Mohon tunggu...
Tubagus Adi
Tubagus Adi Mohon Tunggu... -

belajar hidup lebih baik dari hari ke hari..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jakarta: Meski Retak, Tetaplah Gading

12 Februari 2014   15:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jakarta: Meski Retak, Tetaplah Gading

Seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Itu pulalah yang melingkupi kepala saya. Entah apa yang akan saya ungkapkan. Tetapi diawali pepatah tersebut mari kita tengok Kota Jakarta, sebuah menara gading dengan gedung pencakar langit yang tidak saja sangat banyak tetapi juga tersebar di seantero provinsi hingga ke batas-batasnya. Bicara soal retak, jelas sudah. Banjir dimana-mana, kemacetan, jalan-jalan yang bolong dan sebagainya sudah menjadi cerita biasa bahkan menjadi kelaziman yang tidak perlu lagi diurai dan dicari sebab musababnya.

Tetapi bicara soal Jakarta adalah bicara soal dinamika kehidupannya, betapa setiap derap langkah manusia berdenyut setiap pagi. Mungkin tidak secantik gambaran kota Tokyo atau New York ketika orang berlalu lalang dengan cepatnya melalui trotoar yang luas, tetapi derap langkah manusia Jakarta jauh lebih hidup, jauh lebih dinamis. Ketika  berjalan cepat berebutan lahan trotoar dengan pedagang dan angkot pun mengetem, ketika tukang ojek berkejaran mengantar calon penumpang kereta, ketika Pa Ogah tergopoh menyetop mobil untuk memberi jalan bagi yang lain, atau kadang-kadang ia hanya menyetop angin, seolah-olah demikian adanya. Atau ketika seorang bapak dengan kutang seadanya dan sarung  nikmat menyeruput kopi dan gorengan  berminyak di tepi rumah kecil menghadap langsung jalan raya, sambil ia memperhatikan lalu lalang truk, motor dan metro mini juga ragam mobil berpenumpang satu berkapasitas tujuh. Dinamika yang tampaknya tidak enak dinikmati secara ideal, tetapi percayalah enam bulan anda menjalani,lalu anda tinggalkan, insyaallaah anda akan mengangeninya kembali dengan sangat, entah karena dinamikanya atau daya tarik ekonomi yang seakan ia mudah diraih begitu saja.

Tersebut seorang kawan, berilah dia nama alias Pak Harno. Sudah dua tahun dia datang ke Jakarta dari Madiun, tempat istri dan tiga buah hatinya tinggal dan hidup. Pak Harno memiliki ijazah sarjana sejak 20 tahun lampau. Ijazah S1 yang ia jadikan modal mencari kerja setelah ia terputus dari pemberi kerja sebelumnya. Dengan segala daya dan bantuan sang kakak, ia diizinkan membantu di sebuah kantor negara, ia jalani meskipun hanya dibayar penuh dengan gaji honor setara D3. Nasib ini masih lebih baik dari beberapa rekan di tempat ia bekerja yang menjadi penerima honor terpotong setoran pada sang penyalur. Tinggal di sebuah kamar kost mungil, Pak Harno bertekad bulat untuk bekerja, meskipun penghasilannya jauh lebih kecil dari sang istri di Kampung halaman, tetapi demi harga diri seorang ayah ia harus mencari nafkah.

Nasibnya  jauh lebih baik dibanding banyak manusia lainnya di Jakarta ini, tapi apa pendapatnya tentang Jakarta tetap menarik, ini saya catat langsung: “kota jakarta itu paling banyak lahan kerja dibanding kota lain, makanya saya yakin punya kesempatan dapet itu. Meskipun saya keluar dari tempat kerja sekarang, saya tetep di Jakarta, lha wong lebih menjanjikan, ya pasti dapet kerjaan lain, ya bisa juga dapet istri lain hahaha (bercanda beliau, semoga). tapi emang butuh skill biar bisa dapet itu, saya punya pengalaman perkebunan, nah kantor-kantor nya kan ada di pusat, nah di kantor-kantor itu kan lebih bersih, lebih baik, gaji juga. tadinya saya mau kesana”. Suatu niatan yang belum berhasil ia capai.

"Terus Jakarta kejam ga? "tanya saya. “yah sampai sekarang masih berpihak sama saya ko” jawabnya yakin.

Saya tanya lagi "tapi Pa Harno masih bisa ga nikmatin Jakarta?blum, seumpama jakarta 100% paling 30%” jawabnya, tanya saya lagi: “apa yang 30% itu “dan ia dengan cepat menjawab “ya kebahagiaan, ya sisanya belum bahagia dan harus dicari” saya kejar lagi “tapi yakin bisa dapat? ya ini lagi dicoba”. dan saya tanya lagi "bahagia itu kaya apa?" "ya seperti itu" akhirnya saya juga bingung mau tanya apalagi dan dia pun bingung kenapa saya menanyakan itu.

Terlepas dari kebingungan itu dan soal bisa dapat istri lagi, suatu gambaran bisa saya dapat, “yakin" dan "coba-coba”, ini bisa diartikan Jakarta memberikan dorongan optimisme hidup bagi mereka yang ingin mencobanya, disisi lain Jakarta juga menjadi ladang pertaruhan bagi manusia didalamnya. Saya yakin, anda yang membaca tulisan ini sebenarnya sudah memahami hal itu.

Memang ditengah momentum yang katanya adalah “pertumbuhan ekonomi” Indonesia yang sangat pesat, Jakarta memang tengah menjadi pusat segalanya, Kota yang paling optimis dan ia meyakinkan semua orang untuk datang menikmati kemajuannya, kemegahannya dan disisi lain membuat orang terus berjuang menggapai mimpinya dan bahkan akhirnya memaksa mereka yang belum berhasil untuk terus mencoba  hidup tanpa ada kata menyerah, atau akhirnya mati begitu saja menjadi debu.

Bukan berarti pula Jakarta baik atau juga kejam, tapi Jakarta memang sudah menjadi alat untuk meningkatkan taraf hidup, alat untuk mencari gairah hidup dan juga alat untuk bertahan hidup sebagaimana kota-kota besar lainnya di dunia. menarik disimak kutipan penggalan puisi Doa di Jakarta karya WS Rendra tentang Jakarta:

“Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.”

Nafsu untuk hidup, dan bekerja keras untuk melakukan apapun karena tidak adalagi istilah pantang untuk balik ke kampung membuat semuanya di Jakarta ini sudah ada dalam kewajaran dan kelaziman. Diam berarti mati.

Idealisme perkotaan modern di luar negeri yang seringkali tergambar dalam dunia maya, tv, buku-buku dan foto-foto sudah masuk dalam wajah Jakarta tapi tidak juga mengubah jiwa Jakarta yang sebenarnya yang penuh nafsu.Kalau bisa digambarkan mungkin Jakarta adalah seorang tua yang masih penuh dengan nafsu birahi jiwa mudanya. Tidak peduli lagi dengan masa depan atau esok harus mati yang penting hari ini hidup tetap harus bisa eksis, (tampak) kaya dan berjalan.

Adakah ini baik atau buruk? Kembali pada penilaian anda, yang penting bagi saya Jakarta dengan segala keretakannya tetap memiliki sisi dan nilai kehidupan yang tidak kecil. Jangan sepelekan Jakarta, Ia masih layak untuk menjadi lebih baik, maka hargailah Jakarta, tapi disisi lain Jakarta juga berhak menghidupi siapapun yang optimis dan yakin untuk mencoba, maka hargai pula siapapun yang mencari hidup darinya tanpa terkecuali.

Yang pasti sudah terbukti, semaksimal mungkin Pemerintah  membatasi pendatang, tidak satupun yang gentar untuk tetap datang. Jakarta benar-benar memiliki kharisma dan jiwa yang memberi harapan serta cita-cita baru bagi mereka yang datang. Seretak-retak Jakarta dengan segala kekurangannya disana-sini tetaplah ia gading yang paling indah bagi semua pencari kehidupan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun