Mohon tunggu...
Tubagus Adi
Tubagus Adi Mohon Tunggu... -

belajar hidup lebih baik dari hari ke hari..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Hawking Meragukan Surga

17 Mei 2011   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:33 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Baru satu jam yang lalu saya membaca artikel yang menarik di harian The Sun (www.thesun.co.uk) yang berjudul “Hawking: Heaven is a Fairy Story”. Dari judul pun sebenarnya orang sudah dapat mengerti isi artikel tersebut. Bagi seorang Stephen Hawking, fisikawan besar dari Universitas Cambridge, surga hanyalah seperti dongeng keajaiban bagi orang-orang yang takut akan kegelapan. Bagi dirinya, ketika manusia mati fungsi otak telah dimatikan seperti layaknya komputer yang dihancurkan. Ia meyakini hal ini setelah menjalani 49 tahun hidup berjuang dengan penyakit kerusakan saraf motorik yang membuat dirinya lumpuh hingga tidak sanggup berbicara. Berikut kutipan ucapannya:

"I have lived with the prospect of an early death for the last 49 years. I'm not afraid of death, but I'm in no hurry to die. I have so much I want to do. I regard the brain as a computer that will stop working when its components fail…”

"There is no heaven or afterlife for broken-down computers - that is a fairy story for people afraid of the dark."

Pernyataan Hawking ini dibantah oleh kelompok keagamaan di Inggris yang menganggap cara pikir Hawking adalah cara pikir materialistik yang meniadakan dimensi spiritual dalam kehidupan manusia. Pernyataan ini melengkapi pernyataan kontroversial Hawking tahun lalu yang menyatakan bahwa alam tidak diciptakan oleh Tuhan sebagaimana saya kutip dari Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Stephen_Hawking).

Pada September 2010,The Telegraphmelaporkan, "Stephen Hawking telah menyatakan bahwa Tuhan bukan pencipta alam semesta".Hawking menulis dalam bukunya,The Grand Design, bahwa "Karena adanya hukum seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk dirinya sendiri. Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa sekarang ada 'sesuatu' dan bukannya kehampaan, mengapa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakan alam semesta.

Tentu pernyataan Hawking ini akan menambah lagi panjangnya perdebatan tentang alam, surga, dan tentunyaTuhan. Artikel ini mungkin akan membuat kita semua ikut larut dalam perdebatan itu, tetapi justru ada satu sisi menarik yang seharusnya membuat kita terkesima. Terkesima melihat perjalanan pemikiran seorang Stephen Hawking dengan segala keterbatasannya yang tidak berhenti mencari eksistensi keberadaan Tuhan. saya teringat tulisan pertama saya di Kompasiana dengan mengutip pernyataan Stephen Hawking:

“…. We shall all, philosophers, scientists, and just ordinary people be able to take part in the discussion of the question of why it is that we and the universe exist. If we find the answer to that, it would be the ultimate triumph of human reason – for then we would know the mind of God.” –Stephen Hawking, A Brief History of Time, 1998.

Penggalan paragraf diatas merupakan potongan paragraf terakhir dari buku A Brief History of Time karangan Stephen Hawking.Saat itu saya terpukau melihat sosok Stephen Hawking yang ternyata tersirat sangat mempercayai eksistensi Tuhan dan tampaknya ia mendalami ini semua untuk menjawab keraguan orang banyaktentang keberadaan Tuhan. Dan sekarang saya lebih terkejut lagi ketika mengetahui bahwa kini perjalanan pemikirannya justru telah mencapai titik balik dimana ia malah semakin meragukan eksistensi Tuhan.

Lalu hikmah apakah yang bisa kita ambil dari perjalanan pemikiran seorang fisikawan besar ini? Bagi diri saya pribadi, titik dari perjalanan seorang Hawking bukanlah pada perdebatan bukti kebenaran dari suatu keyakinan tetapi justru pada luasnya samudera ilmu dan keterbatasan manusia dalam ruang dan waktu untuk menyikapinya. Keterbatasan ruang dan waktu untuk memaknai samudera ilmu tersebutlah yang mungkin selama ini kita kenal dengan kematian. Dan rahasia dibalik samudera ilmu itu hanya bisa dijawab oleh kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun