Mohon tunggu...
Tubagus Adi
Tubagus Adi Mohon Tunggu... -

belajar hidup lebih baik dari hari ke hari..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Warung Kopi: Gaya Hidup atau..?

25 Januari 2014   21:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah anda duduk berlama-lama di warung kopi modern semacam starbuck, coffee bean, atau yang serupa warkop modern lainnya? pernahkah pula anda kumpul-kumpul, bertemu rekan kerja, atau sekadar ngobrol-ngobrol ringan berdua di warkop modern semacam itu? saya yakin pernah. kalau pun anda belum pernah, setidaknya anda pernah melihat kegiatan yang serupa.

Awalnya saya menganggap kebiasaan ini adalah kultur impor dari barat, bisa jadi karena memang menu, racikan bahkan pemiliknya pun dari barat. Tetapi kalau diperhatikan manusianya, pembelinya hampir semuanya lokal. Kebiasaan untuk berkumpul, ngobrol bersama, rasanya juga sudah berabad-abad menjadi kebiasaan orang Asia, termasuk Indonesia. Kebiasaan minum kopi itu sendiri sebagian merupakan pengaruh dari serapan budaya Asia lainnya, kebiasaan minum Kopi orang Aceh terbawa dari pengaruh Turki Ottoman, Kebiasaan minum kopi orang Bangka Belitung dibawa oleh pengaruh para pekerja tambang dari Cina, Kopitiam Pontianak jelas terbawa dari para imigran berabad-abad lalu dari Cina, atau Juga warung kopi di Makassar yang memang notabene dekat daerah Toraja sang penghasil kopi.

Sepanjang pengalaman saya, kultur kumpul-kumpul di warung kopi atau sejenisnya pun bisa ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Aceh, kita kenal warung kopi Aceh yang khas seperti warung kopi Solong di Banda Aceh. Di Medan .... (kumpul dimana), Di Tapanuli, Kedai Kopi, dan Kedai Tuak (minuman boleh berbeda, gaya tetap warung kopi). Bangka dengan kopi King-Kong dan Tung Tau yang melegenda, Manggar - Belitung Timur yang dikenal sebagai Kota Seribu Warung Kopi, hingga Pontianak dengan deretan warung kopi tiam sepanjang Pontianak hingga Singkawang. Makassar juga memiliki kultur serupa. Di Pulau Jawa, istilah “ngobrol di warung kopi” pun sudah menjadi istilah umum sejak dulu, bahkan dicatatkan menjadi nama tersendiri bagi grup lawak Warkop DKI. Hampir semua daerah punya kebiasaan minum kopi! Kebiasaan untuk bertemu muka hanya untuk menghabiskan waktu sudah menjadi kebiasaan yang lazim ada di negeri kita yang ditakdirkan kaya (alamnya) ini.

Persoalannya adalah kenapa? kenapa harus didominasi dan diidentikkan dengan kebiasaan barat, bahkan warung-warung kopi lokal memaksakan diri meniru gaya warung kopi barat lengkap dengan nama-nama menunya. Padahal, kopi-kopi itu sendiri datang dari tanah air kita. Entah dia Toraja, robusta atau Arabika, atau bahkan Luwak, semua kopi lokal, cukuplah dengan peristilahan Itali itu. Bahkan sekarang di tingkat rumah tangga keluarga, sang Bapak pun ga mau minum kopi kalau bukan Capuccino atau Espresso. Kemanakah si Tubruk?

Kita pun punya gaya racik kopi tersendiri, coba perhatikan di Warung-warung Kopi Daerah seperti Pontianak, Manggar, Banda Aceh dan lainnya. Pertanyaannya kenapa warung-warung kopi modern itu tidak mengadaptasi istilah-istilah lokal, gaya racik lokal dan kalau perlu menu makanan pendamping lokal. Negeri ini sudah beruntung menjadi pusat kopi dunia baik dari sisi supply maupun demand, tapi kenapa negeri ini belum bisa menjadi tuan rumah kopi yang sejati? Beruntunglah sekarang mulai tumbuh fenomena Kopitiam yang sedikit banyak jauh lebih bersifat lokal dan bahkan lebih ringan di kantong tentunya. Hmmm.. sadar atau tidak sadar warung kopi modern menuntut kita lebih konsumtif.

Yang patut dicatat baik dan menarik dari kebiasaan minum kopi modern yang menjadi gaya hidup di perkotaan sekarang adalah gender. Jika dulu bahkan sekarang, warung kopi tradisional sangat erat dengan “kelaki-lakian”. Sesuatu yang menjadi domain seorang lelaki dewasa. Kehadiran warung kopi modern ternyata bisa menghapus gambaran bahwa “warung kopi = lelaki”. Hal ini sangat baik, bahwa ternyata warung kopi sudah menjadi gambaran fenomena kesetaraan dan tidak lagi diberatkan oleh persoalan norma.

Tetapi terlepas dari efek gender yang memang baik, pertanyaannya, bisakah ada revolusi minum kopi tradisional di perkotaan? jangan sampai gaya ngopi barat terus merangsek kedaerah (dan sudah banyak terjadi) tetapi kebiasaan minum kopi lokal justru tergerus zaman. Jangan sampai masyarkaat terlanjur konsumtif karena tidak diberikan preferensi gaya hidup yang lebih lokal dan tidak menguras kantong. Sudah seharusnya, kopi yang sudah ada sejak dulu di negeri kita benar-benar menjadi tuan rumah dan dapat bahkan harus diadaptasi di industri warung kopi modern di seluruh dunia. Setidaknya mata kita tidak lagi dipenuhi dengan gaya perkopian barat yang terlalu mendominasi.

Demikian saja tulisan ini saya rangkai di warung kopi modern bernama st*rb*ck.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun