[caption id="attachment_216455" align="aligncenter" width="300" caption="kenapa Garuda nya begitu ya?"][/caption] Belum genap satu minggu hari Kebangkitan Pancasila diperingati. Peringatan yang identik dengan lubang buaya itu mengandung banyak cerita dalam sejarah. Benar atau tidak apapun kisah sejarah yang meliputinya, yang pasti pagi itu, membuat saya berpikir tentang Pancasila yang jarang-jarang saya ataupun anda lakukan, atau mungkin hampir tidak pernah. Benda apakah itu? Alhamdulillah saya masih bisa mengingat sila-silanya, kecuali pasal 4 yang berulang-ulang saya ingat sampai akhirnya benar. Bagaimana dengan anda?  Semoga anda masih ingat. Inilah yang sedikit saya pikirkan.
Sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa.
Seberapa bertuhan sih saya? Seberapa yakin saya denganNya. Pastinya saya yakin. dan sangat percaya Dia ada. saya sudah sholat 5 waktu, solat jumat di mesjid. Silaturahmi waktu lebaran, potong qurban sudah, puasa tuntas, naik haji atau umrah insyaallah. Untuk sila yang satu ini bisa saya pahami untuk diri saya dan keluarga serta lingkungan. Lalu setelah itu? Apa yang perlu saya lakukan dalam konteks Pancasila?
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab
Seberapa adil sih kita? Apa sih ukurannya? Apakah kita peduli? Yang penting bagi saya selama hak saya tidak dipotong. Hak orang? Ya hak mereka, urusan mereka. Seberapa beradab sih kita? Apakah sekedar makan dengan sendok lantas kita beradab? Mmang apa sih adab? Beradab? Civilize?. Toh kia sudah belajar sopan santun, berbagi, lalu? Apa yang perlu saya lakukan dalam konteks Indonesia?
Sila ketiga persatuan indonesia
KTP saya indonesia, paspor saya juga. Sim saya juga. Slama saya bisa nyicil pakai syarat ktp, bisa keluar negeri pakai paspor, bisa menyetir lebih tenang dengan sim, sepertinya sudah cukup saya memanfaatkan identitas keindonesiaan dalam sebenar-benarnya arti hak dan kebebasan saya. Selama saya bisa makan tenang, hidup nyaman karena saya indonesia toh saya lahir disini. Lalu Persatuan? Apa definisinya? Apa bentuknya? Masih ambigu bagi saya. Apa yang harus saya lakukan.
Saya bangga sebagai Indonesia. Saya bangga dengan indonesia sebagaimana halnya melihat lambang Garuda sebagaimana gambar diatas, atau saat saya dengan bangganya naik pesawat garuda dari terminal 2f Bandara Sukarno Hatta. Atau juga ketika saya melihat lambang garuda di dada baju pemain timnas, saya harap anda pun begitu. Lalu setelah itu?
Sila keempat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Apa sih maksudnya? Jujur saya sulit mencerna sila ini dengan tepat, selain musyawarah untuk mufakat tentunya yang selalu diulang-ulang sejak SD dan memang sering saya (dan mungkin anda) sering lakukan, kompromi. Tapi selain itu, perwakilan? Toh sudah ada Presiden, DPR yang dipilih rakyat ( bukan musyawarah). Semua sudah urusan mereka. Oiya, saya juga ikut pemilu. Lalu setelah itu?
Sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Saya sudah bayar zakat dan pajak rutin ko. Lalu setelah itu?.
Itulah jawaban yang saya ketik langsung tanpa saya cerna dalam-dalam alias spontan. Setidaknya dengan begitu saya tidak perlu munafik berat-berat dengan pikiran jawaban yang seakan-akan harus ditulis dengan baik dan berbahasa professional seakan-akan kita tidak terlihat bodoh. Poin-poin diatas itulah yang muncul dari kepala saya terlebih dahulu. Mungkin kalau kita berusaha memikir lebih lama lagi akan bermunculanlah pikiran-pikiran persis dengan isi pedoman P4 zaman dulu atau berisi pendekatan-pendekatan filosofis dan religius, bahkan mungkin bisa saja muncul artinya secara syariat, hakikat bahkan mungkin lagi sampai makrifat.Tapi saya akui sebatas itulah yang saya bisa rasakan atas kelima sila tersebut saat ini.
Sejujurnya tidak ada satupun dari sila-sila diatas yang benar-benar bisa saya hayati, bahkan disaat awal, terbersit atau ingat pun saya tidak. Kecuali diingatkan. Masih pentingkah artinya? Saya berusaha berpikir sejauh mana kepentingannya..? tapi cuma kata-kata basa-basi munafik yang muncul di kepala saya.Toh memang saya tidak memerlukan penghayatan sejauh itu. Lalu apa yang salah dengan pikiran saya? Sejujurnya saya sedikit merasa bersalah pada para pembuat Pancasila karena saya tidak paham sebenar-benarnya (meskipun hanya sedikit).
Mungkin ada yg menganggap saya tidak patut menulis seperti itu, tapi kenyataannya seperti itu dan salahkah berpikir seperti itu? Â Mungkin ada baiknya kita pikirkan kembali penafsiran yang jauh lebih mudah bagi substansi kelima sila. Sebelum sila-sila itu tergerus zaman dan berakhir menjadi sila-sila kosong tanpa makna. Buatlah sila-sila itu berarti dan mudah dimaknai generasi saat ini dan kedepan. Sosialisasikan dengan bahasa yang mudah. Bukan seperti penjelasan empat pilar milik MPR yang maaf, "haduuuh" ga ngerti.
Bukan tugas pemerintah juga, tugas kita juga buat sedikit berpikir dan memahami meskipun sulit dan harus berdiskusi meskipun seperti berkhayal-khayal filosofis,tapi anggaplah itu rekreasi intelektual. Sedih juga nanti suatu saat Garuda hanya menjadi seonggok simbol tanpa gambar sila didadanya persis seperti gambar Garuda diatas. Jangan sampai kita cuman bisa bangga dengan symbol Garuda Pancasila tanpa paham apa maksudnya, meskipun bukan salah kita juga yang tidak paham, tapi memang sulit memaknainya dalam konteks kekinian.
Selamat berpikir bagi yang mau berpikir..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H