperti yang terjadi pada bulan Ramadhan. 2. Tidak berdampak negatif secara syari'at, semisal mengganggu kenyamanan orang yang sedang tidur, dan lain lain. 3. Digunakan sesuai dengan kebutuhan. Diatur sebaik mungkin agar menghasilkan suara yang baik. Hal ini telah dibahas dan ditulis oleh para ulama," Kata Dosen Ilmu Hukum UIN R.M. Said Surakarta ini.
"Adapun rujukan Kitab yang saya ambil misalnya Kitab Al-Fiqh Alal Madzahib Al Arba'ah Juz 1 Hal. 326, Kitab Fatawi Al Imam An-Nawawi Hal 31, Kitab Bughyatul Mustarsyidin Juz 1, Hal: 66, Kitab Al Fiqh Al Islami Wa Adillatihi Juz 4, Hal: 394." Imbuhnya.
"SE Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala ini perlu didukung dan disosialisasikan agar masyarakat lebih faham dan bisa menghadirkan kesejukan lebih dalam islam." Pungkasnya.
Pembicara pertama dalam Diskusi Publik Nasional ini adalah seorang Advokat yang telah melalang buana di pengadilan yaitu Suroso, S.H., M.Kn. dalam pemaparannya, dia mengatakan,