Mohon tunggu...
Tubagus Adi
Tubagus Adi Mohon Tunggu... -

belajar hidup lebih baik dari hari ke hari..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia, Intelijen dan Persaingan Ekonomi

21 November 2013   12:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:51 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari belakangan ini media massa dipenuhi oleh berita tentang penyadapan Australia terhadap Indonesia serta berbagai reaksinya. Tak hanya di Indonesia, beberapa waktu yang lalu cerita serupa terjadi di Brasil, dimana terungkap dan diakui sendiri oleh Brasil bahwa institusi intelijennya selama ini telah menyadap beberapa diplomat penting Rusia di Brasil. Entah ini merupakan agenda tersembunyi Edward Snowden ataupun titik nadir atas kenyataan yang terjadi diseluruh dunia, dimana transparansi, kebebasan informasi dan nilai lainnya yang selama ini diagung-agungkan ternyata hanya sebuah ilusi atau bahkan sekedar lip services.

Yang justru menarik terlihat adalah sikap semakin terbukanya pihak pihak yang selama ini justru terlibat dalam dunia intelijen (atau setidaknya mengaku sebagai intelijen). Jika Edward Snowden menjadi kasus internasional, di Indonesia sendiri ini terjadi, ambil contoh akun twitter @triomacan yang semakin hari semakin berani mengungkapkan keintelijenannya atau terbukanya salah seorang mantan Kepala BIN beberapa hari terakhir dalam menceritakan tindakan-tindakan intelijen yang pernah dilakukan. Bahkan Presiden pun pernah menguraikan kepada Publik mengenai informasi intelijen seputar rencana pembunuhan dirinya oleh pihak tertentu.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah informasi intelijen saat ini sudah memiliki nilai publikasi tersendiri. Ataukah etika moral tentang ‘keterbukaan informasi’ semakin dituntut publik?, atau malah justru ini merupakan fenomena perang intelijen yang semakin terbuka? atau bahkan intelijen sedang menjadi tren sesaat dalam berpolitik? sebagai pihak awam, jelas hal tersebut menjadi pertanyaan menarik karena cerita intelijen saat ini sudah menjadi hal yang mulai umum dipelajari dan sudah bukan lagi sesuatu yang “klandestin”.

Fenomena ini menunjukkan bahwa intelijen saat ini semakin memiliki nilai ekonomi, baik dari sisi informasi yang diperoleh maupun pemanfaatan informasi tersebut untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan publikasi. Begitu pula yang terjadi dengan kasus penyadapan Indonesia-Australiadimana secara politik itu bisa dianggap tidak etis tetapi secara ekonomi hal tersebut menjadi layak untuk dilakukan. setiap pihak memanfaatkan informasi tersebut untuk kepentingannya, bahkan jika kita berpikir strategis pengungkapan ini sedikit banyak juga menguntungkan pemerintah RI untuk meningkatkan citra diplomasinya di mata publik.

Salah satu kutipan penting yang digunakan para akademisi tentang nilai ekonomi intelijen ini adalah pernyataan salah seorang mantan pimpinan intelijen negara eropa yang diwawancarai oleh CBS dan dikutip oleh Newsweek di tahun 1990an:

“It would not be normal that we do spy on the (United) States in political matters; we are really allied.But in the economic competition, in the technological competition, we are competitors; we are not allied.”

Pernyataan itu masih berlaku saat ini bahkan semakin berlaku. Dalam persaingan ekonomi dan teknologi negara sekutu pun adalah pesaing bukan teman. Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa pernyataan Menteri Luar Negeri RI menanggapi penyadapan Australia menunjukkan betapa naif dan polosnya Indonesia, tetapi disisi lain Bisa jadi justru pernyataan tersebut juga merupakan strategi Pemerintah untuk semakin menguatkan citra di mata masyarakat internasional dan lokal bahwa Indonesia adalah negara jujur dan tulus dalam berpolitik. Pada akhirnya semua akan tergantung pada bagaimana setiap aktor memainkan perannya secara internasional dengan baik dan memanfaatkan intelijen secara optimal bagi kepentingan dirinya, dan alangkah baiknya untuk kepentingan masyarakat secara luas. Mengutip pernyataan Prof. Juwono Sudarsono dihadapan Royal College of Defence Studies, London di Jakarta pada bulan Juli 2010:

What combination of “hard”, “soft” and “smart” powers must leadership groups in government, in the military and in private bussiness command in order to be able to connect, cooperate and at the same time compete with one another as well as with the rest of the world?

Dalam konteks ketahanan nasional, disinilah peran para pejabat publik Indonesia dituntut untuk lebih memainkan berbagai kekuatan yang dimiliki baik secara intelijen maupun diplomasi untuk tetap berkomunikasi, bekejasama tapi diwaktu bersamaan berkompetisi secara ekonomi dengan negara lain. Jangan hanya bersikap reaktif tetapi juga harus mampu memainkan perannya secara maksimal dan mampu memanfaatkannya bagi kepentingan ekonomi nasional sehingga pada akhirnya manfaatnya dirasakan sebesar-besarnya bagi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun